Oleh M Abdullah Badri
Terjadinya bencana moral yang melanda bangsa ini, sungguh memprihatinkan. Orang sulit membedakan mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Terjadi kegamangan dalam sistem tata nilai sosial. Padahal, dalam sejarahnya, bangsa ini telah memiliki banyak pengalaman berharga. Namun, mengapa pengalaman itu tak menjadi pelajaran bagi perbaikan bangsa ke depan? Jawabnya, karena bangsa Indonesia kurang bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa mau pun pengalaman yang pernah dilalui.
Hikmah adalah kemampuan menangkap cahaya kebenaran dari setiap kejadian. Ia akan menjadi penolong masa depan, dan menjadi pegangan teguh bagi pemiliknya kelak, dalam menjalani hidup. Sebab, hikmah membawa pelajaran tak ternilai. Dalam memandang sesuatu, orang yang mau mengambil hikmah selalu melibatkan hatinya. Mampu menilai, menimbang antara benar dan salah, baik dan buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Mata hatinya selalu terbuka menerima kebenaran berdasarkan kebijaksanaan hatinya.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Allah memberikan hikmah bagi orang yang dikehendakinya. Barang siapa yang diberi hikmah itu, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Hanya orang-orang yang mau berfikir sajalah yang dapat mengambil pelajaran ini." (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
Kebaikan yang dimaksud dalam ayat di atas, sebagaimana ditulis Muhammad Abduh, adalah pelajaran dan pengalaman. Melalui ayat tersebut, Allah SWT memberikan perintah kepada kita agar selalu mencatat pelajaran sekecil apa pun. Sebab, dalam setiap peristiwa, tersimpan seribu hikmah dan kebenaran bagi orang-orang yang mau membuka hati. Hal itulah yang akan membawa kebaikan diri sendiri dikemudian hari, juga orang lain.
Sebenarnya, jika berkemauan, tidak ada yang sulit dalam menghayati sebuah pelajaran. Yang diperlukan hanya satu, membuka diri dan hati menerima pelajaran. Namun sayang, bagi banyak orang, hal itu terlalu sulit dilakukan, dengan berbagai alasan. Hikmah kemudian tak bisa diambil karena diri dan hatinya tertutup. Padahal, hikmah sebagaimana sabda Nabi adalah dhollatul mu'min (barang yang hilang dari orang mu'min), yang diperintahkan untuk menemukannya, dimana pun dan kapan pun.
Cerdas mengambil hikmah adalah pandai-pandainya kita mengambil ibroh (pelajaran) dari setiap pengalaman. Karena setiap kesulitan adalah bilangan pembagi kehidupan. Rasulullah selalu mengingatkan kalau manusia tidak akan ada manusia yang hidup tanpa masalah. Justru ketika banyak masalah menghadang, dan mampu menghadapinya, ketika itulah iman seorang muslim teruji.
Dalam sebuah hadis, Nabi pernah memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dengan cita-citanya, tantangan hidup dan ajalnya. Hadis Riwayat Ibnu Mas'ud itu menyatakan: "Nabi saw membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis kecil melewati garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Kemudian Nabi menjelaskan maksud gambar itu: Ini manusia, dan garis-garis persegi itu kurungan ajalnya, sedangkan garis panjang yang keluar dari batas itu adalah cita-citanya. Ada pun garis-garis kecil adalah tantangan atau rintangan yang selalu menghadang manusia. Apabila manusia lolos dari satu tantangan, ia akan berhadapan dengan tantangan berikutnya, dan bila ia lolos dari satu tantangan lagi. Begitu seterusnya." (Shahih al-Bukhari, Darul Fikr, 1994, hlm. 260).
Jika bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam masih menutup diri, tidak mau mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalamannya, kemajuan umat adalah mimpi di siang bolong. Cita-cita yang diimpikan tidak akan menjadi kenyataan bila cara menghadapi kerikil tantangannya, tidak sebesar cita-cita itu. Bahkan, degradasi moral Islam, tidak akan pernah dijadikan pijakan dalam mengambil pelajaran berharga, demi menuju masa depan Islam lebih cerah, karena tertutupnya pintu hikmah untuk menerima pelajaran itu. Wallahu a'lam.
