Oleh M Abdullah Badri
SEORANG pembicara dalam diskusi menyatakan produk teknologi akan cepat usang dan dianggap rongsokan secepat embusan napas. Produk komputer terbaru yang baru dibeli dari toko akan disusul produk yang lebih baru begitu kaki melangkah pergi. Ibaratnya begitu. Artinya, inovasi dalam teknologi adalah gerakan pasti. Namun, apakah cukup dengan gerakan? Ada yang lebih penting dari itu, yakni etika; perenialisme.
Upaya pemerintah meningkatkan daya saing patut didukung. Dana miliaran rupiah untuk mendukung penelitian dalam ilmu pengetahuan dan eksperimen ilmiah merupakan penanda kesadaran kritis bahwa kini kemajuan tanpa kreativitas ibarat pohon yang tak akan berbuah. Sekaya dan seiman apa pun masyarakat, jika inovasi tak bergerak menuju kreativitas, akan runtuh dalam iklim kompetisi.
Indonesia sebagai negara “surga dunia” karena kekayaan alam, hanya akan menjadi pasar yang ramai dikunjungi pedagang luar bila tak memiliki produk teknologi. Bahkan menyandang status konsumen an sich. Tak mungkin dalam dinamika globalisasi yang berekspansi luas berkat perkembangan teknologi, komunikasi, dan transportasi, kita hanya mengandalkan keimanan dan kekayaan.
Sebagaimana iman dalam agama, spiritualitas teknologi hanya menyisakan dua pilihan tak terelakkan. Pertama, menolak kehadiran dengan konsekuensi isolasi. Kedua, menerima demi meningkatkan daya saing. Pilihan kedua harus disertai kerja inovatif dan kreatif, bila ingin berlanjut pada pemenuhan kebutuhan hidup primer. Bukan hanya daya saing yang diraih, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat juga bukan impian kosong. Itulah janji iman berteknologi.
Metro Kota
Bagaimana kondisi masyarakat dengan akses besar pada teknologi? Progresif, dinamis, terbuka, dan berpengharapan. Itu. Kita bisa melihat fakta tersebut dalam kultur masyarakat kota. Kaum urban yang rata-rata mampu mengakses teknologi dan menguasai, bahkan berinovasi, makin tinggi pula akses ekonomi dan politik mereka. Tak pelak, mereka pun makin mudah meningkatkan taraf kehidupan.
Gaya hidup metropolis menjadi arahan hidup yang berpenuhan dalam tabiat kota. Pemenuhan kebutuhan hidup di kota selesai di sini.
Namun masih ada yang harus kita perhatikan dalam kultur urban, yakni keterpecahan sosial gigantis yang mengarak. Meski kebutuhan keseharian terpenuhi, virus alienasi membuat masyarakat urban bergaya individualis, pragmatis, dan konsumtif. Indutrialisasi yang berpusat di kota, sebagai aplikasi kerja inovasi teknologi, menjadikan manusia kota dirutinkan, ditertibkan oleh mesin-mesin waktu dan produksi.
Kebebasan yang terpasung rutinitas akhirnya melahirkan manusia yang setengah manusia, agak manusia, sedikit manusia, manusia samara, dan kemudian manusia robot (Ainun Nadjib: 1995). Maka, meski masyarakat kota kian sejahtera, masih banyak dijumpai aksi kriminal, kekerasan, serta konflik komunal akibat ketimpangan sosial. Kota merupa ruang impian kesejahteraan sekaligus limbah ketimpangan sosial. Kota adalah ruang konflik kolektif dan mimik kreatif.
Kesadaran Baru
Kini, di masyarakat kota mucul gejala positif dalam memaknai eksistensi hidup. Orang kota yang dulu merasakan kesejukan desa, menginginkan kedamaian, kembali ke suasana nyaman ala desa dan agama. Kalangan terdidik rajin menghadiri acara agama dan ritual tradisi. Bahkan ada yang rela meninggalkan harta kekayaan hanya untuk mencari kerinduan memaknai hidup. Cara memaknai hidup itulah etika.
Dalam beretika, orang tidak sekadar memenuhi mekanisme kerja, tetapi bagaimana memaknai eksistensi kerja. Upaya meningatkan inovasi berteknologi yang diimplementasikan dalam dunia industri, dan masyarakat kota sebagai aktor serta penikmat, tak menjamin mereka sepenuhnya hidup sebagai manusia. Perenialisme adalah seperangkat etika yang memberikan kesadaran eksistensial menuju pemaknaan manusia secara utuh sebagai subjek sekaligus objek kebudayaan.
Dengan etika perenial, upaya ekploitasi dari produk inovasi teknologi (terhadap alam dan manusia) hendak diarahkan ke keseimbangan kosmologis. Titah manusia bukan hanya sebagai khalifah (mengelola bumi), tetapi juga al-abd (hamba) yang memiliki pertanggungjawaban abadi, kelak setelah kehidupan di dunia. Itu membutuhkan kesadaran intuisi.
Inovasi tanpa intuisi akan merenggut sisi kemanusiaan. Akhirnya, eksploitasi tak henti melahirkan ironi. Masyarakat kota yang terasing adalah contohnya. Mereka dieksploitasi oleh mesin produk indutri teknologi, tanpa terbuka ruang mengeskpersikan sisi kemanusiaan. Etika perenial kian urgen ditegakkan, mengingat gejala masyarakat urban menginginkan kerinduan, kedamaian, dan kebahagiaan. Bahwa manusia bukan hanya memiliki akal budi, melainkan juga nurani, iman, intuisi, selain daya kreasi inovasi tentunya.
