Dunia dalam genggaman smartphone. Foto: istimewa. |
Oleh M Abdullah Badri
TANPA konsepsi nasionalisme, Indonesia tak mungkin terbentuk dalam ikatan negara bangsa (nation-sate). Nasionalisme sebagai hasil dari konstruksi politik mengantarkan banyak bangsa di dunia menyatakan kemerdekannya secara kultural dan struktural dari segala bentuk ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan orang lain.
Kendati suatu bangsa bisa terdiri dari berbagai negara, begitu juga sebaliknya, namun eksistensi manusia sebagai warga yang merdeka diikat dalam satu rumusan imajinatif tentang kesamaan, persatuan dan persaudaraan: nasionalisme. Satu kata kunci yang menjadikan nasionalisme Indonesia tetap ada, yakni komunikasi. Keanekaragaman dari jumlah suku, bahasa daerah, budaya dan kultur yang beragam adalah kebinekaan yang harus dijaga secara terus menerus dengan jalinan komunikasi yang erat di antara warga negara-bangsa itu.
Alvin Toffler, futurolog terkemuka dari Amerika, membagi perkembangan masyarakat dalam tiga kategori; masyarakat pertanian, industri dan informasi, yang didukung oleh perkembangan teknologi komputer, teknologi komunikasi dan teknologi kendali atau kontrol. (Berkah Sancoyo: 1994).
Kini, kita memasuki apa yang dikatakan oleh Toffler sebagai gelombang ketiga. Informasi telah membentuk budaya massa tanpa bisa berpaling darinya. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, dengan berbagai bentuknya, telah mengubah cara dan sikap masyarakat dalam menghadapi lingkungan sekitarnya.
Ada semacam desakralisasi jarak dan waktu dalam perkembangan komunikasi. Orang tidak lagi menunggu beberapa hari hanya untuk mengantarkan sebuah kabar kepada yang ada di seberang sana. Tinggal pegang mouse, klik, dan perhatikan layar datar desktop, jendela dunia akan terbuka lebar, informasi menyebar, kontak komunikatif pun terbuka lebar.
Pengguna internet di Indonesia kini mencapai 25 juta orang, menempati peringkat ke-5 di wilayah Asia, kendati kuantitas kepemilikan komputer berkisar pada angka 2,5 juta orang. Pengguna layanan seluler juga tak jauh beda maraknya. Ini menunjukkan bahwa gairah akses terhadap informasi memang menjadi bagian dari unit kebudayaan yang diharap akan turut serta menentukan arah dan kemajuan bangsa.
Ya, komunikasi bukan lagi sebagai kebutuhan sekunder, namun telah menjadi kebutuhan primer (pokok) dimana setiap orang membutuhkannya. Hanya dengan uang cepek saja bisa tersambung ke luar negeri dengan biaya murah; membeli telepon genggam nirkabel seluler. Tak perlu berjalan ke warung telepon. Era wartel telah tergantikan oleh selulerisme. Saking murahnya teknologi seluler, masing-masing anggota dalam unit keluarga memiliki seluler sendiri-sendiri. Bahkan ada yang lebih dari satu dengan banyak nomor.
Melalui saluran komunikasi dan informasi, gagasan dilahirkan, imajinasi diciptakan dan masalah-masalah didapatkan secara cepat dan mudah. Seorang ibu rumah tangga dengan mudahnya mencari bumbu-bumbu dapur di internet ketika akan memasak makanan favoritnya. Sekian masalah yang merentang dari Sabang sampai Merauke, bisa “dirembug” dalam dunia maya, dari hal yang pribadi hingga yang bersifat publik kebangsaan. Tinggal menulis kata kunci dalam mesin pencari, segala yang berkaitan dengannya, muncul dalam hitungan detik.
