Oleh M Abdullah Badri
DALAM rentang waktu sebulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mendapatkan tiga pendekar hukum. Jenderal Timur Pradopo menggantikan posisi Bambang Hendarso Danuri sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Basrief Arief ditunjuk SBY menahkodai Kejaksaan Agung (Kejagung). Setelah itu, Busyro Muqaddas tampil sebagai algojo koruptor setelah terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka telah dilantik. Artinya, harapan besar penegakan hukum di negeri ini ada di tangan mereka. SBY pun mempunyai impian, antara Polri, Kejagung dan KPK bisa bersinergi memberantas tindakan yang melawan hukum, terutama dalam institusinya masing-masing, demi nama baik lembaga negara juga.
Pertanyaannya, apakah janji-janji penegakan hukum itu akan menjelma dalam realitas? Apakah mampu para pendekar hukum itu mencegah pembusukan hukum di institusinya sendiri dalam masa jabatan aktifnya?
Kita memang mengharapkan ada penegakan hukum yang tegas dari para pendekar itu atas praktek penyimpangan dan pembalikan fakta hukum yang terjadi dalam negeri, seperti kasus Gayus P Tambunan dan kasus-kasus lain yang sempat mewarnai media kita. Namun satu hal yang perlu diperhatikan, untuk “menghunuskan pedang”, para pendekar hukum harus saling bekerja bersama, bukan kerja-sama.
Baca: Cara Gus Dur Memenangkan Demokrasi di Papua
Sinergi menyiratkan adanya energi, bukan kompromi. Sulit mengharapkan energi baru kalau dalam setiap pengambilan keputusan dibahas dalam ruang yang sama, karena disana rentan menumbuhkan jiwa ewuh pakewuh, tepa selira, yang akhirnya menuju pada sikap yang kompromis dan saling menjaga harmoni antar pribadi.
Kita lihat pada era Orde Baru dulu. Waktu itu, ada bentuk kerjasama antar institusi penegak hukum: Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian, disingkat menjadi Mahkejakpol. Tapi sinergi ketiganya justru kontraproduktif dengan tujuan luhur penegakan hukum. Yang ada, mereka justru melakukan gerakan kompromis saling bekerja bareng menutupi kebobrokan “perselingkuhan” hukum antara aktor penegak hukum (yudikator) dan pemerintah sebagai pelaksana eksekutif kebijakan negara.
Harusnya, dalam proses pencarian kebenaran dan keadilan, profesionalitas dijadikan prinsip. Caranya, penegak hukum hendaknya tidak terlibat dalam perkara yang ditangani. Penegak hukum, agar tegas, dia harus siap terasing dan dicaci oleh dua pihak yang berseberangan. Ini sebagai konsekuensi logis agar hukum tetap dijalankan secara adil. Hakim, tidak boleh bicara dengan yang tersidang, kecuali dalam ruang sidang.
Para pendekar hukum tersebut tidak akan bertaring dan bertaji bila praktek kinerjanya berhenti secara ideologis dalam makna kompromi, sebagaiman kultur Jawa menjunjung tinggi itu. Kompromi, dalam konteks budaya Jawa amat bijak diterapkan bila konflik yang terjadi bisa diatasi secara kultural. Namun, bila masalahnya adalah kepercayaan publik, kompromi adalah ironi dan janji ilusi hukum bisa ditegakkan. Para pendekar itu adalah hulu penegakan hukum. Bila hulunya saja belum bisa profesional, bagaimana dengan sikap penegak hukum yang ada di hilir-hilir itu.
Namun, tampaknya, hal itu sulit diwujudkan karena SBY sendiri pernah menyatakan bahwa ia “masih percaya” kepada polisi. Di sisi lain, Busyro Muqaddas, dalam beberapa hal, dianggap kurang tegas seperti pendahulunya, Antasari Azhar.
Polemik ini menjadi pertaruhan harga diri masing-masing institusi. Dalam pemberantasan korupsi, masyarakat lebih yakin bila ditangani oleh KPK daripada Polri. KPK selama ini citranya masih lebih bersih daripada Polri. Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Indonesian Police Watch (IPW) ternyata masih berharap banyak kepada KPK dalam kasus Gayus.
Tampaknya harapan kepada KPK juga masih disangsikan mengingat masa jabatan ketuanya sekarang amat pendek, satu tahun. Waktu sependek itu, untuk menyelesaikan kasus Gayus yang maha daya “sihir”-nya jelas tidaklah cukup. KPK setelah Antasari hanya ber-taji menjebloskan para kepala daerah yang korup. Selebihnya, masih belum tertangani. KPK terkesan tebang pilih.
Baca: Organisasi MATAN: Arus Baru Peradaban Kampus Indonesia
Berharap kepada kepolisian dan kehakiman? Tunda dulu-lah mimpi kita itu sebelum para mafia hukum dan mafia pajak yang melibatkan oknum polisi dan hakim diangkat ke pengadilan. Barangkali tujuan SBY menunjuk Timur Pradopo sebagai Kapolri tepat untuk meminimalisir konflik internal Polri di masa Danuri dulu, mengingat Timur bukan orang dalam, waktu itu.
