Sarjana agama kerja apa? Pertanyaan itu muncul seiring dengan mental para mahasiswa yang masih mengutamakan mencari kerja daripada membuka lapangan kerja yang lebih bermanfaat untuk masyarakat luas. |
Oleh M Abdullah Badri
KUANTITAS sarjana lulusan perguruan tinggi tak selamanya sebanding-lurus dengan terpenuhinya kuantitas angkatan kerja. Data menunjukkan, dari 40 juta angka pengangguran nasional, 2,6 juta diantaranya adalah sarjana, baik yang bergelar diploma maupun strata satu. 1,2 juta merupakan pengangguran terbuka, sementara 1,4 juta sisanya adalah setengah pengangguran.
Ironisnya, tren angka pengangguran sarjana setiap tahun, bukannya menurun, tapi malah menunjukkan peningkatan.
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla pernah mengatakan bahwa ada dua hal yang harus dilakukan oleh mahasiswa setelah lulus dari perguruan tinggi, berkaitan dengan profesionalitas kerja. Pertama, mencari dan memenuhi lapangan pekerjaan. Kedua, menciptakan lapangan kerja.
Baca: Mimpi Bertemu Presiden Jokowi yang Dia Seorang Waliyullah
Dua hal itu masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Yang memiliki potensi dan kemampuan profesionalitas dan skil personal, namun belum memiliki sumberdaya eksternal, baik berupa modal maupun jaringan sosial, ia tentu akan lebih mudah memenuhi lapangan kerja daripada menciptakan lapangan pekerjaan.
Dengan modal ijazah, sarjana muda akan lebih baik bila menelusuri panas terik jalanan kota untuk “menjual” jasa dan ijazahnya daripada menganggur.
Pekerjaan sebagai sarat memperoleh status sosial di masyarakat, bagi sarjana adalah adalah sebuah keharusan dan merupakan tanggungjawab profesional. Ketika menganggur, ia akan distigmakan sebagai produk gagal.
Karena itulah Richard G. Lipsey dalam bukunya, Economics 10th (1997: 39), meyatakan bahwa pengangguran sarjana adalah “buruk sosial” dari tempat produksi sosial yang merupakan laboratorium kebaikan (baca: perguruan tinggi).
Mengapa? Karena sarjana yang menganggur adalah orang yang mau dan mampu bekerja, namun tidak atau belum dapat memperoleh pekerjaan. Buat apa kuliah tinggi, namun akhirnya tidak mendapatkan penghidupan layak.
Adagium stigmatik seperti itu membuat lulusan perguruan tinggi banting muka dan tulang untuk mengisi meja-meja kerja di beberapa proyek pekerjaan yang layak. Kita bisa melihat itu dari tingginya antusiasme muda-mudi sarjana yang membawa ijazah dalam bursa kerja.
Beban gelar sarjana tak sekonyong-konyong membuat sarjana mau menerima pekerjaan rendahan. Lebih baik kerja di kantoran dengan gaji sedikit daripada menjadi pekerja kasar, kendati gajinya menjanjikan. Logika seperti itu masih menghegemoni dalam kultur gengsi elitis para sarjana muda kita.
Padahal, jika merunut kenyataan di lapangan, justru mencipta kerja secara mendiri dengan wirausaha lebih berpeluang besar meraih sukses daripada harus berebut kursi terbatas di ruang-ruang kantor berdasi. Potensi menjadi bos dengan wirausaha lebih besar daripada menjadi staf kantor atau perusahaan. Namun, kebanyakan sarjana kita lebih tertarik menjadi “karyawan” berdasi.
Potensi Sarjana
Melihat potensi intelektual dan pengalaman menempuh studi pengetahuan dan wawasan kedewasaan di kampus, saya justru melihat mahasiswa itu lebih bisa berpeluang menjadi wirausahawan yang sukses dan mandiri.
Dibandingkan dengan masyarakat umum, mahasiswa lebih dekat dengan akses sumber daya dan informasi. Sehingga, untuk membangun jaringan sosial dalam hajatan kemandirian kerja, ia lebih gampang.
Kemampuan komunikasi dan kecerdasan intrapersonal memperluas jaringan bisnis, bukan hal sulit, menurut saya. Teman-teman semasa kuliah bisa juga diajak kerjasama membuat bisnis kreatif, toh banyak dari mereka memiliki potensi inovasi yang baik.
Kita bisa melihat banyaknya milyarder di Bandung yang berusia kurang dari 30 tahun karena keuletannya membangun usaha kreatif berupa Distro (Distribution Outlet).
Seringkali gagasan kreatif membangun usaha dan hasrat mandiri berhenti pada keluh kesah masalah modal. Itu yang menjadi problem kebanyakan pengusaha muda. Namun, kini sarjana muda bisa memanfaatkan tawaran-tawaran modal dari beberapa perusahaan yang membantu keluaran perguruan tinggi membuat usaha mandiri.
Baca: Innalillah, Dosen Bahasa Arab UIN Sebut Buku Alfiyah Sebagai Kumpulan Wirid
Di tengah iklim kompetisi usaha dan lapangan kerja yang begitu sengit, membuat usaha mandiri menemukan momentum. Pengangguran sarjana hanya akan menambah beban sosial masyarakat. Lebih baik bekerja mandiri daripada harus menjadi amukan citra “produk gagal”.
Pemuda yang menganggur akan melahirkan anomali-anomali sosial, lebih dekat dengan kultur hedonisme dan anarkisme, apalagi yang memiliki harta, potensi itu kian dekat.
Dengan potensi kecerdasan intrapersonal dan interpersonal adalah hal positif bila para sarjana muda kita membuka lapangan kerja, meski hanya kecil-kecilan sifatnya. Mengisi waktu dengan usaha, sedikit banyak akan menjauhkan muda sarjana dari anomali sosial. Kalau tidak mengisi lapangan kerja, jadilah yang membuka lepangan kerja, Bung! [badriologi.com]
Esai ini pernah dimuat Harian Suara Merdeka, 24 Aprul 2010 dengan judul Sarjana Pembuka Lapangan Kerja.