Oleh M Abdullah Badri
Membaca eksistensi mahasiswa dari masa ke masa, mau tidak mau akan berurusan dengan dimensi politik dan kekuasaan. Dalam perubahan besar maupun kecil, garda depan sejarah selalu ditempati mahasiswa, pemuda pada hakikatnya. Lihat saja bagaimana heroiknya kaum muda era 1908, 1928, 1945, 1960-an, 1980-an hingga 1998 yang menggerakkan perubahan-perubahan besar di negeri ini sesuai kebutuhan zamannya.
Pra kemerdekaan, dimensi politik gerakan mahasiswa berkaitan dengan semangat melawan kolonialisme dengan membangkitkan semangat memperjuangkan kemerdekaan. Budi Oetomo sebagai basis gerakan yang cukup berpengaruh ketika itu.
Di era awal kemerdekaan, semangat itu merujuk pada perlawanan politik atas bahaya neo-imperialime dan kapitalisme. Bung Karno ada di depan gawang gerakan ini. Menginjak era Orde Baru, mahasiswa dihadapkan dengan rezim otoriter yang membungkam gerakan kritis-politis. Sementara pada Era Reformasi, mereka “berhasil” menggulingkan rezim Soeharto, 21 Mei 1998.
Setelah itu, di mana posisi mereka? Ada di kampus memang, tapi tak seperti dulu, dimana rapat-rapat besar dan ormas-ormas besar menjadi tempat menuliskan sejarah mahasiswa.
Kesimpulannya, mahasiswa produk reformasi dan demokrasi labil sekarang ini adalah mahasiswa yang “aman” (apatis) dari gejolak politik besar. Kebutuhan masa depannya tak terlihat jelas melainkan dalam mimpi kesuksesan material dirinya. Komaruddin Hidayat menyatakan, mahasiswa sekarang tidak hidup dalam rezim kuasa lokal, tapi hidup dalam rezim zaman, yakni globalisasi.
Sentuhan mahasiswa dengan dimensi politik, kian berkurang. Akibat massifnya pelanggaran elite kekuasaan, mereka malah makin tak percaya dengan perkembangan politik dalam negeri. “Hari gini ngomongin politik, basi tahu. Politik itu kotor,” kata seorang kawan. Pandangan politiknya adalah apolitis. Tak mau direpotkan dengan arus perubahan besar politik dalam negeri.
Mengaitkan mahasiswa era globalisasi dengan dimensi politis sulit menemukan titik dan ujung. Daripada mengikuti perkembangan politik, mereka lebih suka menonton gosip murahan yang tayang tiap hari di layar datar televisi. Nanti dululah masalah buku, apalagi politik, yang penting bagaimana menyiapkan masa depan untuk mendapatkan raihan kapital kelak.
Lebaisme Budaya
Aktivis di kampus dianggap sebagai beban yang membuat waktu terbuang hilang sia-sia. “Saya tidak kuat menjadi aktivis, terlalu beresiko,” kata teman saya, lain lagi. Apakah gejala ini progresif atau degradatif?
Kita tentu tidak bisa memaksakan mereka mengukir sejarah seperti para pendahulu mahasiswa yang hidup di eranya masing-masing itu. Kebutuhan sejarah sekarang jelas berbeda dengan kebutuhan dan tantangan mahasiswa di masa lalu. Memaksakan mahasiswa kini untuk nyemplung di dunia politik hanya untuk mengukir prestise sejarah adalah pemaksaan sejarah yang lapas konteks historis kekinian dan kebutuhan masa depan.
Pemuda zaman dulu yang hidup di kampus, dan bahkan yang masih usia belasan, tak lepas dari dimensi politis karena tuntutan sejarah memang mengharuskan dan mendesaknya demikian. Bennedict Anderson (1972) malah menyebut pemuda mahasiswa masa zaman Orba selalu dikaitkan dengan dimensi politis.
Baru setelah adanya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus), dimensi politiknya digundhuli (dibatasi). Karena dianggap mengganggu stabilitas politik rezim, mahasiswa dikembalikan ke kampus. Kegiatan internalnya di kampus diperkaya (di-ada-adakan) agar tak ikut sibuk mengurusi jalannya developmentalisme Orba. Keharusan memenuhi standar akademik juga diperketat dan dipertebal. Biar jadi ”pintar”, tapi tidak ”nakal”.