(Dimuat Suara Merdeka, 7 Juni 2010)
SEORANG pembicara dalam diskusi menyatakan produk teknologi akan cepat usang dan dianggap rongsokan secepat embusan napas. Produk komputer terbaru yang baru dibeli dari toko akan disusul produk yang lebih baru begitu kaki melangkah pergi. Ibaratnya begitu. Artinya, inovasi dalam teknologi adalah gerakan pasti. Namun, apakah cukup dengan gerakan? Ada yang lebih penting dari itu, yakni etika; perenialisme.
Upaya pemerintah meningkatkan daya saing patut didukung. Dana miliaran rupiah untuk mendukung penelitian dalam ilmu pengetahuan dan eksperimen ilmiah merupakan penanda kesadaran kritis bahwa kini kemajuan tanpa kreativitas ibarat pohon yang tak akan berbuah. Sekaya dan seiman apa pun masyarakat, jika inovasi tak bergerak menuju kreativitas, akan runtuh dalam iklim kompetisi.
Indonesia sebagai negara “surga dunia” karena kekayaan alam, hanya akan menjadi pasar yang ramai dikunjungi pedagang luar bila tak memiliki produk teknologi. Bahkan menyandang status konsumen an sich. Tak mungkin dalam dinamika globalisasi yang berekspansi luas berkat perkembangan teknologi, komunikasi, dan transportasi, kita hanya mengandalkan keimanan dan kekayaan.
Sebagaimana iman dalam agama, spiritualitas teknologi hanya menyisakan dua pilihan tak terelakkan. Pertama, menolak kehadiran dengan konsekuensi isolasi. Kedua, menerima demi meningkatkan daya saing. Pilihan kedua harus disertai kerja inovatif dan kreatif, bila ingin berlanjut pada pemenuhan kebutuhan hidup primer. Bukan hanya daya saing yang diraih, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat juga bukan impian kosong. Itulah janji iman berteknologi.
Metro Kota
Bagaimana kondisi masyarakat dengan akses besar pada teknologi? Progresif, dinamis, terbuka, dan berpengharapan. Itu. Kita bisa melihat fakta tersebut dalam kultur masyarakat kota. Kaum urban yang rata-rata mampu mengakses teknologi dan menguasai, bahkan berinovasi, makin tinggi pula akses ekonomi dan politik mereka. Tak pelak, mereka pun makin mudah meningkatkan taraf kehidupan.
Gaya hidup metropolis menjadi arahan hidup yang berpenuhan dalam tabiat kota. Pemenuhan kebutuhan hidup di kota selesai di sini.
Namun masih ada yang harus kita perhatikan dalam kultur urban, yakni keterpecahan sosial gigantis yang mengarak. Meski kebutuhan keseharian terpenuhi, virus alienasi membuat masyarakat urban bergaya individualis, pragmatis, dan konsumtif. Indutrialisasi yang berpusat di kota, sebagai aplikasi kerja inovasi teknologi, menjadikan manusia kota dirutinkan, ditertibkan oleh mesin-mesin waktu dan produksi.
Kebebasan yang terpasung rutinitas akhirnya melahirkan manusia yang setengah manusia, agak manusia, sedikit manusia, manusia samara, dan kemudian manusia robot (Ainun Nadjib: 1995). Maka, meski masyarakat kota kian sejahtera, masih banyak dijumpai aksi kriminal, kekerasan, serta konflik komunal akibat ketimpangan sosial. Kota merupa ruang impian kesejahteraan sekaligus limbah ketimpangan sosial. Kota adalah ruang konflik kolektif dan mimik kreatif.
Kesadaran Baru
Kini, di masyarakat kota mucul gejala positif dalam memaknai eksistensi hidup. Orang kota yang dulu merasakan kesejukan desa, menginginkan kedamaian, kembali ke suasana nyaman ala desa dan agama. Kalangan terdidik rajin menghadiri acara agama dan ritual tradisi. Bahkan ada yang rela meninggalkan harta kekayaan hanya untuk mencari kerinduan memaknai hidup. Cara memaknai hidup itulah etika.
Dalam beretika, orang tidak sekadar memenuhi mekanisme kerja, tetapi bagaimana memaknai eksistensi kerja. Upaya meningatkan inovasi berteknologi yang diimplementasikan dalam dunia industri, dan masyarakat kota sebagai aktor serta penikmat, tak menjamin mereka sepenuhnya hidup sebagai manusia. Perenialisme adalah seperangkat etika yang memberikan kesadaran eksistensial menuju pemaknaan manusia secara utuh sebagai subjek sekaligus objek kebudayaan.
Dengan etika perenial, upaya ekploitasi dari produk inovasi teknologi (terhadap alam dan manusia) hendak diarahkan ke keseimbangan kosmologis. Titah manusia bukan hanya sebagai khalifah (mengelola bumi), tetapi juga al-abd (hamba) yang memiliki pertanggungjawaban abadi, kelak setelah kehidupan di dunia. Itu membutuhkan kesadaran intuisi.
Inovasi tanpa intuisi akan merenggut sisi kemanusiaan. Akhirnya, eksploitasi tak henti melahirkan ironi. Masyarakat kota yang terasing adalah contohnya. Mereka dieksploitasi oleh mesin produk indutri teknologi, tanpa terbuka ruang mengeskpersikan sisi kemanusiaan. Etika perenial kian urgen ditegakkan, mengingat gejala masyarakat urban menginginkan kerinduan, kedamaian, dan kebahagiaan. Bahwa manusia bukan hanya memiliki akal budi, melainkan juga nurani, iman, intuisi, selain daya kreasi inovasi tentunya.
(Dimuat Suara Merdeka, 7 Juni 2010)