Subandi, Waliyullah yang Tak Paham Nasabnya -->
Cari Judul Esai

Advertisement

Subandi, Waliyullah yang Tak Paham Nasabnya

M Abdullah Badri
Senin, 09 September 2024
Flashdisk Ebook Islami

Jual Kacamata Minus
waliyullah di jepara banyumanis ada yang bernama subandi
Ilustrasi jalan kaki tanpa alas Subandi. Foto: istimewa.


Oleh M. Abdullah Badri


SYAIKH Asy'ari Datuk Jokosari yang hidup 1600an di Ngabul pernah memiliki anak angkat yang dinamai Subandi, dari kata Syubban (pemuda). Saat orang mencari, mereka bilang: Syubban endi? Akhirnya, jadilah namanya Syubban menjadi Subandi. Identik Jowo banget.


Subandi ditemukan di rimbunan pohon pogong (singkong) saat Datuk Jokosari dolan ke teman-teman sejawat ke daerah Dongos (sekarang masuk Kecamatan Kedung). Oleh Datuk Jokosare, bayi Suban dibawa ke omah meh ambruk, semacam padepokan, yang dihuni puluhan anak-anak didikan Datuk Jokosari.


Karena ayah angkatnya itu tidak mengetahui nama ayah-ibu Suban, ketika Suban bertanya, "mengapa saya tidak pernah dijenguk oleh ayah-ibu," Datuk Jokosari hanya menjawab: "Aku iki bapakmu".


Subandi sedih, belasan tahun mondok bersama teman-teman lain di Desa Siseh (nama Desa Ngabul kala itu), dia tak pernah dikirimi jagung, ketela atau lainnnya, seperti teman-teman lain.


Mbah Gimbal, teman Datuk Jokosari pun diaku sebagai Pak Lek. Begitu pula Nyi Satirah, wanita yang sejak dulu ingin diperistri Datuk Jokosari, dianggap Subandi sebagai ibu angkat. Demang Mayong, kawan Datuk Jokosari, juga acap membelikan baju untuk Subandi. Berperan sebagai ayah juga untuk Subandi.


Subandi memiliki banyak orangtua ayang peduli saat mondok di Ngabul. Dia sangat suka bila beberapa teman Datuk Jokosari datang ke Ngabul. Pasalnya, mereka biasanya membawa makanan. Yang sering dibuatkan kopi saat datang ke Ngabul ialah Datuk Subuh Sidigede (Kiai Sutomargo). Sosok yang sering membawa beras ke Datuk Jokosari antara lain: Joko Samudro Lelono (Cumbring).


Saking taatnya, Subandi tidak pernah menolak titah Datuk Jokosari. Dia biasa diutus ke Ujungwatu dan Banyulegi (sekarang Banyumanis), berjalan kaki seharian tanpa sandal dan tanpa kuda, untuk menemani (menjadi khadim) Kiai Leseh (Joko Glagah) dan istrinya, Nyai Sekar Arum dalam ndangiri tanah sawah jagung, padi dan lainnya, bersama sahabatnya, Rohmat Hasyim alias Sayyid Ustman (makamnya di Mandalika).


Kiai Leseh dan Nyai Sekar Arum dianggap Subandi sebagai orangtua. Saat balik ke Ngabul, Subandi pernah diberi hadiah wedus cempet oleh Kiai Leseh. Pernah juga dititipi kathok untuk Datuk Jokosari, tapi, di tengah jalan, kathok di-ijolke Subandi dengan kopi.


Seringnya Subandi berjalan kaki dari Ngabul ke Ujungwatu, Donorojo, membuat kakinya mlengkar. Tebal kapalan kakinya hampir mencapai satu centi. Duri bisa patah saat diijaknya. Makamnya ada di Banyumanis. Tapi disebut dengan nama yang tidak sesuai oleh orang-orang sekitar sebagai Suto Wijoyo atau Danang Mangun.


Subandi adalah contoh, bahwa nasab dan silsilah tidak menjadi faktor terpenting seorang hamba disebut waliyullah. Di Jepara, banyak wali yang tidak mengetahui nama kakeknya. Tapi yo wali.


Jangan karena nasab, kalian meruntuhkan hak Allah mengangkat hamba-Nya sebagai waliyullah. Seolah, kalau tidak bergelar habib, ora bakal diangkat wali. Itu menyesatkan. Kalau nasabnya terputus, potensi walinya dipertanyakan. Dalilmu kuwi loh opo, kok sik ngunu. [badriologi.com]


M. Abdullah Badri, penulis "Buku Jejak dan Kisah Wali di Jepara".

Flashdisk Ribuan Kitab PDF

close
Iklan Flashdisk Gus Baha