James Siegel menyebut penggundhulan dimensi politik mahasiswa itu sebagai “peremajaan” mahasiswa. Remaja di sini bukan soal usia, tapi soal pola pikir dan gaya hidup. Mahasiswa, secerdas dan sepintar apapun, kala itu, tidak diperbolehkan merecoki dunia politik praktis. Jadi, apatisme politik politik mahasiswa pada masa itu dicampuri dengan struktur kekuasaan rezim.
Berbeda dengan sekarang, sikap apolitis kalangan mahasiswa kini bukan akibat desakan politik rezim, tapi tekanan zaman. Sebagai struktur besar, globalisasi telah menghilangkan daya kritis mahasiswa yang kemudian digantikan oleh pengaruh budaya konsumerisme, hedonisme dan lebaisme perilaku budaya global lainnya. Disinilah, mahasiswa tak lagi “diremajakan” oleh kampus atau rezim politik lokal, melainkan zaman.
Di kota-kota besar, pemuda lebih suka menggeluti dunia yang apolitis daripada yang berdiemensi politik, meski masih banyak juga yang tertarik masuk ke dalam dinamikanya.
Pemuda yang mahasiswa, tantangan terbesarnya bukan lagi politik, tapi bagaimana meningkatkan daya saing sumber dayanya untuk menghadapi kompetisi global. Kuncinya ada di kreativitas. Berikanlah ruang seluas-luasnya untuk menghadirkan inovasi yang orisinil untuk menghadapi masa depan dunia kelak. Daniel Pink, dalam karyanya “ Whole New Mind: Why Right-brainers Will Rule the Future”, meramalkan bahwa masa depan dunia kelak akan dikuasai oleh manusia-manusia kreatif yang berbasiskan penggalian ide dari otak kanan. Inilah tantangan yang lebih besar bagi pemuda sekarang, mahasiswa apolitis itu. Yah, meski digunduli zaman, tapi tetap masih ada rambutnya; kreatifitas. Itulah.
(Dimuat Koran Kedaulatan Rakyat, Selasa, 8 Februari 2011)
Membaca eksistensi mahasiswa dari masa ke masa, mau tidak mau akan berurusan dengan dimensi politik dan kekuasaan. Dalam perubahan besar maupun kecil, garda depan sejarah selalu ditempati mahasiswa, pemuda pada hakikatnya. Lihat saja bagaimana heroiknya kaum muda era 1908, 1928, 1945, 1960-an, 1980-an hingga 1998 yang menggerakkan perubahan-perubahan besar di negeri ini sesuai kebutuhan zamannya.
Pra kemerdekaan, dimensi politik gerakan mahasiswa berkaitan dengan semangat melawan kolonialisme dengan membangkitkan semangat memperjuangkan kemerdekaan. Budi Oetomo sebagai basis gerakan yang cukup berpengaruh ketika itu.
Di era awal kemerdekaan, semangat itu merujuk pada perlawanan politik atas bahaya neo-imperialime dan kapitalisme. Bung Karno ada di depan gawang gerakan ini. Menginjak era Orde Baru, mahasiswa dihadapkan dengan rezim otoriter yang membungkam gerakan kritis-politis. Sementara pada Era Reformasi, mereka “berhasil” menggulingkan rezim Soeharto, 21 Mei 1998.
Setelah itu, di mana posisi mereka? Ada di kampus memang, tapi tak seperti dulu, dimana rapat-rapat besar dan ormas-ormas besar menjadi tempat menuliskan sejarah mahasiswa.
Kesimpulannya, mahasiswa produk reformasi dan demokrasi labil sekarang ini adalah mahasiswa yang “aman” (apatis) dari gejolak politik besar. Kebutuhan masa depannya tak terlihat jelas melainkan dalam mimpi kesuksesan material dirinya. Komaruddin Hidayat menyatakan, mahasiswa sekarang tidak hidup dalam rezim kuasa lokal, tapi hidup dalam rezim zaman, yakni globalisasi.