Dunia menjadi ladang informasi yang bebas diakses dari semua arah mata angin, terlipat dalam layar datar. Thomas L. Friedmen (2006) menyatakan, dunia telah “didatarkan” kembali oleh inovasi teknologi berbasis mayantara. “The world is flat,” katanya. Walhasil, planet sekarang disesaki pengetahuan hingga ratusan kali lipat dibandingkan sejak Ts’ai Lun (Cina) menemukan kertas pada 105 M. silam. Era kertas telah digatikan oleh era digital dalam layar desktop dan laptop.
Sistem komunikasi massa seperti dalam dunia maya menginformasikan sisi-sisi dunia dari alam fakta. Apa yang nyata dilihat panca indra dikabarkan sebagai realitas kedua (second reality) dalam mekanisme komunikasi media massa. Kata McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indra kita. Dengannya, kita bisa memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung (Jalaluddin Rakhmat: 1996).
Keterbukaan informasi seperti inilah yang membuat nama personal, identitas komunal hingga eksistensi bangsa dipertaruhkan. Hanya karena video, nama seorang artis teratas bisa runtuh seketika. Begitu pula, dengan strategi pencitraan media, sebuah nama bisa mencuat mulia sebagai identitas popular berpengaruh dan melegenda. Pemilu telah menjadi bukti sahih betapa media bisa memainkan citra nama seseorang dari yang tidak dikenal menjadi most popular name sebagai seorang tokoh. Karena dalam media, nama bisa membuat berita (names makes a news). Bagaimana dengan negara bernama Indonesia?
Sebagai nama, Indonesia adalah negara berkembang yang anomalik dan problematik. Membicarakan Indonesia kita membincang masalah. Sekian problem kebangsaan yang menderap membuat warga negara bangsa itu jenuh mengahadapi sekian masalah dasar, budaya dan moral, seperti ungkapan Taedium vitae atau Weltschmerz yang melukiskan rasa capek pada kehidupan.
Betapa tidak, kabar yang kita terima tentang Indonesia selalu berkaitan dengan kelemahan, keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan dan pelanggaran sosial berbasis nilai-nilai kemanusian lainnya. Bahasa korupsi dan penindasan rakyat kecil serta ketidakberpihakan pemimpin kepada masyarakat menjadi sarapan pagi di media yang terus menerus dikomunikasikan kepada massa.
Saking kompleksnya masalah bangsa, kita bingung harus memulai dari sisi mana dulu menyelesaikannya. Di tengah bangsa lain menyiapkan cita-cita masa depan menghadapi tantangan globalisasi, kita masih saja sibuk dengan isu dasar yang dari sejak merdeka 1945 masih menjadi isu seksi hingga kini: pendidikan, kesehatan dan, kesejahteraan.
Karena itulah, ketika membaca Tour d’Horizon warga negara Indonesia akan mudah ditemukan mistrust (ketidakpercayaan) kepada pemimpin karena capek dengan ritual demokrasi yang terus mengganti pemimpin namun tak jua berganti kepada taraf hidup lebih baik. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia terkikis oleh perilaku elit negeri yang kurang berpihak kepada yang lemah. Di sinilah nasionalisme dipertaruhkan oleh habitus penyampaian pesan dalam kultur komunikasi massa, ketika dihadapakan dengan bangsa dan negara lain yang lebih maju.
Tanpa menafikan pengaruh produk media massa berbasis internet lainnya, perkembangan komunikasi nircabel seluler patut dicatat sebagai babak sejarah peradaban dunia dan negara bangsa. Mengapa? Karena perkembangan inovasi teknologi seluler ini berpengaruh terhadap dimensi sosio-ekonomi lain yang lebih mendasar dan lebih kompleks.
