Oleh M Abdullah Badri
Membincang sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa, tidak bisa dilepaskan dari peran serta pemuda ketika itu. Ada banyak catatan sejarah yang diukir pemuda. Pada tahun 1908, pemuda menjadi motor penggerak perjuangan bangsa. Budi Utomo, dari Stovia, merupakan organiasasi pemuda pertama yang lahir dengan semangat merebut kemerdekaan dari tangan-tangan penjajah. Dua dekade berikutnya, tahun 1928, kembali para pemuda mencatat sejarah dengan mengumandangkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dipoklamirkan melalui Sumpah Pemuda.
Ketika Indonesia merdeka, pemuda juga tidak henti-hentinya mengawal perjalanan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era 1945, terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua dalam peristiwa dramatik Rengasdengklok. Dalam konflik tersebut, mereka mendesak kepada kaum tua agar proklamasi kemerdekaan dikumandangkan secepatnya pada 17 Agustus.
Tiga peristiwa tersebut cukup menjadi bukti bahwa pemuda adalah tulang punggung bangsa. Berkat pemuda yang kritis, berani, tanggap dan peduli, Indonesia mencapai kemerdekaan dari kolonialisme. Indonesia memulai perjalanan kemerdekaan berkat tangan-tangan pemuda saat itu.
Sebut saja misalnya Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka adalah sosok pemuda yang rela di bui demi kepentingan bangsa. Tidak ada ketakutan dalam diri mereka selama masih dalam perjalanan merebut kemerdekaan. Tak ada kata resiko dalam sebuah perjuangan. Yang tersisa hanya semangat mencapai cita-cita.
Namun, untuk saat ini, kita sulit menjumpai pemuda semacam itu. Menurut Najiburrahman, ada tiga hal yang menjadi penyebab. Pertama, kultur eksploitatif. Kedua, jebakan pragmatisme dan ketiga, krisis nasionalisme (crisis of nasionalism) atau disorientasi kebangsaan (nationalism disorientation).
Tidak mudah memang untuk mengurai ketiga hal tersebut. Globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi membuat struktur nilai hancur berserakan akibat kontaminasi kultur peradaban asing. Nilai-nilai lokal kian terkikis seiring masuknya budaya lain yang begitu cepat. Era ini memunculkan kolonialisme model baru yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
George Ritzer dalam The McDonalization of Society (1993) mengatakan bahwa paradigma hidup dalam alam modern saat ini adalah rasionalitas formal. Sebuah kondisi yang menginginkan segala sesuatunya lebih cepat, efisien dan rasional. Dalam tahapan tersebut, kultur eksploitasi dari sistem kapitalisme tidak bisa dihindarkan. Kondisi semacam ini tentu menumpulkan kritisisme.
Akibat selanjutnya adalah terjebak dalam gaya hidup pragmatis. Pemuda tak mau lagi ambil pusing dengan ragam persoalan pelik. Sehingga pemuda bukan lagi agen kritisisme, tapi justru menjadi budak kekuasaan. Ia lebih memilih tidak tersingkir dari kehidupan elitis daripada berpikir idealis. Yang bermanfaat baginya diambil, sedangkan yang tidak, diabaikan, kendati membawa banyak maslahat bagi bangsanya.
Dari sinilah, krisis nasionalisme mulai tumbuh. Mereka lebih tertarik mengonsumsi nilai-nilai asing daripada menghormati dan memelihara kebijaksanaan lokal (local wisdom). Pemuda lebih sibuk memenuhi kepentingan individu, sementara lingkungan sosial mereka yang timpang terabaikan. “Rakyat menangis, pemuda tanpa nasionalis pun tertawa,” kata seorang aktivis pemuda kepada penulis.
Untuk keluar dari kompleksitas problem diatas, perlu adanya obat mujarab yang mampu menyembuhkan pemuda, terutama yang masih belajar di kampus, agar dapat membawa perjalanan bangsa ke depan lebih baik, berwibawa dan makmur sejahter.
Diseksistensi pemuda harus segera dicarikan solusi, termasuk dengan menggalakkan pendidikan dan pengajaran tentang perlunya implementasi nilai-nilai lokal dalam ranah global seperti sekarang ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, peran serta semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sangat dibutuhkan. Perlu ada kesatuan persepsi dan visi bahwa krisis nilai merupakan masalah bersama, bukan tanggungjawab individu semata.
Dengan begitu, Indonesia diharapkan akan menjadi mercusuar dunia dimasa yang akan datang. Semoga.
