Oleh M Abdullah Badri
SAYA sependapat dengan gagasan Musyafak berjudul Menulislah Dengan ’’Marah’’ yang dimuat dalam rubrik ini pada 2 Mei 2009.
Dia mengatakan, menulis dengan marah sebagai sikap untuk tetap mencoba —sekaligus ’’menaklukkan’’ redaktur— ketika tulisan berkali-kali tak dimuat di media massa adalah sebuah jalan menuju berkembangnya kualitas tulisan.
Yang saya tidak sependapat adalah analogi kata marah yang diterapkannya dengan sikap tetap mencoba menulis lagi. Marah itu berbeda dari kritis. Perkataan orang yang marah itu tak terkontrol, tidak fokus, bahkan bisa dikatakan seperti orang mabuk.
Jadi, jika ia menulis untuk kesekian kali demi rasa ’’dendam’’ karena tulisannya tak dimuat redaktur, maka tu-juannya bukan lagi mengembangkan kualitas diri, namun menguasai orang lain: imperialisme!
Akumulasi hasrat untuk menaklukkan redaktur akan berakibat pada upaya mencari segala cara menuju pencapaian tujuan. Tak terlalu peduli dengan proses, yang penting bisa menembus ruang media.
Akhirnya, dia melakukan plagiasi, atau kalau tidak, penulis yang memiliki ’’libido’’ berlebih semacam itu akan mengirim naskah tulisannya ke beberapa media dalam waktu bersamaan, tanpa konfirmasi kepada redaktur. Ini bukan kreasi, namun tragedi.
Membaca Sikon
Karenanya, menulis dengan ’’marah’’ sebagaimana dikatakan Musyafak tak menjamin seseorang bisa menerima sepenuhnya kondisi saat ini yang dialami, tidak bersyukur sembari menempa diri lebih baik, kalau tidak diikuti sikap bersahaja dan kritis.
Jika kita sepakat dengan adanya kekejaman seleksi alam dalam dunia tulis-menulis, sebagaimana dalam episode kehidupan lainnya, maka yang harus kita lakukan agar tetap eksis adalah membaca situasi-kondisi kekinian secara arif dan bijaksana.
Bukan sekadar berlatih dan terus berlatih menulis, apalagi memaki-maki dan memarahi dewi fortuna yang belum memihak nasib kita.
Berlatih untuk tetap menulis memang keharusan, namun akan kehilangan konteks jika tidak pandai membaca perkembangan yang ada secara kritis.
Sebab, ritual pelatihan itu hanya untuk mengetahui diri sendiri. Sementara membaca secara kritis adalah untuk memahami orang lain. Di sinilah ritual olah tulis bukan hanya untuk memperkaya wawasan kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.
Di ’’medan pertempuran’’ menulis, hendaknya menjauhi sikap marah. Karena dikhawatirkan akan kehilangan fokus pembelajaran dan cenderung melakukan tindakan yang tidak profesional sebagaimana saya katakan di atas. Harus bersahaja, namun tetap kritis. (32)
—M Abdullah Badri, direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Pemred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
dimuat Suara Merdeka, 16 Mei 2009
SAYA sependapat dengan gagasan Musyafak berjudul Menulislah Dengan ’’Marah’’ yang dimuat dalam rubrik ini pada 2 Mei 2009.
Dia mengatakan, menulis dengan marah sebagai sikap untuk tetap mencoba —sekaligus ’’menaklukkan’’ redaktur— ketika tulisan berkali-kali tak dimuat di media massa adalah sebuah jalan menuju berkembangnya kualitas tulisan.
Yang saya tidak sependapat adalah analogi kata marah yang diterapkannya dengan sikap tetap mencoba menulis lagi. Marah itu berbeda dari kritis. Perkataan orang yang marah itu tak terkontrol, tidak fokus, bahkan bisa dikatakan seperti orang mabuk.
Jadi, jika ia menulis untuk kesekian kali demi rasa ’’dendam’’ karena tulisannya tak dimuat redaktur, maka tu-juannya bukan lagi mengembangkan kualitas diri, namun menguasai orang lain: imperialisme!
Akumulasi hasrat untuk menaklukkan redaktur akan berakibat pada upaya mencari segala cara menuju pencapaian tujuan. Tak terlalu peduli dengan proses, yang penting bisa menembus ruang media.
Akhirnya, dia melakukan plagiasi, atau kalau tidak, penulis yang memiliki ’’libido’’ berlebih semacam itu akan mengirim naskah tulisannya ke beberapa media dalam waktu bersamaan, tanpa konfirmasi kepada redaktur. Ini bukan kreasi, namun tragedi.
Membaca Sikon
Karenanya, menulis dengan ’’marah’’ sebagaimana dikatakan Musyafak tak menjamin seseorang bisa menerima sepenuhnya kondisi saat ini yang dialami, tidak bersyukur sembari menempa diri lebih baik, kalau tidak diikuti sikap bersahaja dan kritis.
Jika kita sepakat dengan adanya kekejaman seleksi alam dalam dunia tulis-menulis, sebagaimana dalam episode kehidupan lainnya, maka yang harus kita lakukan agar tetap eksis adalah membaca situasi-kondisi kekinian secara arif dan bijaksana.
Bukan sekadar berlatih dan terus berlatih menulis, apalagi memaki-maki dan memarahi dewi fortuna yang belum memihak nasib kita.
Berlatih untuk tetap menulis memang keharusan, namun akan kehilangan konteks jika tidak pandai membaca perkembangan yang ada secara kritis.
Sebab, ritual pelatihan itu hanya untuk mengetahui diri sendiri. Sementara membaca secara kritis adalah untuk memahami orang lain. Di sinilah ritual olah tulis bukan hanya untuk memperkaya wawasan kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.
Di ’’medan pertempuran’’ menulis, hendaknya menjauhi sikap marah. Karena dikhawatirkan akan kehilangan fokus pembelajaran dan cenderung melakukan tindakan yang tidak profesional sebagaimana saya katakan di atas. Harus bersahaja, namun tetap kritis. (32)
—M Abdullah Badri, direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Pemred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
dimuat Suara Merdeka, 16 Mei 2009