Oleh M Abdullah Badri
Di antara belasan klenteng yang ada di Semarang, Sam Poo Kong adalah nama klenteng yang paling banyak diminati wisatawan. Klenteng yang beralamat di Jalan Gedong Batu, Simongan 129 Semarang itu, memang memiliki kekhasan tersendiri daripada yang ada di tempat lain. Selain bangunannya yang didominasi warna merah menyala, hal yang membuat orang tertarik berkunjung ke sana adalah lokasinya yang berdekatan dengan jalan raya, Solo-Jogja. Selain itu, nama Sam Poo Kong juga dikenal luas dalam masyarakat sebagai tokoh dunia yang disegani pada masanya.
Karena banyaknya masyarakat yang berkunjung, bangunan klenteng ini selalu direnovasi, untuk menciptakan kenyamanan. Meskipun begitu, petilasan Laksamana Cheng Ho/Zheng He (nama lain: Sam Poo Kong) yang konon seorang nahkoda muslim tersebut, masih dijadikan tempat peribadatan sembahyang, pemujaan, maupun mencari chiam sie (ramalan) bagi kebanyakan warga keturunan Cina.
Tidak ada larangan bagi Anda untuk berkunjung ke sana, berfoto bersama atau hanya sekadar melihat-lihat bangunan elok khas arsitektur Cina, baik yang masih asli maupun hasil renovasi. Namun, Anda tidak akan bisa masuk ke area persembahyangan. Masyarakat umum yang berkunjung tidak untuk bersembahyang ke klenteng yang memiliki luas 3.6 hektar itu, tidak diperbolehkan melewati batasan pagar di sekitar pusat bangunan. Pengunjung hanya bisa melihat bangunan gedung dari luar pagar saja. Untungnya, patung Cheng Ho masih bisa dicperet jelas dengan kamera, karena tidak diletakkan di dalam klenteng. Ia berada di luar.
Selama ini, manakala berkunjung ke sana, saya belum menemukan apa yang saya sebut sebagai kepuasan spiritual, tidak seperti ketika saya berkunjung ke tempat-tempat ibadah lain, semisal gereja, wihara dan mesjid. Wisata religi harusnya bisa membuat orang merasakan shok spiritual pasca proses reseptif makna simbolik dari situs-situs religi yang ada.
Karena tidak diperkenankan melihat tempat persembahyangan, yang merupakan titik tempat persinggungan dan perjumpaan hamba dengan Tuhannya, pengunjung tidak akan merasakan olah spiritual Klentheng Sam Poo Kong. Apalagi mengenali spirit kulturalnya. Mereka hanya diperbolehkan melihat bangunan berwarna merah, lilin-lilin besar menyala serta patung-patung kecil yang berdiri tegak di sepanjang pagar bata di sana.
Situs Lintas Batas
Klenteng Sam Poo Kong memiliki nilai historis lintas ras, agama dan generasi. Bisa dikatakan, klenteng tersebut menjadi aset bersama. Tidak ada salahnya bila Sam Poo Kong dibuka untuk umum, bukan hanya mereka yang bersembahyang semata. Saudara kita yang muslim, tentu memiliki kedekatan spiritual dengan tokoh yang dijadikan ikon dalam klenteng itu, Sam Poo Kong. Begitupun dengan warga keturunan Cina, mereka merasa dekat secara biologis karena barangkali satu nenek moyang dengan Cheng Ho. Bahkan warga Cina asli sudi berkunjung ke klenteng itu karena kebesaran nama Cheng Ho.
Dengan begitu, para pengunjung akan bisa melihat situs sejarah yang tersimpan di dalam situs tersebut, semisal jangkar kapal, yang konon adalah milik Cheng Ho. Karena dianggap keramat, jangkar itu sering disembah dan disembahyangi warga keturunan Cina. Katanya untuk kelancaran mencari rizki.
