Ilustrasi setan bisu. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
ULAMA' membagi tindakan diam tak berbicara menjadi empat bagian. Pertama, as-shamtu (الصَّمت), yakni diamnya benda karena tak mampu berbicara. Kedua, as-sukut (السُّكوت), yakni orang yang mampu berbicara tapi memilih diam. Ketiga, al-inshot (الإنصَات), yaitu diam karena mendengarkan atau memperhatikan. Keempat, al-ishokhoh (الإصاخةُ), yakni diam karena fokus mendengarkan suara bising atau terkendala jarak.
Meski hukum asal diam adalah as-salamah (mencari selamat), namun, berbicara (النٌّطق) di waktu dan tempat yang sesuai dan dibutuhkan adalah perbuatan terbaik (أشرف الخِصال). Demikian menurut Imam Qusyairi.
Banyak ulama' salaf memuji sikap diam, tapi ingat, ini diam dalam pengertian menjauh dari keburukan dan menjaga dari perbuatan yang tidak ada guna (الصمت عن الشر وعمّا لا يعنِي). Bukan diam dalam makna lain. Di sinilah diam disebut sebagai takhliyah (التخلية), sikap berlepas diri. Kata Luqman Hakim, diamnya manusia diibaratkan emas bila niatnya untuk menghindari maksiat.
Orang yang lebih memilih diam mengucap al-haq (sesuatu yang benar) atas kebatilan, ada kalanya dia setuju (ridlo) atas kebatilan yang terjadi, takut (al-khouf) dari selain Allah Swt, lemah (adamul qudroh) mengurai masalah, atau sareh (ash-shobru) atas kedhaliman. Hal ini bisa dideteksi melalui bahasa pengganti diam, yakni: gerakan tangan, gerakan kaki, kedipan mata, tangisan, ekspresi wajah, atau bahasa isyarat lainnya. Jadi, diam tidak selamanya bermakna setuju, seperti diamnya gadis yang dilamar itu.
Baik berdiam maupun berbicara, keduanya memiliki risiko masing-masing. Pada waktunya, diam dalam makna as-sukut sangat bermanfaat. Pada waktunya pula, diam dalam arti as-sukut pun bisa berbahaya. Oleh karena itu, mengeluarkan ucapan (النطق او الكلام) -termasuk menulis- yang ada kalanya:
- Mengandung manfaat murni, seperti dzikir,
- Mengandung mudarat murni, laiknya namimah,
- Campuran antara manfaat dan mudarat, misal: kritik, dan
- Mengandung mudarat dan tiada manfaat di dalamnya, seperti: obrolan tanpa ilmu dan bergadang tanpa bahasan ide dan gagasan.
Menulis kritikan adalah bagian dari cara berbicara yang mengandung manfaat sekaligus mudarat. Bagi penerima kritik, tulisan kritik tentu bermanfaat. Sebaliknya, yang tidak mau menerima, kritik jadi mudarat baginya. Dengan kritik yang logis dan bernalar, kalam bisa menghasilkan perubahan gagasan dan ide.
Mengucap gagasan dengan bahasa kritik bisa melahirkan apa yang disebut Rasulullah Saw sebagai ghanimah (keberuntungan) yang menurut Beliau Saw, lebih tinggi derajatnya daripada as-salamah (فوقَ السَّلامةِ), mencari selamat, yang tiada lain sifat bawaan dalam diam. Untuk menghasilkan perubahan, apapun itu, harus dibarengi dengan sikap mau berbicara. Bukan saling diam. Diam dari kalam mengungkap kebenaran (فالسَّاكِتُ عن الحَقِّ) disebut Imam Ali Ad-Daqqaq sebagai jelmaan setan bisu (شيطانٌ أخرَسُ).
Rasulullah Saw menyatakan:
فلَعَمْري لأن تَكَلَّمَ بمعروفٍ وتنهى عن مُنكَرٍ خيرٌ من أن تَسكُتَ
Terjemah:
"Demi hidupku, bicaramu tentang kebaikan dan melarang kemungkaran lebih baik daripada engkau berdiam". (HR. Ahmad).
Memilih diam (Jawa: meneng cep) dalam rangka mencari aman dari makar kebatilan dan ogah mendapatkan ghanimah berkalam adalah bagian dari barisan pasukan setan bisu (شيطانٌ أخرَسُ). Biarkan setan yang membisu saja melihat yang tidak haq, saya tidak.
Saya adalah manusia yang berpikir (الإنسان حيوان ناطق). Cara efektif menyampaikan pikiran adalah dengan berucap (النطق), bukan dengan as-sukut. Saya bukan benda, yang hanya الصَّمت, alias tidak bisa berbicara. Jika Anda benda, diam sajalah! [badriologi.com]