Seni dalam gambar ilsutrasi vespa. Foto: contoh seni. |
SESUNGGUHNYA, seni hadir untuk apa dan kepada siapa? Itulah keresahan penulis ketika menyaksikan aneka ekspresi seni yang kadang menyebabkan terwujudnya sejumlah interpretasi subjektif dari beberapa kalangan yang merasa otoritatif dalam menerjemahkan “hak paten” atas kreasi dan imajinasi “pengada” seni.
Ruang “ada” yang terintegrasi dalam diri kreator seni sebagai “pengada” seakan terpisah ketika interpretasi bahasa karyanya diterjemahkan oleh yang “merasa berhak” itu. Di sini, maksud dan tujuan pencipta seni bercerai.
Masih ingat dalam ingatan kita batapa kecaman berat dituduhkan kepada Gus Mus ketika melukis gabar Inul sedang bergoyang ngebor di tengah kerumunan para kiai yang mengenakan sorban. Beberapa kalangan, terutama kaum agamawan, memandang fenomena itu sebagai bentuk penghinaan moral terhadap “profesi” kiai yang selama ini dimuliakan.
Fungsi Seni
Gus Mus sebagai kreator yang sesungguhnya paling otoritatif dalam menerjemahkan karya pribadinya itu, harus berhadapan dengan tafsiran orang lain yang sarat tendensi subjektif. Sang pelukis bercerai dengan produk imajinasinya. Nah!Lalu, untuk apa seni dicipta? Apakah untuk diinterpretasi semata, yang kadangkala tidak bersesuaian dengan pesan yang disiratkan pengarang? Apakah seni hanya untuk seni? Berhentikah ia pada tingkat interpretasi saja? Kalau demikian, sejauh mana seni bisa mengubah realitas?
Bagi penulis, sangat naif sekali jika seni dimaknai sebatas sebagai ekspresi tanpa arti. Seni bukan hanya untuk seni. Lebih jauh, eksistensi seni memiliki ruang yang tidak cukup dibatasi oleh tempat dan dimensi waktu. Seni melampaui itu semua. Melintasi batas ideologi dan sekat-sekat yang mengada dalam realitas.
Seni ditampakkan bukan sekadar untuk keindahan dan pesona mata. Tapi untuk membentuk karakter. Karena ia merupakan akumulasi ekspresi dari setiap zaman yang melingkupi. Inilah fungsionalisasi-teknis makna seni.
Seni dibuat bukan untuk dijustifikasi dengan seperangkat nilai-nilai legal-formal, sebagaimana yang dilakukan kaum agamawan kenthir, tapi untuk dipahami dan dihayati. Kritik dan pesan apa yang ada dibalik karya, itu yang perlu kita kelupas. Tujuannya agar terbentuk karakter bersama.
Bangsa Indonesia butuh karakter yang tangguh, maka seni harus menempati garda terdepan untuk mencarinya. Seni bukan untuk seni. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini pernah ditulis untuk dikirim Rubrik Kata Rasa Suara Merdeka (2008), tapi tidak dimuat. Hehe