Bila tidak diperbolehkan masuk, pengunjung tidak akan mengetahui pula bahwa di klenteng itu ada sebuah gua, yang disampingnya terdapat makam Dampu Awang, seorang juru mudi Cheng Ho, yang sering ramai dikunjungi para peziarah muslim Jawa. Sunggung sayang bila situs bersejarah itu tidak bisa dinikmati masyarakat.
Tidak ada unsur bahaya bila orang mengunjungi klentheng itu. Menurut keterangan pengunjung yang sembahyang di sana, adanya penyekatan antara wilayah wisata dan sembahyang hanya untuk membedakan mana yang memang khusus untuk ibadah dan mana yang untuk publik. Di sini, pencegahan masuk pengunjung ternyata hanya untuk ketertiban.
Kalau memang alasan pembatasan area kunjungan hanya untuk kesucian tempat ibadah, saya kira dengan memposisikan klenteng sebagai situs wisata sekaligus sejarah bagi publik, nilai sakralitasnya akan tetap terjaga, tidak hilang, asal nuansa religius, ketertiban dan kebersihan terus dipertahankan. Bahkan orang akan merasa bangga jika berkunjung ke sana, meskipun hanya membayar uang parkir, seperti yang ada sekarang. Kalau dana perawatan klenteng selama ini hanya mengandalkan bantuan dermawan, tidak ada salahnya juga jika pengunjung ditarik biaya retribusi. Ibaratnya sebagai sedekah.
Sebagai pelengkap data sejarah, alangkah baiknya juga jika di dekat pintu masuk klenteng Sam Poo Kong tersebut dipasang papan bertuliskan tentang silsilah atau riwayat hidup dan perjuangan Sam Poo Kong, sebagaimana di situs wisata religi lainnya, semisal Walisongo atau Ratu Kalinyamatan di Jepara. Pasalnya, pengunjung akan mudah mendapatkan pemahaman tentang sejarah klenteng, simbol serta perjalanan hidup sang maestro, tanpa harus mengandalkan pemandu. Dengan begitu syi’ar klenteng akan bisa melintas batas ras, agama, tradisi dan budaya.
(Dimuat Harian Semarang, 20 Februari 2010)
Di antara belasan klenteng yang ada di Semarang, Sam Poo Kong adalah nama klenteng yang paling banyak diminati wisatawan. Klenteng yang beralamat di Jalan Gedong Batu, Simongan 129 Semarang itu, memang memiliki kekhasan tersendiri daripada yang ada di tempat lain. Selain bangunannya yang didominasi warna merah menyala, hal yang membuat orang tertarik berkunjung ke sana adalah lokasinya yang berdekatan dengan jalan raya, Solo-Jogja. Selain itu, nama Sam Poo Kong juga dikenal luas dalam masyarakat sebagai tokoh dunia yang disegani pada masanya.
Karena banyaknya masyarakat yang berkunjung, bangunan klenteng ini selalu direnovasi, untuk menciptakan kenyamanan. Meskipun begitu, petilasan Laksamana Cheng Ho/Zheng He (nama lain: Sam Poo Kong) yang konon seorang nahkoda muslim tersebut, masih dijadikan tempat peribadatan sembahyang, pemujaan, maupun mencari chiam sie (ramalan) bagi kebanyakan warga keturunan Cina.
Tidak ada larangan bagi Anda untuk berkunjung ke sana, berfoto bersama atau hanya sekadar melihat-lihat bangunan elok khas arsitektur Cina, baik yang masih asli maupun hasil renovasi. Namun, Anda tidak akan bisa masuk ke area persembahyangan. Masyarakat umum yang berkunjung tidak untuk bersembahyang ke klenteng yang memiliki luas 3.6 hektar itu, tidak diperbolehkan melewati batasan pagar di sekitar pusat bangunan. Pengunjung hanya bisa melihat bangunan gedung dari luar pagar saja. Untungnya, patung Cheng Ho masih bisa dicperet jelas dengan kamera, karena tidak diletakkan di dalam klenteng. Ia berada di luar.
