Foto Ustadz Abdul Somad. Ilustrasi |
Oleh M Abdullah Badri
PADA 30
Juli 2018, saya mendengar kabar bahwa Ustadz Abdul Somad (UAS) akan datang ke
Jepara. Bukan ke Mayong pada 1 September 2018, tapi ke Ngabul, 28 Agustus 2018.
Saya mendengar kabar itu dari senior Ansor Ranting Ngabul saat ada reformasi
ketua Ansor NU Ranting, di Masjid Jokosari.
Saya
menebak, sebentar lagi pasti ada yang ngontak ketua Ansor yang baru. Betul
saja, tanggal 7 Agustus 2018, dua orang yang saya ketahui sebagai panitia
pengajian akbar, datang dengan maksud minta bantuan pengawalan Banser untuk
acara UAS di Masjid berinisial B.
Dua jam
perbincangan terjadi antara ketua Ansor, panitia dan saya, di rumah ketua Ansor
terpilih. Intinya, mereka datang karena panitia dilanda kekalutan sejak nama
UAS disebut sebagai pembicara dalam pengajian yang disusun dalam rangka
pengumpulan dana renovasi masjid. UAS dianggap bisa menarik massa hingga
ribuan.
Mereka
mengaku tidak bisa tidur nyenyak karena sosok UAS yang kontroversial di
beberapa daerah. Di Kudus saja sempat ada masyayikh kiai NU yang menyatakan
tegas “tidak akan menginjakkan kaki ke Gedung JHK” jika UAS jadi dihadirkan
oleh panitia. Bagaimana kalau Jepara?
Ternyata,
panitia pembangunan masjid yang hendak mendatangkan UAS itu sama sekali belum
pernah menonton ceramah UAS di Youtube maupun berita terkait lainnya. Dia kaget
ketika saya menerangkan track-record UAS, sebagai, yang:
- Pernah menggunjing PBNU bahwa rujukan NU yang menurutnya benar adalah Luthfi Bashori, Buya Yahya dan Idrus Romli (tokoh NU Garis Lurus). Dia tidak menyebut agar warga NU merujuk Ketum KH Said Aqil Siraj, Habib Luthfi, Mbah Moen atau KH Ma'ruf Amin. Padahal, NU Garis Lurus hanyalah wadah digital pengumpul provokasi terhadap PBNU dan banyak terbukti hoax-nya. Dan, sekarang situsnya sudah tumbang. Page Facebooknya juga runtuh.
- Pernah menfitnah salah satu Syuriah PBNU, KH Ishomuddin (Lampung), sebagai orang yang ngaku-ngaku bergelar doktor dan dihina oleh UAS pula dengan sebutan "haji ola ulun". Komentar UAS sempat viral dan akhirnya terbukti bahwa Kiai Ishomuddin tidak pernah mengaku sebagai doktor karena memang belum bergelar doktor. Artinya, ucapan UAS soal Kiai Ishomuddin adalah hoax dan provokasi. Minim informasi tapi berani mengeluarkan statement.
- Karakter mudah mengeluarkan statement walau minim informasi juga pernah membuat UAS harus berurusan dengan mahasiswa alumni Syiria ketika ia menyebut konflik di negeri Bahsar Al-Ashad, -yang disebut UAS manusia terlaknat itu,- sebagai konflik Sunni-Syiah. UAS yang diminta klarifikasi oleh alumni Syiria pun bungkam.
- Yang paling fenomenal adalah tuduhan UAS kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang dianggapnya tidak bisa mewujudkan Islam rahmatan lil alamin sebelum diutus menjadi Nabi. Dan akhirnya dia menyimpulkan, tanpa khilafah, Kanjeng Nabi tidak bisa menjadi utusan yang rahmatan lil alamin.
- Untuk soal khilafah, UAS adalah tokoh kontroversial di luar struktur kepengurusan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berani mengajak kepada masyarakat luas dalam sebuah ceramah di Riau tahun 2013 agar anak-anak muda berbaiat kepada khilafah. Yang tidak baiat mati jahiliyyah.
- Saya juga sempat mengutarakan kontroversi UAS soal halal-nya bom bunuh diri dengan mengutip dawuh Syeikh Al-Albani (tokoh terkemuka wahabi Saudi). Namun dibantah oleh Ali Musri, dosen STDI Jember. Tidak sempat saya sebut nama Ali Musri di forum itu. Lupa. Dalam bantahan tersebut (ada videonya di file drive), UAS terbukti sangat minim pengetahuan dan asal comot.
- Mengharamkan Peringatan Hari Ibu hanya dengan dalil tasyabbuh, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tafsir dan fakta di lapangan. Pasalnya, Hari Ibu disebut UAS adalah tradisi kafir Barat.
Saya tidak sampai membahas detail kontroversi UAS lainnya,
misalnya cara dia menggunakan sosok artis sebagai bahan bercandaan yang kelewat
sekali kalimat ejekannya:
Rina Rose. Lalu soal pendapat
UAS tentang terorisme yang menurutnya hanya untuk mencitrakan buruk umat Islam.