Dulu, orang hanya menggunakan ponsel sebagai alat bicara dan kirim pesan pendek kepada orang lain, namun seiring perkembangan inovasi, kita dapat menggunakannya untuk mengakses berita dari internet (e paper) atau menggabungkannya dengan industri lain, seperti pelayanan bank (banking mobile), kesehatan, transportasi dan lainnya. Apalagi jumlah pengguna ponsel oleh International Telecoms Union (ITU) pada akhir tahun ini diprediksi akan mencapai 5 milyar di seluruh dunia (lihat: techno.okezone.com)
Urgensi bahasan ini bukan hanya karena kuantitas pelanggan yang begitu tinggi, namun karena telepon genggam kini telah menjadi alat komunikasi yang citra “tinggi” dan “canggih”nya kian terlebur dalam murahnya membeli dan mudahnya orang mengoperasikannya. Di sini, ponsel menjadi basis komunikasi yang dalam istilah Benedict Anderson (1983) disebut sebagai pemantik “nasionalisme cetak”, seiring deras arus informasi.
Ketika mendefinikan bangsa (nasionalisme), Ben Anderson (1983) mengatakannya sebagai komunitas politik yang dibayangkan (imajinatif) –dan dibayangkan sebagai terbatas maupun berdaulat. Dibayangkan karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu sama lain, tetapi dalam benak tiap anggota itu, ada suatu bayangan mengenai keterkaitan antara mereka.
Diimajinasikan sebagai terbatas karena pasti akan ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain. Dinyatakan berdaulat karena ia adalah lambang kebebasan yang diimpikan oleh tiap bangsa. Dianggap komunitas karena dibayangkan sebagai persaudaraan yang horizontal dan mendalam ketika ada ketidakadilan atau penindasan muncul dari bangsa lain.
Unsur pembentuk imajinatif nasionalisme ala Ben Anderson itu, yakni keterbatasan, persaudaraan dan kedaulatan akan saya urai untuk melihat fenomena ke-Indonesia-an terkini, terkait kultur komunikasi berbasis seluler. Ini dilakukan sebagai langkah menilai sejauh mana sistem komunikasi selulerisme bisa memengaruhi pasang surutnya rasa bangga warga negara menjadi anggota bangsa Indonesia seiring dengan laju keterbukaan informasi.
Komunitas Terbatas
Kita disatukan dalam ikatan tanah air bernama Indonesia. Meskipun terdiri dari beragam identitas, namun ketika menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia, identitas komunal lokal dan kesukuan melebur dalam komunitas terbayang bernama bangsa Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia adalah komunitas politis untuk menyatukan 740 suku yang mendiami 17. 504 pulau dengan 583 macam bahasa daerah dengan batasan geografis dari Sabang sampai Merauke (www.lestariweb.com).
Ragam keyakinan dan agama juga tersatukan secara horizontal dalam Bhinneka Tunggal Ika. Identitas kebangsaan ini bukan hanya diikat secara kontraktual dan sosial, namun telah menjadi sifat kepemilikan primordial yang ekspresif dan emosional. Hubungan yang terjalin manunggal dalam interaksi antar anak bangsa secara intim.
Seorang teman yang berkunjung 2 bulan di Universitas South Caroline AS untuk pertukaran pelajar tiba-tiba merasa dekat dengan orang Maluku di sana. Awalnya dia tidak mengenal. Namun karena disatukan dalam hubungan primordial tanah air, rasa sebangsa muncul sebagai ikatan. Padahal, agama dan bahasa daerah mereka berlainan. Ya, karena alasan ikatan kebangsaan, dua anak manusia yang tidak saling kenal disatukan oleh ikatan tanah air dan bahasa persatuan; Indonesia.
Masih cukup segar dalam ingatan peristiwa ganyang-ganyangan warga negara kita dengan Malaysia ketika Pulau Ambalat, Sipadan dan Ligitan diklaim sebagai wilayah Malaysia. Begitu pula dengan klaim Tari Reog, Tari Kuda Lumping, Tari Piring, tari Pendet, lagu Rasa Sayange dan seterusnya yang dianggap milik waisan budaya negara tetangga itu.
Berkat media massa, warga negara merasa terpanggil untuk melakukan penolakan hak kepemilikan wilayah dan warisan budaya dengan demontrasi dan pembakaran simbol-simbol Malaysia. Boikot massal dilakukan secara sadar meskipun kita barangkali belum pernah melihat apalagi menginjakkan kaki ke pulau-pulau yang diakui sebagai hak milik tidak sah itu. Malah nama tersebut baru terdengar dalam telinga ketika krisis claming tersebut muncul ke publik. Ini adalah habitus kepemilikan identitas terbatas yang ada dalam ikatan nasionalisme.