(Dimuat Media Indonesia, 13 Mei 2008)
Membincang sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa, tidak bisa dilepaskan dari peran serta pemuda ketika itu. Ada banyak catatan sejarah yang diukir pemuda. Pada tahun 1908, pemuda menjadi motor penggerak perjuangan bangsa. Budi Utomo, dari Stovia, merupakan organiasasi pemuda pertama yang lahir dengan semangat merebut kemerdekaan dari tangan-tangan penjajah. Dua dekade berikutnya, tahun 1928, kembali para pemuda mencatat sejarah dengan mengumandangkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dipoklamirkan melalui Sumpah Pemuda.
Ketika Indonesia merdeka, pemuda juga tidak henti-hentinya mengawal perjalanan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era 1945, terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua dalam peristiwa dramatik Rengasdengklok. Dalam konflik tersebut, mereka mendesak kepada kaum tua agar proklamasi kemerdekaan dikumandangkan secepatnya pada 17 Agustus.
Tiga peristiwa tersebut cukup menjadi bukti bahwa pemuda adalah tulang punggung bangsa. Berkat pemuda yang kritis, berani, tanggap dan peduli, Indonesia mencapai kemerdekaan dari kolonialisme. Indonesia memulai perjalanan kemerdekaan berkat tangan-tangan pemuda saat itu.
Sebut saja misalnya Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka adalah sosok pemuda yang rela di bui demi kepentingan bangsa. Tidak ada ketakutan dalam diri mereka selama masih dalam perjalanan merebut kemerdekaan. Tak ada kata resiko dalam sebuah perjuangan. Yang tersisa hanya semangat mencapai cita-cita.
Namun, untuk saat ini, kita sulit menjumpai pemuda semacam itu. Menurut Najiburrahman, ada tiga hal yang menjadi penyebab. Pertama, kultur eksploitatif. Kedua, jebakan pragmatisme dan ketiga, krisis nasionalisme (crisis of nasionalism) atau disorientasi kebangsaan (nationalism disorientation).
Tidak mudah memang untuk mengurai ketiga hal tersebut. Globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi membuat struktur nilai hancur berserakan akibat kontaminasi kultur peradaban asing. Nilai-nilai lokal kian terkikis seiring masuknya budaya lain yang begitu cepat. Era ini memunculkan kolonialisme model baru yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
George Ritzer dalam The McDonalization of Society (1993) mengatakan bahwa paradigma hidup dalam alam modern saat ini adalah rasionalitas formal. Sebuah kondisi yang menginginkan segala sesuatunya lebih cepat, efisien dan rasional. Dalam tahapan tersebut, kultur eksploitasi dari sistem kapitalisme tidak bisa dihindarkan. Kondisi semacam ini tentu menumpulkan kritisisme.
Akibat selanjutnya adalah terjebak dalam gaya hidup pragmatis. Pemuda tak mau lagi ambil pusing dengan ragam persoalan pelik. Sehingga pemuda bukan lagi agen kritisisme, tapi justru menjadi budak kekuasaan. Ia lebih memilih tidak tersingkir dari kehidupan elitis daripada berpikir idealis. Yang bermanfaat baginya diambil, sedangkan yang tidak, diabaikan, kendati membawa banyak maslahat bagi bangsanya.
Dari sinilah, krisis nasionalisme mulai tumbuh. Mereka lebih tertarik mengonsumsi nilai-nilai asing daripada menghormati dan memelihara kebijaksanaan lokal (local wisdom). Pemuda lebih sibuk memenuhi kepentingan individu, sementara lingkungan sosial mereka yang timpang terabaikan. “Rakyat menangis, pemuda tanpa nasionalis pun tertawa,” kata seorang aktivis pemuda kepada penulis.
Untuk keluar dari kompleksitas problem diatas, perlu adanya obat mujarab yang mampu menyembuhkan pemuda, terutama yang masih belajar di kampus, agar dapat membawa perjalanan bangsa ke depan lebih baik, berwibawa dan makmur sejahter.
Diseksistensi pemuda harus segera dicarikan solusi, termasuk dengan menggalakkan pendidikan dan pengajaran tentang perlunya implementasi nilai-nilai lokal dalam ranah global seperti sekarang ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, peran serta semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sangat dibutuhkan. Perlu ada kesatuan persepsi dan visi bahwa krisis nilai merupakan masalah bersama, bukan tanggungjawab individu semata.
Dengan begitu, Indonesia diharapkan akan menjadi mercusuar dunia dimasa yang akan datang. Semoga.
(Dimuat Media Indonesia, 13 Mei 2008)