Logo hari anti korupsi. Foto: istimewa. |
PADA tahun 1970, Bung Hatta pernah mengatakan korupsi sudah menjadi bagian dari budaya. Artinya, perilaku koruktif sudah merasuk dalam alam bawah sadar manusia Indonesia dalam berbagai aktivitas.
Di perguruan tinggi yang notabene lembaga moral yang memproduksi manusia-manusia berkualitas, juga tidak luput dari korupsi. Mau bukti? Silakan lihat di perpustakaan sekitar kampus, berapa banyak buku hasil fotokopi.
Meski dipahami sebagai kebijakan dalam rangka efisiensi dan tidak untuk komersialisasi, buku-buku bajakan tetaplah dianggap sebagai laku koruptif. Belum lagi soal perangkat lunak komputer yang sudah lazim digunakan.
Jarang pihak kampus yang menggunakan perangkat lunak gratisan yang jauh dari nuansa bajakan seperti Linux. Fenomena itu seakan menjadi hal yang wajar, lumrah dipandang, karena sudah menjadi budaya.
Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri sendiri (Pius Abdillah P, 2004: 309). Itu pengertian normatifnya. Dalam definisi yang lebih luas, penjiplakan, pemalsuan, atau tindakan yang berisiko mengurangi hak orang lain, juga dianggap korupsi.
Pengamatan penulis, belum ada perguruan tinggi di Jawa Tengah yang memasukkan pendidikan antikorupsi sebagai mata kuliah wajib.
Ajakan Anti Korupsi
Mungkin di Fakultas Hukum atau Sosial Humaniora akan dijumpai teori-teori sosiolog berkaitan dengan korupsi, semisal gagasan konstruksi sosialnya Peter L. Berger, fungsionalis genetis dari Pierre Pourdieu, serta ide kreatif kontemporer sosiolog tersohor Antoni Giddens.Namun, mata kuliah itu masih sebatas pada wacana teoritis, belum ada praktik lapangan bagaimana menangani kasus korupsi. Padahal, menciptakan budaya antikorupsi bukan perkara mudah.
Sekelas dan sepintar-pintarnya orang, kalau ada kemauan (willingness) dan kesempatan (opportunity), bukan tidak mungkin akan melakukan tindakan korupsi.
Kemauan, dalam analisis Rektor Universtas Paramadina Dr Anis Baswedan, berkaitan dengan etika individu, sementara kesempatan berkaitan erat dengan sistem.
Kalau keduanya bersinergi, ada keleluasaan untuk korupsi. Kalau boleh diibaratkan, hal itu mirip dengan kasus pencurian sepeda motor di pinggir jalan. Bukan hanya pencurinya yang salah, tapi kenapa juga pemilik motor itu tidak menempatkan di tempat yang aman atau dititipkan. Lepas setang pula.
Zona Tak Aman Untuk mengurai problem korupsi, selain dibangun kesadaran sejak dini, harus pula ada mekanisme sistem yang membuat kesempatan melakukan korupsi sulit ditembus.
Universitas Paramadina Jakarta, kendati bukan merupakan perguruan tinggi pertama mengajarkan mata kuliah antikorupsi bagi mahasiswa, itu kampus pertama di dunia yang menjadikan pengambilan mata kuliah antikorupsi sebagai syarat kelulusan.
Di sana para mahasiswa bukan hanya diajari teori, tapi juga pengamatan langsung di pengadilan tindak pidana korupsi serta investigasi lapangan. Bahkan, bobot penilaian untuk investigasi mencapai angka 35%, menyusul penguasaan teori (30%), pengamatan di pengadilan (25%), serta pertisipasi kelas (10%).
Yang menjadikan unik, ketika melakukan investigasi, mahasiswa diusahakan menelusuri perilaku-perilaku korup di lingkungan kampus dan sekitarnya. Temuan mereka akan ditindaklanjuti oleh rektorat.
Hasilnya, dalam sistem absensi, sekarang menggunakan komputerisasi, akibat maraknya kecurangan mengabsen mahasiswa. Plagiarisme yang menjadi virus endemik perguruan tinggi, di Paramadina ditekan dengan sistem seleksi yang cukup ketat.
Ketika kebiasaan berlaku jujur sudah tumbuh dalam kesadaran sejak masih belajar di kampus dan tengah usia remaja, maka di kemudian hari setelah terjun di masyarakat, mereka diharapkan mengubah budaya koruptif menjadi laku kejujuran sosial.
Bagaimana dengan kampus kita? Apakah akan memproduksi koruptor atau mujahid yang memerangi korupsi. Paramadina telah memulai, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya juga sudah mengikuti jejaknya. Kini, menunggu giliran kampus lain menjadi zona tidak aman melakukan praktik korupsi. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini pernah dimuat Rubrik Kampus, Suara Merdeka, Sabtu, 27 Maret 2010.
Sumber (sudah offline):
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/27/103540/Mencari-Kampus-Antikorupsi