Oleh M Abdullah Badri
KARYA tulis diturunkan martabatnya hanya sebatas sebagai barang dagangan. Dicarikan pembeli, kemudian kalau laku, nilai tulisan itu ditinggalkan, diambil keuntungannya semata. Sudah. Habis.
Itulah kira-kira kesimpulan saya mengenai tulisan “karya dagang” Ahmad Khotim Muzakka berjudul Nalar Wirausaha dalam Menulis yang dimuat di rubrik ini (13/06/2009). Ketidaksepakatan saya terletak pada dominasi kerja logika yang berjalan dalam aktivitas menulis.
Logika berkarya itu tidak sama dengan logika berdagang. Dalam menulis, kalau logika berdagang lebih dominan daripada logika berkarya, saya bisa memastikan penulis semacam itu akan terjerumus dalam kubangan mental materialis, apalagi penulis pemula.
Baca: Ngaku NU, Wartawan Media Langsung Dijauhi Kelompok Hijrah
Ya, bisa jadi penulis seperti itu akan terus berjuang untuk tetap menulis, namun tujuannya sekadar memenuhi kepentingan sesaat, obsesi. Berhasil, bangga. Tidak, menjadi fatalis, sebagaimana disinyalir Muzakka sendiri dengan menyebut “tidak cocok” dan “tidak ahli”.
Dalam berdagang yang menjadi tujuan (end) adalah akumulasi keuntungan, dengan mencari sebanyak-banyaknya pembeli sebagaimana yang disarankan Muzakka. Sementara tujuan dalam berkarya melampaui itu semua.
Karya tidak bisa dihargai hanya dengan mata uang, karena ia lahir dari rahim imajinasi dan kekuatan yang berada di dunia metafisika manusia. Jika karya sebatas dimaknai untuk berdagang, maka banyak para penulis yang berhak memiliki kekayaan alam atau tahta negara secara penuh.
Mengapa? Karena tulisannya memantik lahirnya inspirasi banyak pemimpin negara untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik. Bukankah lahirnya paham-paham kapitalisme, sosialisme, humanisme, pan islamisme dll. yang dianut dan dijadikan ideologi oleh banyak negara di dunia itu lahir dari karya tulis?
Kalau penulisnya ingin mematenkan hak atas karyanya, membatasi penerapan pemikirannya hanya sebatas kepada bangsa yang diinginkan saja, maka berapa banyak keuntungan materi yang didapatkan? Tapi mereka tidak pernah melakukan itu.
Baca: Cara Mencari Ide Untuk Menulis Artikel Bertema Apapun
Orang bebas mengadopsi dan mengadaptasi pemikirannya, tanpa harus membayar. Tidak ada hak paten, sebagaimana dalam bisnis perdagangan.
Di sini, para penulis itu (sekaligus pemikir), posisinya bukan sebagai penjual, namun sebagai pemimpin. Makanya, menulis itu bukan berdagang, namun proses menjadi pemimpin masa depan.
Keluhuran seseorang bukan dilihat dari apa yang sudah ia dapatkan, namun dari karya apa yang sudah ia berikan kepada khalayak luas. Itulah logika kreatif dalam menulis dan berkarya yang sama sekali berbeda dengan logika berdagang, yang materialistis dan manipulatif. [badriologi.com]
Esai ini pernah dimuat Harian Suara Merdeka, 20 Juni 2009 dengan judul awal Menulis Bukan Berdagang, Tapi Berkarya.