Oleh M Abdullah Badri
ERA baca keaksaraan dari kertas yang dimulai sejak 105 Masehi oleh Ts’ai Lun di China, diprediksi tergantikan kultur baca digital atas kehadiran teknologi electronic book (e-book) yang beberapa tahun terakhir jadi kecenderungan dalam masyarakat baca. Kendati kultur baca masyarakat kita masih memprihatinkan, pelanggan teknologi e-book di dunia maya meningkat cukup menggembirakan. Peranti baca lunak, seperti rar, zip, pdf, tgz, dan chm di situs yang tersebar luas di internet menggeser eksistensi buku cetak yang dijual di toko buku konvensional.
Pergeseran bukan hanya terjadi dalam hijrah masyarakat informasi dari tradisi baca cetak ke digital, melainkan juga dalam dimensi dan orientasi ritual membaca. E-book telah menggugat ketidakadilan akses informasi yang selama ini dihegemoni buku cetak. Dulu, untuk mendapatkan informasi perlu membeli buku. Kini, dengan kantong tipis atau kosong, informasi yang sama dapat diakses dari internet dalam bentuk e-book, gratis. Juga tak perlu ruang luas dan lemari besar untuk menjadi kolektor buku berbobot.
Gaya Alternatif
Kultur baca elektronik kini juga menampakkan dimensi perubahan dari kecenderungan pola free information service ke free information service. E-book bisa dimanfaatkan sebagai gaya alternatif penjualan informasi yang menjanjikan pundi-pundi rupiah. Yang berbayar tentu. Laba bisa berlipat kali karena berjualan e-book tak perlu repot keluar biaya promosi mahal dan ongkos distribusi. Soft file tulisan jadi yang sudah ada, tinggal diganti format baca ke zip, pdf, rar, atau yang lain, dan bisa langsung dijual. Harga ditentukan oleh seberapa menggoda judul e-book itu buat calon pembeli, bukan tebal halaman. Begitu pun e-book tak akan habis terjual, meski ratusan orang membeli setiap hari.
Untuk menarik pelanggan, toko buku biasanya menggelar bazar buku atau promosi resensi buku baru di media massa. Pembeli dijemput bola. E-book tidak demikian. Pembeli justru yang datang mencari bola; membeli. Partisipasi aktif pembaca tampak. Mereka menelusuri e-book di internet sesuai dengan selera dan kebutuhan serta tak perlu menyita waktu ke perpustakan umum. Klik, beli, lalu unduh dan bisa dibaca langsung di tempat atau disimpan dalam perpustakaan digital.
Jual Diri Karya
E-book juga memunculkan kultur writer entrepreneurship. Penulis buku elektronik tidak hanya pemilik hak intelektual karya, tetapi juga distributor, pedagang buku sekaligus pustakawan yang cerdas; kolektor yang bukan hanya menata rapi buku, melainkan juga mengemas dan “menjual” informasi ke pelanggan. Makin banyak koleksi e-book kian luas pelanggan yang cinta. Pelanggan setia, kata Bill Marriot (pemilik Hotel Marriot), akan datang kembali bila dilayani dengan benar; disediakan e-book yang termutakhirkan itu (John C Maxell, 2003: 87).
Badiatul Muhlisin Asti, penulis asal Grobogan, menyebut jual diri karya pribadi itu sebagai penerbitan pribadi. Di kalangan penulis, kecenderungan itu kini menggeliat di tengah iklim penerbitan mesin cetak yang seret akibat krisis kertas dan sistem pembagian royalti yang kurang memuaskan. Dengan berdagang karya pribadi, penulis bebas menentukan harga dan besaran cetakan. Tentu disesuaikan dengan kemampuan modal.
Kabar baik e-book yang menjanjikan peningkatan taraf imajinatif dan daya kreasi dari masyarakat, seiring dengan peningkatan iklim baca yang kondusif, tak senyatanya menciptakan keadilan dalam akses informasi. Inovasi teknologi digital memang bertabiat bebas akses oleh konsumen pembaca dari kalangan mana pun. Namun tak semua orang mampu melakukan. Setidaknya, kata Sudaryatmo (2001: 10), dalam kecenderungan teknologi e-book, masih ada kategorisasi konsumen pembaca yang terinformasi (berpendidikan; menengah ke atas) dan yang tidak terinformasi (berpendidikan rendah; menengah ke bawah).
Kalangan terdidik jelas diuntung-kan dengan kecenderungan baca ala teknologi digital itu, karena mereka punya kemampuan akses dan alat. Namun bagi masyarakat yang kurang mampu, kecenderungan itu tak membawa perubahan apa-apa.
Selain masalah itu, semarak keaksaraan berbasis teknologi e-book juga belum mendapatkan “sertifikasi intelektual” dari kalangan akademisi. E-book belum bisa dijadikan rujukan referensial dalam penulisan karya ilmiah di kampus, karena belum menjamin kepemilikan sah hak cipta dan orisinalitas hak intelektual, kecuali jika sudah ada salinan cetak.
Karena itulah, di sebagian kalangan, e-book dijadikan sarana menjual kumpulan pengetahuan dan informasi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan sumber asal aslinya. Penerbitan pribadi ada, tetapi kultur keberaksaraannya kurang menggiatkan ekspresi imajinatif dan sisi kreatif konsumen pembaca. Padahal, itu yang dibutuhkan bangsa kita di tengah kedangkalan menemukan kesejarahan peradaban yang mengarak. Semoga perubahan teknologi membawa kemajuan, kendati setiap perubahan tidak selalu membawa kemajuan. Ts’ai Lun pun harap-harap cemas.