Dalam fenomena itu, kita tidak mungkin menafikan peran para jurnalis yang kerja cepat menyampaikan berita kepada publik dalam hitungan detik. Para jurnalis sekarang dilengkapi dengan seperangkat alat yang membantu merampungkan kerja jurnalistik dengan segera. Hadirnya ponsel BlackBarry (BB) membantu para pekerja pers menyampaikan pesan kepada khalayak ramai, memberitakan isu-isu publik kebangsaan terkini. BB membawa dampak positif dalam komunikasi massa. Ada yang kemudian menyebutnya dengan jurnalisme BB. Dengan BB, wartawan tak perlu ke warnet mengirim berita. Sekali peristiwa di depan mata muncul, genggaman tangannya akan kerja cepat menyampaikan informasi penting.
Beberapa waktu lalu kesadaran bangsa tergugah ketika Israel menyerang kapal bantuan kemanusiaan ke Palestina. Dunia dibuat gempar karena ulah Israel. Di tanah air juga ramai membicarakan 12 WNI yang ikut dalam rombongan. Bukan hanya keluarga para aktivis yang harap-harap cemas. Segenap anak bangsa juga merasakan hal serupa. Demonstrasi menolak kebrutalan Israel digelar dimana-mana.
Rasa kepemilikan identitas sebagai bangsa muncul sebagai representasi menjaga perdamaian dunia mengutuk tindakan biadab Israel. Sebagai warga dunia, Indonesia jelas memiliki peranan penting menjaga perdamaian global. Disinilah jurnalisme BB memerankan peranan penting menyampaikan berita secara cepat. Memang, kerja jurnalistik cepat kadang menyisakan problem akurasi data, namun paling tidak 260 juta BB di Indonesia (simtronik.com: per Februari 2010) telah memantik semangat kepemilikan identitas bangsa dalam peran sertanya menjaga perdamaian dunia seperti diamantkan dalam UUD 1945.
Pada Agustus 2009 Pulau Jemur di Kabupaten Rokan Hilir Riau dimasukkan dalam tujuan wisata Malaysia seperti tertera dalam situs www.traveljournals.net. Berkah jurnalisme BB, ia telah membantu masyarakat luas mengetahuinya dan melakukan aksi penolakan. Industri seluler memiliki kontribusi besar dalam ranah ini.
Persaudaraan Global
Jumlah masyarakat facebook di Indonesia menempati peringkat terbanyak ketiga di dunia setelah Amerika dan Inggris. Pengguna akun facebook yang mencapai 20,775,320 (RidhoFitra.info: data Maret 2010) bukan angka sedikit yang bisa digunakan untuk melakukan advokasi massal. Kisah Prita Mulyasari, Bibit Samat Riyanto-Candra Hamzah, Susno Duadji dan tragedi Cicak-Buaya yang mendapat dukungan masyarakat facebooker adalah bukti shahih bahwa perkembangan media telah melibatkan warga negara sebagai partisipator aktif dalam melihat problem-problem sosial-politik kekinian.Yang paling menarik adalah kasus Prita. Dia hanya ibu rumah tangga dan bukan tokoh berpengaruh, namun ketika publik mendapat kabar ia didenda Rp. 204 juta oleh RS. Omni Internasional karena diangggap mencemarkan nama baik, keprihatinan publik meluas secara virtual dalam bentuk dukungan maya melalui blog pribadi, email, facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya.
Gerakan “Koin Peduli Prita” membuat masyarakat luas dari berbagai lapisan di penjuru tanah air berempati. Komunitas tukang becak di Semarang pun bisa berpartisipasi aktif membantu Prita dengan mengumpulakan uang recehan, kendati tidak mengenal siapa Prita.