Dimuat di Buletin Keluarga Sakinah (BKS) edisi 299, Mei 2010. Dapat diakses di: http://www.dpu-online.com/index.php?artikel/detail/10/1649/artikel-1649.html
Terjadinya bencana moral yang melanda bangsa ini, sungguh memprihatinkan. Orang sulit membedakan mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Terjadi kegamangan dalam sistem tata nilai sosial. Padahal, dalam sejarahnya, bangsa ini telah memiliki banyak pengalaman berharga. Namun, mengapa pengalaman itu tak menjadi pelajaran bagi perbaikan bangsa ke depan? Jawabnya, karena bangsa Indonesia kurang bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa mau pun pengalaman yang pernah dilalui.
Hikmah adalah kemampuan menangkap cahaya kebenaran dari setiap kejadian. Ia akan menjadi penolong masa depan, dan menjadi pegangan teguh bagi pemiliknya kelak, dalam menjalani hidup. Sebab, hikmah membawa pelajaran tak ternilai. Dalam memandang sesuatu, orang yang mau mengambil hikmah selalu melibatkan hatinya. Mampu menilai, menimbang antara benar dan salah, baik dan buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Mata hatinya selalu terbuka menerima kebenaran berdasarkan kebijaksanaan hatinya.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Allah memberikan hikmah bagi orang yang dikehendakinya. Barang siapa yang diberi hikmah itu, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Hanya orang-orang yang mau berfikir sajalah yang dapat mengambil pelajaran ini." (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
Kebaikan yang dimaksud dalam ayat di atas, sebagaimana ditulis Muhammad Abduh, adalah pelajaran dan pengalaman. Melalui ayat tersebut, Allah SWT memberikan perintah kepada kita agar selalu mencatat pelajaran sekecil apa pun. Sebab, dalam setiap peristiwa, tersimpan seribu hikmah dan kebenaran bagi orang-orang yang mau membuka hati. Hal itulah yang akan membawa kebaikan diri sendiri dikemudian hari, juga orang lain.
Sebenarnya, jika berkemauan, tidak ada yang sulit dalam menghayati sebuah pelajaran. Yang diperlukan hanya satu, membuka diri dan hati menerima pelajaran. Namun sayang, bagi banyak orang, hal itu terlalu sulit dilakukan, dengan berbagai alasan. Hikmah kemudian tak bisa diambil karena diri dan hatinya tertutup. Padahal, hikmah sebagaimana sabda Nabi adalah dhollatul mu'min (barang yang hilang dari orang mu'min), yang diperintahkan untuk menemukannya, dimana pun dan kapan pun.
Cerdas mengambil hikmah adalah pandai-pandainya kita mengambil ibroh (pelajaran) dari setiap pengalaman. Karena setiap kesulitan adalah bilangan pembagi kehidupan. Rasulullah selalu mengingatkan kalau manusia tidak akan ada manusia yang hidup tanpa masalah. Justru ketika banyak masalah menghadang, dan mampu menghadapinya, ketika itulah iman seorang muslim teruji.
Dalam sebuah hadis, Nabi pernah memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dengan cita-citanya, tantangan hidup dan ajalnya. Hadis Riwayat Ibnu Mas'ud itu menyatakan: "Nabi saw membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis kecil melewati garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Kemudian Nabi menjelaskan maksud gambar itu: Ini manusia, dan garis-garis persegi itu kurungan ajalnya, sedangkan garis panjang yang keluar dari batas itu adalah cita-citanya. Ada pun garis-garis kecil adalah tantangan atau rintangan yang selalu menghadang manusia. Apabila manusia lolos dari satu tantangan, ia akan berhadapan dengan tantangan berikutnya, dan bila ia lolos dari satu tantangan lagi. Begitu seterusnya." (Shahih al-Bukhari, Darul Fikr, 1994, hlm. 260).
Jika bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam masih menutup diri, tidak mau mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalamannya, kemajuan umat adalah mimpi di siang bolong. Cita-cita yang diimpikan tidak akan menjadi kenyataan bila cara menghadapi kerikil tantangannya, tidak sebesar cita-cita itu. Bahkan, degradasi moral Islam, tidak akan pernah dijadikan pijakan dalam mengambil pelajaran berharga, demi menuju masa depan Islam lebih cerah, karena tertutupnya pintu hikmah untuk menerima pelajaran itu. Wallahu a'lam.
Dimuat di Buletin Keluarga Sakinah (BKS) edisi 299, Mei 2010. Dapat diakses di: http://www.dpu-online.com/index.php?artikel/detail/10/1649/artikel-1649.html