Selama ini, manakala berkunjung ke sana, saya belum menemukan apa yang saya sebut sebagai kepuasan spiritual, tidak seperti ketika saya berkunjung ke tempat-tempat ibadah lain, semisal gereja, wihara dan mesjid. Wisata religi harusnya bisa membuat orang merasakan shok spiritual pasca proses reseptif makna simbolik dari situs-situs religi yang ada.
Karena tidak diperkenankan melihat tempat persembahyangan, yang merupakan titik tempat persinggungan dan perjumpaan hamba dengan Tuhannya, pengunjung tidak akan merasakan olah spiritual Klentheng Sam Poo Kong. Apalagi mengenali spirit kulturalnya. Mereka hanya diperbolehkan melihat bangunan berwarna merah, lilin-lilin besar menyala serta patung-patung kecil yang berdiri tegak di sepanjang pagar bata di sana.
Situs Lintas Batas
Klenteng Sam Poo Kong memiliki nilai historis lintas ras, agama dan generasi. Bisa dikatakan, klenteng tersebut menjadi aset bersama. Tidak ada salahnya bila Sam Poo Kong dibuka untuk umum, bukan hanya mereka yang bersembahyang semata. Saudara kita yang muslim, tentu memiliki kedekatan spiritual dengan tokoh yang dijadikan ikon dalam klenteng itu, Sam Poo Kong. Begitupun dengan warga keturunan Cina, mereka merasa dekat secara biologis karena barangkali satu nenek moyang dengan Cheng Ho. Bahkan warga Cina asli sudi berkunjung ke klenteng itu karena kebesaran nama Cheng Ho.
Dengan begitu, para pengunjung akan bisa melihat situs sejarah yang tersimpan di dalam situs tersebut, semisal jangkar kapal, yang konon adalah milik Cheng Ho. Karena dianggap keramat, jangkar itu sering disembah dan disembahyangi warga keturunan Cina. Katanya untuk kelancaran mencari rizki.
Bila tidak diperbolehkan masuk, pengunjung tidak akan mengetahui pula bahwa di klenteng itu ada sebuah gua, yang disampingnya terdapat makam Dampu Awang, seorang juru mudi Cheng Ho, yang sering ramai dikunjungi para peziarah muslim Jawa. Sunggung sayang bila situs bersejarah itu tidak bisa dinikmati masyarakat.
Tidak ada unsur bahaya bila orang mengunjungi klentheng itu. Menurut keterangan pengunjung yang sembahyang di sana, adanya penyekatan antara wilayah wisata dan sembahyang hanya untuk membedakan mana yang memang khusus untuk ibadah dan mana yang untuk publik. Di sini, pencegahan masuk pengunjung ternyata hanya untuk ketertiban.
Kalau memang alasan pembatasan area kunjungan hanya untuk kesucian tempat ibadah, saya kira dengan memposisikan klenteng sebagai situs wisata sekaligus sejarah bagi publik, nilai sakralitasnya akan tetap terjaga, tidak hilang, asal nuansa religius, ketertiban dan kebersihan terus dipertahankan. Bahkan orang akan merasa bangga jika berkunjung ke sana, meskipun hanya membayar uang parkir, seperti yang ada sekarang. Kalau dana perawatan klenteng selama ini hanya mengandalkan bantuan dermawan, tidak ada salahnya juga jika pengunjung ditarik biaya retribusi. Ibaratnya sebagai sedekah.
Sebagai pelengkap data sejarah, alangkah baiknya juga jika di dekat pintu masuk klenteng Sam Poo Kong tersebut dipasang papan bertuliskan tentang silsilah atau riwayat hidup dan perjuangan Sam Poo Kong, sebagaimana di situs wisata religi lainnya, semisal Walisongo atau Ratu Kalinyamatan di Jepara. Pasalnya, pengunjung akan mudah mendapatkan pemahaman tentang sejarah klenteng, simbol serta perjalanan hidup sang maestro, tanpa harus mengandalkan pemandu. Dengan begitu syi’ar klenteng akan bisa melintas batas ras, agama, tradisi dan budaya.
(Dimuat Harian Semarang, 20 Februari 2010)