(Dimuat Suara Merdeka, 6 September 2010)
ERA baca keaksaraan dari kertas yang dimulai sejak 105 Masehi oleh Ts’ai Lun di China, diprediksi tergantikan kultur baca digital atas kehadiran teknologi electronic book (e-book) yang beberapa tahun terakhir jadi kecenderungan dalam masyarakat baca. Kendati kultur baca masyarakat kita masih memprihatinkan, pelanggan teknologi e-book di dunia maya meningkat cukup menggembirakan. Peranti baca lunak, seperti rar, zip, pdf, tgz, dan chm di situs yang tersebar luas di internet menggeser eksistensi buku cetak yang dijual di toko buku konvensional.
Pergeseran bukan hanya terjadi dalam hijrah masyarakat informasi dari tradisi baca cetak ke digital, melainkan juga dalam dimensi dan orientasi ritual membaca. E-book telah menggugat ketidakadilan akses informasi yang selama ini dihegemoni buku cetak. Dulu, untuk mendapatkan informasi perlu membeli buku. Kini, dengan kantong tipis atau kosong, informasi yang sama dapat diakses dari internet dalam bentuk e-book, gratis. Juga tak perlu ruang luas dan lemari besar untuk menjadi kolektor buku berbobot.
Gaya Alternatif
Kultur baca elektronik kini juga menampakkan dimensi perubahan dari kecenderungan pola free information service ke free information service. E-book bisa dimanfaatkan sebagai gaya alternatif penjualan informasi yang menjanjikan pundi-pundi rupiah. Yang berbayar tentu. Laba bisa berlipat kali karena berjualan e-book tak perlu repot keluar biaya promosi mahal dan ongkos distribusi. Soft file tulisan jadi yang sudah ada, tinggal diganti format baca ke zip, pdf, rar, atau yang lain, dan bisa langsung dijual. Harga ditentukan oleh seberapa menggoda judul e-book itu buat calon pembeli, bukan tebal halaman. Begitu pun e-book tak akan habis terjual, meski ratusan orang membeli setiap hari.
Untuk menarik pelanggan, toko buku biasanya menggelar bazar buku atau promosi resensi buku baru di media massa. Pembeli dijemput bola. E-book tidak demikian. Pembeli justru yang datang mencari bola; membeli. Partisipasi aktif pembaca tampak. Mereka menelusuri e-book di internet sesuai dengan selera dan kebutuhan serta tak perlu menyita waktu ke perpustakan umum. Klik, beli, lalu unduh dan bisa dibaca langsung di tempat atau disimpan dalam perpustakaan digital.
Jual Diri Karya
E-book juga memunculkan kultur writer entrepreneurship. Penulis buku elektronik tidak hanya pemilik hak intelektual karya, tetapi juga distributor, pedagang buku sekaligus pustakawan yang cerdas; kolektor yang bukan hanya menata rapi buku, melainkan juga mengemas dan “menjual” informasi ke pelanggan. Makin banyak koleksi e-book kian luas pelanggan yang cinta. Pelanggan setia, kata Bill Marriot (pemilik Hotel Marriot), akan datang kembali bila dilayani dengan benar; disediakan e-book yang termutakhirkan itu (John C Maxell, 2003: 87).
Badiatul Muhlisin Asti, penulis asal Grobogan, menyebut jual diri karya pribadi itu sebagai penerbitan pribadi. Di kalangan penulis, kecenderungan itu kini menggeliat di tengah iklim penerbitan mesin cetak yang seret akibat krisis kertas dan sistem pembagian royalti yang kurang memuaskan. Dengan berdagang karya pribadi, penulis bebas menentukan harga dan besaran cetakan. Tentu disesuaikan dengan kemampuan modal.
Kabar baik e-book yang menjanjikan peningkatan taraf imajinatif dan daya kreasi dari masyarakat, seiring dengan peningkatan iklim baca yang kondusif, tak senyatanya menciptakan keadilan dalam akses informasi. Inovasi teknologi digital memang bertabiat bebas akses oleh konsumen pembaca dari kalangan mana pun. Namun tak semua orang mampu melakukan. Setidaknya, kata Sudaryatmo (2001: 10), dalam kecenderungan teknologi e-book, masih ada kategorisasi konsumen pembaca yang terinformasi (berpendidikan; menengah ke atas) dan yang tidak terinformasi (berpendidikan rendah; menengah ke bawah).
Kalangan terdidik jelas diuntung-kan dengan kecenderungan baca ala teknologi digital itu, karena mereka punya kemampuan akses dan alat. Namun bagi masyarakat yang kurang mampu, kecenderungan itu tak membawa perubahan apa-apa.
Selain masalah itu, semarak keaksaraan berbasis teknologi e-book juga belum mendapatkan “sertifikasi intelektual” dari kalangan akademisi. E-book belum bisa dijadikan rujukan referensial dalam penulisan karya ilmiah di kampus, karena belum menjamin kepemilikan sah hak cipta dan orisinalitas hak intelektual, kecuali jika sudah ada salinan cetak.
Karena itulah, di sebagian kalangan, e-book dijadikan sarana menjual kumpulan pengetahuan dan informasi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan sumber asal aslinya. Penerbitan pribadi ada, tetapi kultur keberaksaraannya kurang menggiatkan ekspresi imajinatif dan sisi kreatif konsumen pembaca. Padahal, itu yang dibutuhkan bangsa kita di tengah kedangkalan menemukan kesejarahan peradaban yang mengarak. Semoga perubahan teknologi membawa kemajuan, kendati setiap perubahan tidak selalu membawa kemajuan. Ts’ai Lun pun harap-harap cemas.
(Dimuat Suara Merdeka, 6 September 2010)