Melihat itu, ada sebuah teori menarik tentang “prosumen” dalam habitus dunia maya. Dalam media massa cetak konvensional, lumrahnya masyarakat hanya dijadikan sebagai objek mati sebuah informasi, makanya, etika jurnalisme berupa keujujuran, adil dan tidak memihak, bebas dan bertanggungjawab serta berisi kritik konstruktif menjadi landasan utama dalam komunikasi massa (mass communication).
Informasi media yang mengalir tanpa kehendak personal itu dianggap kaum postrukturalis telah mematikan manusia sebagai subjek kebudayaan yang utuh. Cogito Ergo Sum ala Rene Descartes yang menyatakan kemandirian rasionalitas manusia dan kebebasan kehendaknya terenggut oleh “the big other” bernama globalisasi informasi. Di sini, manusia hanya dibentuk dan dijadikan konsumen informasi. Namun berkat perkembangan teknologi komunikasi, manusia kembali menjadi subjek kebudayaan yang hidup.
Dengan menciptakan link di internet, baik melalui blog, email atau jejaring sosial, orang bisa memposting apa yang jadi kehendak komunikatif-informatif personalnya (me media). Dia punya media sendiri. Dan begitu dia memposting informasi di blog, atau membuat link network dengan situs atau jejaring lain, situs pribadinya menjadi media yang dimassalkan (we media). Inilah yang kemudian disebut citizen journalism, dimana orang tidak lagi menjadi konsumen informasi tapi juga produsen informasi: prosumen. Kultur baru prosumen dalam dunia maya telah membantu menyelesaikan titik penyelesaian sengkarut kasus Prita dan lainnya, yang mengoyak rasa keadilan publik itu.
Menganai efek komunikasi terhadap kultur persaudaraan, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika studi di Kudus delapan tahun, sekolah tempat saya belajar hampir setiap tahun tercoreng namanya akibat budaya tawuran siswa yang tak terkendali. Hanya sebab perkara sepele, solidaritas mayoritas siswa menjadi kekuatan yang memunculkan anarkhi sosial.
Tawuran dijadikan tradisi tahunan massal karena perbedaan basis ideologi antar sekolah; Islam dan Kristen. Saat melakukan penyerangan, para siswa meminta do’a restu kepada para kyai dan “bantuan” siswa sekolah berbasis ideologi yang sama. Polisi kurang bisa mengendalikan karena jumlah massa yang bentrok bisa mencapai tiga truk.
Polisi hanya menempatkan kedua sekolah itu dalam peringkat pertama kejadian luar biasa tawuran antar sekolah di Kota Kretek. Setiap tahun berulang. Dan setiap ganti generasi selalu ada saja yang menjadi komandan tawuran. Disebut “korea”nya, kala itu. Kepada sang “korea”, tak ada guru yang berani karena dia dianggap “berprestasi” mempertahankan kehormatan sekolah dalam episode tawuran. Bila sekolah kami menang tawuran, beberapa guru bahkan sering menceritakannya berulang di kelas dengan bangga, meskipun sebagian guru kelas lain menentang.
Saat mengisi sebuah seminar di sana akhir tahun lalu, saya tanyakan perihal tradisi itu kepada adik kelas saya. Sekarang, tidak ada lagi tawuran. Katanya. “Kenapa?” tanya saya. Yang lain kemudian menjawab: “Luwih enak ngenet Mas tinimbang bonyok rano gunane/ lebih baik main internet Mas daripada luka tak ada gunanya”. Jawabannya sederhana, tapi bagi saya, mengena.
Dulu, ketika masih sekolah, saya belum mengenal internet, apalagi fecebook. Budaya “melek internet” saya kenal pada tahun terakhir menjelang lulus. Kini, budaya itu dikenal lebih dini oleh adik kelas saya. Kalau tidak ada kegiatan ekstrakurikuler, nongkrong menjadi kesibukan saya selepas sekolah. Sekarang, tempat nongkrong adik kelas bukan di warung makan, tapi di warung internet.
