Ilustrasi Ustadz Abdul Somad dan Sugi Nur |
"Kenapa?"
"Jenengan itu figur kiai yang jelas NU nya. Kalau mereka ngundang, saya kuatir jenengan hanya dimanfaatkan oleh mereka," ungkap adik ke kakaknya, agak segan juga sih.
"Kamu itu terlalu kuatir. Nasyrul Ilmi (menebar ilmu) itu kepada siapapun boleh. Terlalu banyak Ansor-an kamu, terlalu banyak suudzon," bantah sang kakak, pembicara kondang asal Jawa Tengah.
Dalilnya buat mati kutu sang adik: nasyrul ilmi, bro. Gawe modyar santri. Tidak mungkin santri mencegah orang berdakwah dengan alasan tebar ilmu.
Karena permohonananya tak mempan, malam itu sang kakak tetap menghadiri pengajian orang-orang salafi politik yang kemarin sangat suka demo itu.
Habis ngisi pengajian sekitar jam 10 malam, telpon sang kakak masuk ke hape sang adik, yang diketahui mereka berdua adalah sama-sama gus dan putra kiai besar.
"He e bener dik, aku ternyata dimanfaatkan untuk jadi simbol mereka. Mosok habis acara aku langsung didaulat jadi duta mereka. Apa ndak paham saya ini siapa. Innalillah," ujarnya.
"Ah, sampeyan terlalu banyak Banser-an kak," ucapnya nyindir, guyon, "kan sudah saya bilang, mereka ini bukan menghormati jenengan, tapi memanfaatkan jenengan," lanjutnya.
-----
Lain hari, nampak ada perubahan pada karakter sang kakak. Lama-lama rasa ta'dzimnya kepada ayah sang adik (pak lek), dan keluarga lain yang se-Ansor-an, makin pudar. Apalagi sejak ada gegeran kunjungan Gus Yahya ke negeri kafir kepet Israil.
Kabar yang diterima sang kakak selalu nginyir terus soal kebangsaan, ke-NU-an, walau soal ke-Aswaja-an dia seperti Usatdz Abdul Somad (UAS).
Dulu, ketika belum banyak berkumpul dengan kalangan jenggotan jidat bolong, eh gosong, sang kakak mengutamakan silaturrahim tatap muka daripada syak wa syangka.
Dulu, kalau ceramah ke daerah situ, ia selalu sempatkan sowan ke kiai sepuh yang masih pak lek-nya tersebut. Tapi kini, cuma kirim salam saja. Tidak mau bertemu.
Begitulah kisah seorang alim allamah yang hapal banyak hadits dan tafsir tapi bacanya di perpustakaan, bukan langsung ke banyak guru.
Yang saya ungkapkan di atas bukan UAS. Dikatakan mirip UAS boleh lah. Mirip pula dengan karakter publik ustadz yang akan mengundang nya ke Mayong 1 September 2018 juga boleh.
Boleh juga disebut suudzon kalau beredar asumsi bahwa kehadiran UAS itu karena ada yang ingin unjuk kekerenan di "Bumi Tanpa Khilafah, Jepara".
Bila ada yang resah atas kehadirannya. Jika ada yang menguat dan ada pula yang terpecah karena simbol UAS sukses dimanfaatkan, jangan laporkan polisi. Polda saja menyatakan aman kok.
"Ra percoyo, jajal audiensi, ra bakal kasil kuwe, malah kon teko trus nyateti omongane UAS yo iyo," kata saya pada gendruwo! [badriologi.com]