Namun, dalam ketegasan, Timur masih diragukan oleh karena dalam sejarah karir kepolisiannya selama ini sedikit sekali menorehkan berprestasi gemilang. Yakin, Kapolri tetap ewuh ‘menujuk hidung’ bila seniornya yang dulu menjabat terbukti melanggar hukum.
Hal yang sama juga bisa kita lihat dalam track record Basrief Arief. Dia yang pernah menjadi pejabat di Kejaksaan Agung tidak bisa berbuat apa-apa kala rekan-rekannya disinyalir melakukan rangkaian agenda “penyelewengan” hukum.
Gagasan strategis juga belum muncul sebagai gerakan counter politic hegemony atas kedodoran-nya Kejagung dalam mekanisme penegakan hukum, terutama sekali yang berkaitan langsung dengan oknum internal yang bermasalah.
KPK yang kerdil masa jabatannnya dan tebang pilih kasus, Kapolri yang dianggap kurang tegas, serta Kejagung yang masih kabur strategi penegakan hukumnya, membuat Gayus dan orang-orang yang berkepentingan besar dengannya, hingga masa abdi para pendekar hukum itu habis, akan tetaplah ia melenggang ria dan berpelesiran sesuka-suka. Apalagi sinyalemen SBY agar masing-masing bersinergi hanya dimaknai dalam kerangka kompromi.
Meskipun mereka menghunus pedang masing-masing untuk menangkap musuh-musuh hukum, tak akanlah pernah berakhir pada penebasan dan “eksekusi mati”. Kalau SBY ingin menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum, harusnya dia langsung terjun untuk memberikan instruksi penanganan secara cepat terhadap kasus Gayus, secepat dia mendapatkan ketiga pendekar hukum.
Kalau tidak, hukum hanya untuk orang-orang yang “mengambil” kakau, yang dieksekusi secara kilat dengan hukuman yang maha tidak masuk akal. Taji pendekar hukum ditantang di negeri yang nihil nurani ini. [badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini pernah dimuat Koran Sore Wawasan, Sabtu, 18 Desember 2010
DALAM rentang waktu sebulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mendapatkan tiga pendekar hukum. Jenderal Timur Pradopo menggantikan posisi Bambang Hendarso Danuri sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Basrief Arief ditunjuk SBY menahkodai Kejaksaan Agung (Kejagung). Setelah itu, Busyro Muqaddas tampil sebagai algojo koruptor setelah terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka telah dilantik. Artinya, harapan besar penegakan hukum di negeri ini ada di tangan mereka. SBY pun mempunyai impian, antara Polri, Kejagung dan KPK bisa bersinergi memberantas tindakan yang melawan hukum, terutama dalam institusinya masing-masing, demi nama baik lembaga negara juga.
Pertanyaannya, apakah janji-janji penegakan hukum itu akan menjelma dalam realitas? Apakah mampu para pendekar hukum itu mencegah pembusukan hukum di institusinya sendiri dalam masa jabatan aktifnya?
Kita memang mengharapkan ada penegakan hukum yang tegas dari para pendekar itu atas praktek penyimpangan dan pembalikan fakta hukum yang terjadi dalam negeri, seperti kasus Gayus P Tambunan dan kasus-kasus lain yang sempat mewarnai media kita. Namun satu hal yang perlu diperhatikan, untuk “menghunuskan pedang”, para pendekar hukum harus saling bekerja bersama, bukan kerja-sama.
Baca: Cara Gus Dur Memenangkan Demokrasi di Papua
Sinergi menyiratkan adanya energi, bukan kompromi. Sulit mengharapkan energi baru kalau dalam setiap pengambilan keputusan dibahas dalam ruang yang sama, karena disana rentan menumbuhkan jiwa ewuh pakewuh, tepa selira, yang akhirnya menuju pada sikap yang kompromis dan saling menjaga harmoni antar pribadi.
Kita lihat pada era Orde Baru dulu. Waktu itu, ada bentuk kerjasama antar institusi penegak hukum: Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian, disingkat menjadi Mahkejakpol. Tapi sinergi ketiganya justru kontraproduktif dengan tujuan luhur penegakan hukum. Yang ada, mereka justru melakukan gerakan kompromis saling bekerja bareng menutupi kebobrokan “perselingkuhan” hukum antara aktor penegak hukum (yudikator) dan pemerintah sebagai pelaksana eksekutif kebijakan negara.
Harusnya, dalam proses pencarian kebenaran dan keadilan, profesionalitas dijadikan prinsip. Caranya, penegak hukum hendaknya tidak terlibat dalam perkara yang ditangani. Penegak hukum, agar tegas, dia harus siap terasing dan dicaci oleh dua pihak yang berseberangan. Ini sebagai konsekuensi logis agar hukum tetap dijalankan secara adil. Hakim, tidak boleh bicara dengan yang tersidang, kecuali dalam ruang sidang.