Sekolah itu sekarang dikepung 6 warnet dari semua arah. Ini sebuah perkembangan positif. Internet menjadi budaya baru dalam kultur remaja sekarang. Memang kesibukan di ruang warnet bukan berarti tanpa masalah, seperti munculnya fenomena remaja mesum di warnet, individualisme dan minimnya waktu belajar akibat keseringan di warnet. Namun paling tidak, seperti pengalaman saya itu, kesibukan mengisi waktu luang di internet dapat mengalihkan kesibukan aktivitas negatif.
Daripada tawuran tentu lebih baik chatting dan browsing. Praktis karena tradisi tawuran antar sekolah berbasis idelogi sudah tidak ada, persaudaraan antra siswa tejalin baik. Yang menarik, konflik laten yang terpotong itu telah membuka ruang perseduluran siswa-siswi. Ketabuan pacaran silang antara siswa sekolah saya dengan siswi sekolah “musuh” dulu, sekarang telah didesakralisasi berkat jalinan komunikasi. Untuk menghindari dendam tawuran yang mungkin saja sewaktu-waktu terjadi, masing-masing ketua OSIS “diwajibkan” memiliki nomor ponsel, agar komunikasi terjalin rapi dan konflik tak lahir kembali. Indah saya menyaksikannya.
Dua kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, komunikasi berbasis internet senyatanya telah membangkitan empati penegakan rasa keadilan dalam masyarakat. Kedua, digital social networking dalam komunikasi maya juga bisa menjadi resolusi konflik sosial. Di sini, industri seluler telah berkontribusi besar membangun kerukunan sosial dengan layanan akses jejaring sosial seperti facebook dan twitter dan juga dinding personal (blog atau situs). Indutri seluler dapat memelihara good will dan kasih sayang dalam masyarakat yang kurang manusiawi. Saya baca Chaika (1982) menulis begitu.
Kedaulatan
Kedaulatan menjadi terjemahan dari pekik kemerdekaan. Ia adalah cita-cita dari para pendiri bangsa (founding fathers) atas nama bangsa Indonesia. Merdeka secara mahardika dengan demikian adalah upaya tanpa henti menuju kedaulatan. Kita tidak mau menjadi bangsa yang merdeka, namun masih saja berdiri di bawah ketiak penguasa negara-negara super power.
Karena itulah, kemadirian dalam bidang politik dan ekonomi menjadi tujuan utama. Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), demikian pekik Bung Karno. Indonesia tidak akan kokoh sebagai bangsa kalau kemandirian ekonomi tak diimbangi dengan kemandirian politik elite dan warganya. Krisis moneter 1997 menjadi puncak tragedi terhambatkan kemandirian. Selama 32 tahun, rakyat hidup dalam tekanan politik otoriter.
Tak ada yang berani melawan penguasa kala itu. Demokrasi berjalan secara elitis. Mekanisme pemilu hanya dijadikan sebagai sarana melangsungkan status quo. Kehendak rakyat dibungkam. Komunikasi politik berjalan searah. Tak ada dialog. Pemimpin adalah yang dilayani, bukan melayani. Sistem pemilihan pemimpin berbasis partai, bukan figur, telah menjadikan rakyat seperti memilih kucing dalam karung. Namun, sejak keran reformasi terbuka, sistem komunikasi politik berjalan dua arah. Ada dialog yang terbangun antara rakyat dan pemimpinnya.
Mengenai hal tersebut, saya punya cerita menarik. Siang itu, ketika asyik makan siomai di kampus, penjualnya ngobrol dengan saya sambil menunggu planggan lain. Tanpa pendahuluan ngobrol tiba-tiba dia menujukkan kotak masuk pesan di layar ponselnya dengan wajah sumringah. “SMS siapa itu Kang? Pacarmu tho?” saya bertanya.
