Menyoal cita-cita terbaik perempuan. Foto: istimewa. |
SEBAGAI manusia merdeka, perempuan bebas melakukan kehendaknya. Ia memiliki imajinasi untuk mengada dalam konstelasi kehidupan nyata. Terbukti dalam hamparan sejarah bahwa imajinasi telah membawa peradaban manusia menjadi menakjubkan, meski kadang menyisakan kegetiran.
Itulah yang disebut Ibnu Arabi, seorang filsuf muslim abad pertengahan, sebagai imajinasi kreatif. Daya cercap manusia ketika dihadapkan pada realitas, membuat ia menyusun strategi imajinatif untuk mengatasi segala aral yang menghalang. Imajinasi kreatif mengejawantah dalam bentuk harapan akan masa depan yang lebih baik untuk publik. Imajinasi menentukan orientasi masa depan publik.
Pernah suatu kali penulis sengaja melempar pertanyaan kepada beberapa sahabat perempuan tentang masa depan. Puluhan orang yang merespon; jawaban yang keluar dari mereka ternyata banyak yang ingin menjadi wanita karir dan ibu rumah tangga. Itu saja.
Ada keinginan lebih? Tidak. Begitu katanya. Imajinasi mereka terbatas dalam lingkaran karir dan keluarga. Selebihnya mengalir apa adanya.
Baca: Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di Indonesia yang Masih Setengah Hati
Kecakapan perempuan sangat dibutuhkan ketika sedang dalam kondisi sulit, dan itu membutuhkan kecemerlangan imajinasi. Pentingnya imajinasi membuatnya tak absen dari berbagai terbitan solusi kreatif. Imajinasi mampu mengkreasi dan memprediksi masa depan. “The imagination is one of the highest prerogatives of man,” begitu kata Darwin dalam karya fenomenalnya, The Descent of Man.
Tak selamanya kehidupan dalam rumah tangga berjalan baik. Dinamika masalah yang dihadapi membutuhkan penyelesaian. Ketika seorang suami meninggal, sementara sang istri tidak memiliki pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkan, maka imajinasi kreatif seorang perempuan yang ingin menjadi wanita karir akan menemukan relevansinya.
Di sini, imajinasi menjadi ibu rumah tangga an sich akan membuat orang lain menawarkan imajinasi, memberikan solusi untuk keluar dari kondisi dilematis, meski ia akan dianggap tidak mandiri. Itu sebuah ironi.
Imajinasi seorang perempuan seringkali membatasi diri dalam ruang domestik. Cita-cita menjadi ibu rumah tangga, dan juga wanita karir, menjadi representasi atas pernyatan itu. Dimensi lain dan cita-cita sosial-politik kurang menarik hasrat “keserakahan” masa depan, kecuali bila ada faktor keberuntungan yang menyapa.
Bukan berarti tulisan ini melakukan resistensi terhadap persepsi atas kenyataan itu. Hanya ingin membangun kesadaran bahwa perempuan itu berkesempatan luas menjadi aktor besar yang mampu menciptakan peradaban luhur. Tentu dengan seperangkat alat pengindra dan percercap ketika memahami masalah yang dihadapi.
Cita Perempuan Sukses?
Modal perempuan sangat besar untuk menjadi manusia yang super dalam mekanisme penciptaan imajinasi kreatif. Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan lebih peka terhadap masalah. Ia menjadi cepat dewasa. Namun, struktur sosial yang patriarkhal kadang membuat imajinasinya terbatas dalam wilayah kuasa sistem patriarkhi.Hakikat kebebasan terenggut secara tidak sadar oleh dentuman kultur yang menempatkan perempuan secara subordinatif. Akibatnya, imajinasinya dibangun hanya untuk membangun dan memanjakan diri; menjadi ibu rumah tangga atau, ditambah lagi, wanita karir.
Cita-cita sosial yang meniscayakan lahirnya tanggungjawab kepada masyarakat luas, semisal menjadi bagian dari perumus kebijakan publik, adalah bukan orientasi yang menempati prioritas utama.
Bukan mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga itu tidak terhormat. Itu adalah sebuah pilihan yang penuh dengan konsekuensi. Wanita karir juga merupakan bagian dari usaha perempuan untuk meneguhkan eksistensinya sebagai manusia kerja (homo fober) yang perlu mendapatkan apresiasi.
Baca: Menolak Prinsip Pluralisme Agama di Indonesia yang Hegemonik
Namun, akan lebih indah manakala imajinasi kreatif perempuan juga ditujukan untuk mengisi ruang-ruang kosong dan pos-pos strategis masa depan. Di sana, perempuan menjadi kekuatan kontrol dari setiap rekayasa kultural berbasis patriarkhi.
Kebijakan persentase perempuan dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) barangkali menjadi kekuatan tersendiri dalam meneguhkan kekuatan imajinansi kreatif perempuan.
Imajinasi kreatif perempuan mewujud pada personifikasinya sebagai manusia yang bebas berekspresi untuk memperjuangkan kepentingan publik. Ia bermetamorfosa sebagai solusi di tengah problem yang banyak orang alami, bukan hanya diri dan keluarganya semata.
Profesionalitasnya dalam kerja sosial-politik-kultural menjadi kekuatan yang didambakan. Imajinasi kreatifnya mejadikan ia bukan hanya sebagai obyek, namun sebagai subyek yang merdeka. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini pernah dimuat Harian Kompas, 21 Desember 2009 dengan judul "Perempuan dan Imajinasi Kreatif".