Para pendekar hukum tersebut tidak akan bertaring dan bertaji bila praktek kinerjanya berhenti secara ideologis dalam makna kompromi, sebagaiman kultur Jawa menjunjung tinggi itu. Kompromi, dalam konteks budaya Jawa amat bijak diterapkan bila konflik yang terjadi bisa diatasi secara kultural. Namun, bila masalahnya adalah kepercayaan publik, kompromi adalah ironi dan janji ilusi hukum bisa ditegakkan. Para pendekar itu adalah hulu penegakan hukum. Bila hulunya saja belum bisa profesional, bagaimana dengan sikap penegak hukum yang ada di hilir-hilir itu.
Pendekar Hukum di Indonesia
Taji para pendekar hukum kini diuji dalam kasus Gayus yang sungguh luar biasa pengaruhnya terhadap citra dan cita-cita kehidupan hukum kita. KPK, sebagai penegak hukum korupsi, didesak untuk mengambil alih kasus Gayus dari Kepolisian setelah adanya ketidakjelasan waktu, sikap dan eksekusi sanksi hukum.Namun, tampaknya, hal itu sulit diwujudkan karena SBY sendiri pernah menyatakan bahwa ia “masih percaya” kepada polisi. Di sisi lain, Busyro Muqaddas, dalam beberapa hal, dianggap kurang tegas seperti pendahulunya, Antasari Azhar.
Polemik ini menjadi pertaruhan harga diri masing-masing institusi. Dalam pemberantasan korupsi, masyarakat lebih yakin bila ditangani oleh KPK daripada Polri. KPK selama ini citranya masih lebih bersih daripada Polri. Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Indonesian Police Watch (IPW) ternyata masih berharap banyak kepada KPK dalam kasus Gayus.
Tampaknya harapan kepada KPK juga masih disangsikan mengingat masa jabatan ketuanya sekarang amat pendek, satu tahun. Waktu sependek itu, untuk menyelesaikan kasus Gayus yang maha daya “sihir”-nya jelas tidaklah cukup. KPK setelah Antasari hanya ber-taji menjebloskan para kepala daerah yang korup. Selebihnya, masih belum tertangani. KPK terkesan tebang pilih.
Baca: Organisasi MATAN: Arus Baru Peradaban Kampus Indonesia
Berharap kepada kepolisian dan kehakiman? Tunda dulu-lah mimpi kita itu sebelum para mafia hukum dan mafia pajak yang melibatkan oknum polisi dan hakim diangkat ke pengadilan. Barangkali tujuan SBY menunjuk Timur Pradopo sebagai Kapolri tepat untuk meminimalisir konflik internal Polri di masa Danuri dulu, mengingat Timur bukan orang dalam, waktu itu.
Namun, dalam ketegasan, Timur masih diragukan oleh karena dalam sejarah karir kepolisiannya selama ini sedikit sekali menorehkan berprestasi gemilang. Yakin, Kapolri tetap ewuh ‘menujuk hidung’ bila seniornya yang dulu menjabat terbukti melanggar hukum.
Hal yang sama juga bisa kita lihat dalam track record Basrief Arief. Dia yang pernah menjadi pejabat di Kejaksaan Agung tidak bisa berbuat apa-apa kala rekan-rekannya disinyalir melakukan rangkaian agenda “penyelewengan” hukum.
Gagasan strategis juga belum muncul sebagai gerakan counter politic hegemony atas kedodoran-nya Kejagung dalam mekanisme penegakan hukum, terutama sekali yang berkaitan langsung dengan oknum internal yang bermasalah.
KPK yang kerdil masa jabatannnya dan tebang pilih kasus, Kapolri yang dianggap kurang tegas, serta Kejagung yang masih kabur strategi penegakan hukumnya, membuat Gayus dan orang-orang yang berkepentingan besar dengannya, hingga masa abdi para pendekar hukum itu habis, akan tetaplah ia melenggang ria dan berpelesiran sesuka-suka. Apalagi sinyalemen SBY agar masing-masing bersinergi hanya dimaknai dalam kerangka kompromi.
Meskipun mereka menghunus pedang masing-masing untuk menangkap musuh-musuh hukum, tak akanlah pernah berakhir pada penebasan dan “eksekusi mati”. Kalau SBY ingin menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum, harusnya dia langsung terjun untuk memberikan instruksi penanganan secara cepat terhadap kasus Gayus, secepat dia mendapatkan ketiga pendekar hukum.
Kalau tidak, hukum hanya untuk orang-orang yang “mengambil” kakau, yang dieksekusi secara kilat dengan hukuman yang maha tidak masuk akal. Taji pendekar hukum ditantang di negeri yang nihil nurani ini. [badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini pernah dimuat Koran Sore Wawasan, Sabtu, 18 Desember 2010