Makam Nyai Ageng Semarang, Ngebong, Mantingan, Tahunan, Jepara. Foto: dokumen pribadi. |
Oleh M. Abdullah Badri
DI Dukuh Ngebong (dulu bernama desa Obong, alias tempat Ngaben khusus orang Buddha), Desa Mantingan, Tahunan, Jepara, terdapat makam Nyai Ageng Semarang. Siapa dia?
Nama aslinya Sayyidah Fatimah. Tanpa gelar. Dia kelahiran Ramallah, Palestina. Sejak kecil dia memang dipanggil sayyidah oleh ayahnya: Sayyid Muhammad Rozaq. Ibunya bernama Ro'isah.
Di masa remajanya, ayahnya bercerita kalau suatu saat nanti, antara penduduk tanah Jawa dan Palestina akan bersatu karena memiliki kedekatan emosial dan keterikatan persaudaraan. Sang ayah mendapatkan informasi ini dari mimpi (ru'yah shalihah).
Baca: Syaikh Ja'far dan Kiai Faqih Lop Bandengan (Penggerak Jihad Prajurit Sultan Hadlirin ke Bangkok)
Oleh seseorang, sang ayah Sayyid Muhammad Rozaq pun diperintah agar mengirim beberapa keturunannya hijrah dalam rangka syiar agama Islam di Pulau Jawa.
Tentu saja tidak langsung di-iyakan. Selain jauh, berpisah dengan anak bukan perkara mudah. Itulah alasan Sayyid Muhammad Rozaq berat melepas anak.
Namun, dalam suatu kesempatan, ketujuh anaknya dikirim dari Palestina ke Jawa dengan satu syarat: tidak berniat berburu harta, tapi berniat mensyiarkan dakwah Islam.
Berkapal selama lebih dari empat bulan, tujuh anak Sayyid Muhammad Rozaq behasil mendarat dengan selamat di tanah Cirebon, dermaga terbesar pada zaman itu. Mereka adalah:
- Sayyid Hasan (dikenal sebagai Mbah Cangkring, di Kendal, Ngawi, Jatim)
- Sayyidah Fatimah (dikenal Nyai Ageng Semarang, Mantingan, Jepara)
- Sayyid Ibnu
- Sayyid Umar (tinggal di Gresik)
- Sayyid Roqib
- Sayyid Zaid
- Sayyid Syukron
Saat sampai di Cirebon, Sayyidah Fatimah berusia 17an tahun. Sementara kakaknya berusia 22 tahun. Selama setahun di Cirebon, Sayyidah Fatimah belum fasih bahasa Jawa.
Bersama kakaknya, Sayyid Hasan, Fatimah diajak pindah ke Semarang. Dia tinggal bersama di rumah Nyi Ruminah, salah satu pegawai keraton yang ada saat itu. Selama tujuh tahun di Semarang inilah, Sayyidah Fatimah mulai lancar berbahasa Jawa.
Kakaknya berkisah, bahwa di Jepara ada seorang raja perempuan yang sangat berkuasa. Fatimah disarankan melamar sebagai prajurit di sana.
Dia diterima, dan setelah lima tahun mengabdi, diangkatlah Sayyidah Fatimah sebagai pengawal pribadi Nyai Ratu Kalinyamat, bersama dua orang pendekar perempuan lainnya, yakni: Nyi Lastri dan Nyi Tipah.
Baca: Jejak Mbah Sabilan Demaan Jepara (Sayyid asal Hijaz yang Lari dari Misi Belanda)
Dia dibekali senjata keris Poncowati, salah satu koleksi pusaka yang dipelihara Kiai Laduni, pegawai nagari khusus logistik militer. Gaji sebagai pengawal Nyai Ratu saat itu lumayan besar, 8 iket.
Sejak menjadi prajurit kerajaan di Jepara, Sayyidah Fatimah disebut orang-orang sebagai Nyai Ageng Semarang, artinya: tokoh yang pernah tinggal lama di Semarang.
Nyai Ageng Semarang pensiun di usia 45 tahun. Suaminya bernama Raden Adib asal Kudus. Putra Haji Tohar (asal Cirebon) dan Nyai Bayanah. Dia meninggal di usia 55 tahun, Kamis Manis sore Bulan Syawal. Sempat berpuasa, dan belum sempat berbuka, dia sudah dipanggil oleh Allah Swt.
Kiai Mahmud, Mantingan pernah ditemui Nyai Ageng Semarang dalam mimpinya. Dari informasinya lah, makam itu dibangun, baru beberapa tahun lalu. Baca: Jejak Mbah Buyut Malang Kusumodirjo, Pecangaan Kulon, Jepara.
Demikian sekilas dan singkat tentang jejak Nyai Ageng Semarang, Sayyidah Fatimah, Mantingan, Jepara. Wallahu a'lam. [badriologi.com]