Dengan bangga kemudian dia menceritakan kalau tadi malam pesan pendeknya dibalas oleh walikota. Melalui sms, dia menyapaikan unek-uneknya langsung kepada walikota soal pedagang cilik seperti dirinya yang kesulitan modal. Di layar ponsel warna biru itu saya memang membaca sebuah saran agar meminjam modal ke Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ada di tempat terdekat. Dia merasa sekarang tidak membutuhkan perantara berkomunikasi dengan pemimpin. Tentu berkat adanya ponsel yang murah itu.
Dia malah mengatakan: “Saiki aku ra pathe’ butuh kuwe mas kanggo demo/ sekarang saya tak begitu membutuhkan kamu untuk demo,” ujarnya. Wuih, pede amat orang ini? Dalam batin saya terkejut ungkapannya. Dia sengaja menyindir saya sebagai mahasiswa yang kerjaannya demonstrasi di jalanan tapi sering menimbulkan anarkhi. Pedagang itu merasa telah diakui haknya untuk menagih janji-janji politik pemimpinnya. Mandiri. Ini adalah sebuah perkembangan kehidupan demokrasi politik yang amat baik.
Dalam soal kemandirian ekonomi, usaha berbasis kerakyatan menjadi penopang utama. Cina adalah contohnya. Kerika dunia dilanda krisis global, negara tirai bambu itu tetap tumbuh secara stabil. Tidak lain hal itu adalah karena sektor ekonomi riil kerakyatan dijadikan tumpuan. Industri seluler telah membantu kemandirian ekonomi rakyat. Berjualan pulsa adalah contohnya.
Tak perlu rumit untuk menjadi penjual pulsa elektronik. Hanya bermodal Rp. 50.000 saja kita bisa mulai menjadi enterpreiner. Tidak perlu ijin usaha apalagi harus memiliki badan hukum. Setiap orang bisa menjadi pedagang pulsa. Di desa, saya punya teman yang sekarang mengaku bisa hidup mandiri dari berjualan pulsa. Namanya Mubien. Asetnya kini mencapai puluhan juta, padahal dua tahun lalu, dia pernah pinjam kepada saya Rp. 100.000 untuk mulai berbisnis dalam bidang ini.
Sekarang dia sudah punya rencana untuk menikah. Lagi-lagi, berkat industri seluler, dia mendapatkan rizqi yang banyak, mandiri secara ekonomi. Digitung secara nasional, jumlah penjual pulsa kini mencapai 4,6 juta orang ini bukan angka sedikit yang potensial untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi bangsa (rtaruna.blogspot.com).
Belum lagi dengan adanya layanan e-banking mobile yang memperlancar para pengusaha melangsungkan transaksinya. Di negara berkembang seperti Indonesia peminat layanan e-banking kian diminati. Angkanya mencapai 407.421 nasabah, terdiri atas 349.739 nasabah pengguna short message service (SMS) dan 57.682 nasabah pengguna layanan Internet banking. (Koran Tempo, 6 Januari 2010)
Dari sini saja, cukup saya menyimpulkan, selulerisme telah membantu mewujudkan kedaulatan bangsa (politik dan ekonomi) seperti dicitakan dalam konstitusi negara: Pancasila dan UUD 1945.
Penutup
Mulanya saya minta masukan kepada seorang senior sebelum merampungkan tulisan yang mengurai gagasan Ben Anderson ini, tapi saya justru berbedat dengannya soal dominasi peran antara manusia dan kehendak kapital produk inovasi teknologi seperti “ponsel pintar” yang belakangan digemari masyarakat kita. Dia menyatakan, kita sebetulnya tidak membutuhkan produk teknologi komunikasi yang instrumental dan sebatas pemenuhan kebutuhan komunikasi sekunder seperti 3 G. “Jangan mudah terhasutlah dengan citra canggih teknologi,” katanya.
Beberapa hal saya mengungkapkan kata sepakat dengannya. Dalam jagad material, kita sering mengukur status seseorang dari mekanisme kepemilikan. Ponsel pintar kadang memang membuat orang mudah mengadaikan kemuliaan nilai dan moral dengan kepemilikan kebutuhan. Contohnya adalah kasus seorang remaja yang dengan sadar menjual sepeda motor dari orang tuanya untuk membeli sebuah ponsel pintar. Bagi saya ini masalahnya adalah konsumerisme, bukan inovasinya.