Saya juga belum mengungkapkan pula bagaimana penerimaan warga Nahdliyyin dan
elite serta tokoh NU yang selama ini merasa dirugikan.
Panitia
meminta saya mengirimkan bukti-bukti video tersebut. Saya kirim puluhan video.
Baik yang editan saya sendiri maupun yang asli download Youtube. Kok bisa
mendatangkan UAS tanpa pernah tahu dan menonton ceramahnya sih?
Begini
ceritanya:
Awal mula,
UAS dianggap sebagai penceramah biasa yang membancang keluarga sakinah, akhlak
umat Islam atau hal-hal ubudiyah-amaliyah lain yang mencerahkan. Jadi, ia
disepadankan kiai NU lokal muda-muda yang hanya berperan sebagai penjaga akhlak
umat Islam.
Dikiranya
UAS selamat dari ujaran kebencian di media sosial. Maka, tawaran untuk
mendatangkan UAS dari ustadz dosen dari Riau, di-iyakan. Katanya, yang menawari
UAS datang ke Jepara itu dulu adalah guru-nya UAS. Tawaran disampaikan, penitia
dibentuk. Tanggal sudah ada dari sononya.
Jadi, misi UAS ke Jepara tidak berbarengan dengan misi panitia di Jepara. Intinya, UAS ingin didatangkan ke Jepara. Untuk apa, terserah. Niat mendatangkan UAS untuk menarik massa dalam rangka pembangunan masjid akhirnya saya sebut sebagai “illat aridly” (alasan teko kari/alasan belakangan).
Jadi, misi UAS ke Jepara tidak berbarengan dengan misi panitia di Jepara. Intinya, UAS ingin didatangkan ke Jepara. Untuk apa, terserah. Niat mendatangkan UAS untuk menarik massa dalam rangka pembangunan masjid akhirnya saya sebut sebagai “illat aridly” (alasan teko kari/alasan belakangan).
Surat
undangan sudah jadi. Mau disebar. Tapi ternyata NU Ranting tidak akan bersikap
jika PCNU Jepara tidak memberikan arahan. Selasa sore, 7 Agustus 2018, NU
Ranting Ngabul merapat di gedung NU Jepara, Jl. Pemuda. Unsur ranting menfhadap
lengkap ke PCNU, ada musytasyar, syuriah, ketua, hingga Ansor dan MUI
kecamatan. Tak lupa panitia acara.
“Ini surat acara pengajian sudah jadi, kok datang ke PCNU?” Demikian Syuriah PCNU, Kiai Ubaidillah Noor Umar, bertanya. Dalam diskusi konsultasi, intinya, panitia meminta masukan walau surat sudah jadi. Inilah yang membuat sesepuh desa merasa tidak “diuwongke”. Surat jadi kok baru konsultasi.
“Ini surat acara pengajian sudah jadi, kok datang ke PCNU?” Demikian Syuriah PCNU, Kiai Ubaidillah Noor Umar, bertanya. Dalam diskusi konsultasi, intinya, panitia meminta masukan walau surat sudah jadi. Inilah yang membuat sesepuh desa merasa tidak “diuwongke”. Surat jadi kok baru konsultasi.
Apalagi
terdengar cerita shahih kalau biaya kedatangan UAS akan disokong dana talangan
sekitar 40 juta. Artinya, ada yang membiayai UAS datang dengan hutang, yang
artinya, panitia harus mengembalikan biaya kedatangan UAS, diambil dari
sumbangan.
Telinga
saya tersayat mendengar keterangan ketua pengurus masjid B tersebut. “Kok
pengajian koyo nanggap orkesan, niat-e benere opo?” Batin saya. Saya gebrak
meja, lalu walk-out dari forum konsultasi yang dihadiri segenap ketua lembaga
dan banom NU sore itu.
Kiai
Hayatun, Ketua PCNU Jepara pada saat sampai keluar dawuh, “pengajian iku ojo
gawe golek duit, tapi duit sing gawe pengajian,” ujarnya, saya ingat betul.
Cuma soal UAS di Mayong 1 September 2018, saya belum mendengar sabda apapun
dari Ketua PCNU.
Batal ke
Ngabul, panggung UAS di Mayong dapat sengkuyungan dari elite kontraktor, polisi
hingga FPI, yang katanya ikut datang dengan berbis-bis untuk pengamanan (kalau
jadi). Tanggal 29 Agustus akan ada gladi resik pengamanan di lapangan desa Mayong.
Yang ikut ngamanin, silakan. Satu orang saja bikin resah, bagaimana kalau jamaah yang datang 7 juta, kayak di Monas itu. Polisi wajar ngamanin, karena menurutnya, UAS itu aman. Aman kok sampai ngalor-ngidul minta masukan masyarakat, yah? [badriologi.com]
Yang ikut ngamanin, silakan. Satu orang saja bikin resah, bagaimana kalau jamaah yang datang 7 juta, kayak di Monas itu. Polisi wajar ngamanin, karena menurutnya, UAS itu aman. Aman kok sampai ngalor-ngidul minta masukan masyarakat, yah? [badriologi.com]