Oleh M Abdullah Badri
Judul : The Art of Library
Penulis : Endang Fatmawati, S.S, S.Sos., M.S.i
Editor : Agus M Irkham
Penerbit : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Tahun : I, November 2010
Tebal : xxii + 316 halaman
Bila buku adalah jendela dunia, maka perpustakaan adalah pusatnya. Buku berjudul The Art of Library ini menyebut perpustakaan sebagai ibu dari peradaban, karena dari sana bisa tumbuh masyarakat pembelajar. Ia memainkan peran sebagai rumah belajar masyarakat, bukan sekadar ruang berkumpulnya macam-macam buku.
Meski perpustakaan menjamur di pelbagai tempat, baik yang didirikan oleh pemerintah daerah, sekolah, perguruan tinggi maupun rintisan swadaya masyarakat, perpustakaan hingga kini belum dijadikan tempat kunjungan favorit. Pusat literasi itu belum jadi kebutuhan (need) masyarakat informasi kita, kecuali keinginan saja (just want).
Padahal, perpustakan sebagai sumber belajar dapat berfungsi untuk proses edukatif, penelitian, mendapatkan informasi bahkan hiburan (hlm. 17). Kritik yang dilancarkan penulis untuk mereposisi perpustakaan dalam tantangan ledakan informasi global adalah krisis orientasi pemberdayaan yang kurang jadi perhatian.
Perpustakaan kita masih menempatkan masyarakat sebagai objek literasi, bukan subjek informasi yang berperan penting dalam lanskap sosio-kultural. Akibatnya, media pembelajaran bernama perpustakaan itu seolah-olah seperti tidak ada, tidak diperlukan. Ia tidak menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat sekitarnya. Stategi untuk menjadikan perpustakan sebagai medium informasi yang dibutuhkan masyarakat adalah dengan penyediaan literatur-literatur yang dibutuhkan oleh lingkungan sekitar.
Bila masyarakat setempat kebanyakan berprofesi sebagai petani, hendaknya-lah buku-buku dan teks pustaka yang ada di sana berkaitan dengan profesi itu. Tentu, hal ini akan jadi pusat pemberdayaan manakala kesadaran “mau membaca” juga dikembangkan dengan sistem sosialisasi yang menarik orang datang ke perpus; mengagendakan secara rutin acara seminar, dialog, parade seni lokal, kunjungan pengelola perpustakaan melihat langsung masalah yang dihadapi masyarakat dan menyerap langsung kebutuhan literasi masyarakat setempat.
Strategi lainnya adalah menumbuhkan kultur entrepreneurship pustakawan. Di tengah kepungan informasi, petugas perpustakaan laik dibekali soft skill ihwal literasi informasi: menulis. Dia tidak hanya bertugas meminjamkan buku kepada peminjam, namun mampu menyerap kebutuhan literasinya juga. Kultur pustakawan kita masih kaku, dan bekerja berdasar mood.
Buku ini mensyaratkan bahwa untuk menjalani profesi sebagai pustakawan, haruslah pandai berkomunikasi secara asertif, yakni kultur komunikasi yang menyejajarkan antara yang diajak berkomunikasi (peminjam) dengan komunikator (pustakawan), bukan yang pasif (banyak diam) atau agresif (cenderung emosional).
Caranya, pustakawan berkepribadian gaul (mudah diajak bicara) dan trendi (stylish). Sekali-kali, usul penulis, pakaian dinas yang dikenakan sebagai seragam, misal seragam PNS yang terkesan formal dan kaku itu, diganti dengan pakaian santai (kaos dan jins), agar pengunjung merasakan kedekatan. Dan, perpustakaan, akan jadi pusat literasi serta pemberdayaan.
(Dimuat Koran Jakarta, 13 Desember 2010)