Saya melanjutkan keterangan, teknologi itu seperti teologi (agama). Ia akan selalu menjadi kebutuhan abadi umat manusia sampai kapan pun. John Micklethwait (2007) mengatakan, menusia menginovasi teknologi agar terbebas dari tirani ruang, waktu dan media. Dengan teknologi, manusia menjaga eksitensinya menembus dimensi zaman. Perenial: abadi. Dulu hingga sekarang.
Bagaimana dengan Indonesia? Akad sebagai negara Indonesia yang mengikrarkan diri bebas dari penjajahan kaum kolonial memang sudah dimulai sejak 1945, namun syahadat keteguhan untuk merdeka sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat utuh dan mandiri adalah proses becoming (menjadi) yang tanpa henti harus terus dikomunikasikan.
Indonesia dalam portal zaman informasi global harus memosisikan sebagai bangsa yang cerdas menangkap pesan dunia dan merespon secara aktif atas perkembangan dunia. Ada banyak kisah peradaban yang tamat karena tidak ada jalinan komunikasi yang sehat, internal maupun eksternal. Portal zaman globalisasi adalah tantangan perenialisme Indonesia. Tentang kehadirannya dan kultur kebudayaannya di antara negara bangsa lainnya.
Ingatan saya kembali kepada tiga gejala kebudayaan seperti diungkapkan J.J. Honigmann (1959), yakni gagasan, aktivitas dan artefak. Bahwa inovasi teknologi hanya bagian dari kultur hakiki kita sebagai manusia yang hidup sekarang, karena ia bagian dari gerak kebudayaan yang dinamis dan terus berkembang. Tidak ada yang keliru dengan teknologi, apalagi karakteristiknya hanya dijadikan sebagai sarana merampungkan tugas manusia sebagai manajer Tuhan untuk mengelola alam raya.
“Manusia dipilih sebagai manajer karena kecanggihan otak dan intuisinya juga kan, Mas?” tanya saya kepada senior saya itu. “Tapi bukan berarti manusia harus dikusai teknologi,” dia menimpali. “Kalau itu saya sepakat, Mas, teknologi hanya “diijinkan” untuk melengkapi kebutuhan eksisntensial kita, bukan “diperbolehkan” menjinakkan, tapi juga tidak berarti “diharamkan” sebagai bagian kebudayaan kita yang akan menjadi artefak kelak,” tanggapan balik saya. Ya begitulah. [badriologi.com]
Rujukan Buku:
- Anderson, Benedict R. O’G, Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983).
- Friedmen, Thomas L., The World is Flat, terj. P. Buntaran dkk. (Jakarta: Dian Rakyat, 2006)
- Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrolpologi, cet. II (Jakarta: Aksara Baru, 1980)
- Mardimin, Johanes (ed.), Jangan Tangisi Tradisi, cet. I (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
- Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, cet. 10 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996)
Link Internet:
- http://www.lestariweb.com/Indonesia/General_I.htm (diakses pada 13 Mei 2010)
- http://techno.okezone.com/read/2010/02/16/54/304032/54/akhir-2010-pengguna-seluler-dunia-tembus-5-miliar
- http://simtronik.com/blackberry-sudah-kuasai-10-pasar-smartphone-ri/
- file:///E:/Pengguna%20Facebook/Statistik%20Pengguna%20Facebook%20per%20Maret%202010%20%28Indonesia%20no.%203%20dunia%29%20_%20RidhoFitra.INFO.htm
- http://rtaruna.blogspot.com/2010/03/nasib-counter-pulsa-masa-depan.html
- http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/06/Makassar/krn.20100106.186708.id.html
Keterangan:
Naskah ini dikutkan dalam Anugerah Karya Tulis Telkomsel 2010.