Sentuhan mahasiswa dengan dimensi politik, kian berkurang. Akibat massifnya pelanggaran elite kekuasaan, mereka malah makin tak percaya dengan perkembangan politik dalam negeri. “Hari gini ngomongin politik, basi tahu. Politik itu kotor,” kata seorang kawan. Pandangan politiknya adalah apolitis. Tak mau direpotkan dengan arus perubahan besar politik dalam negeri.
Mengaitkan mahasiswa era globalisasi dengan dimensi politis sulit menemukan titik dan ujung. Daripada mengikuti perkembangan politik, mereka lebih suka menonton gosip murahan yang tayang tiap hari di layar datar televisi. Nanti dululah masalah buku, apalagi politik, yang penting bagaimana menyiapkan masa depan untuk mendapatkan raihan kapital kelak.
Lebaisme Budaya
Aktivis di kampus dianggap sebagai beban yang membuat waktu terbuang hilang sia-sia. “Saya tidak kuat menjadi aktivis, terlalu beresiko,” kata teman saya, lain lagi. Apakah gejala ini progresif atau degradatif?
Kita tentu tidak bisa memaksakan mereka mengukir sejarah seperti para pendahulu mahasiswa yang hidup di eranya masing-masing itu. Kebutuhan sejarah sekarang jelas berbeda dengan kebutuhan dan tantangan mahasiswa di masa lalu. Memaksakan mahasiswa kini untuk nyemplung di dunia politik hanya untuk mengukir prestise sejarah adalah pemaksaan sejarah yang lapas konteks historis kekinian dan kebutuhan masa depan.
Pemuda zaman dulu yang hidup di kampus, dan bahkan yang masih usia belasan, tak lepas dari dimensi politis karena tuntutan sejarah memang mengharuskan dan mendesaknya demikian. Bennedict Anderson (1972) malah menyebut pemuda mahasiswa masa zaman Orba selalu dikaitkan dengan dimensi politis.
Baru setelah adanya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus), dimensi politiknya digundhuli (dibatasi). Karena dianggap mengganggu stabilitas politik rezim, mahasiswa dikembalikan ke kampus. Kegiatan internalnya di kampus diperkaya (di-ada-adakan) agar tak ikut sibuk mengurusi jalannya developmentalisme Orba. Keharusan memenuhi standar akademik juga diperketat dan dipertebal. Biar jadi ”pintar”, tapi tidak ”nakal”.
James Siegel menyebut penggundhulan dimensi politik mahasiswa itu sebagai “peremajaan” mahasiswa. Remaja di sini bukan soal usia, tapi soal pola pikir dan gaya hidup. Mahasiswa, secerdas dan sepintar apapun, kala itu, tidak diperbolehkan merecoki dunia politik praktis. Jadi, apatisme politik politik mahasiswa pada masa itu dicampuri dengan struktur kekuasaan rezim.
Berbeda dengan sekarang, sikap apolitis kalangan mahasiswa kini bukan akibat desakan politik rezim, tapi tekanan zaman. Sebagai struktur besar, globalisasi telah menghilangkan daya kritis mahasiswa yang kemudian digantikan oleh pengaruh budaya konsumerisme, hedonisme dan lebaisme perilaku budaya global lainnya. Disinilah, mahasiswa tak lagi “diremajakan” oleh kampus atau rezim politik lokal, melainkan zaman.
Di kota-kota besar, pemuda lebih suka menggeluti dunia yang apolitis daripada yang berdiemensi politik, meski masih banyak juga yang tertarik masuk ke dalam dinamikanya.
Pemuda yang mahasiswa, tantangan terbesarnya bukan lagi politik, tapi bagaimana meningkatkan daya saing sumber dayanya untuk menghadapi kompetisi global. Kuncinya ada di kreativitas. Berikanlah ruang seluas-luasnya untuk menghadirkan inovasi yang orisinil untuk menghadapi masa depan dunia kelak. Daniel Pink, dalam karyanya “ Whole New Mind: Why Right-brainers Will Rule the Future”, meramalkan bahwa masa depan dunia kelak akan dikuasai oleh manusia-manusia kreatif yang berbasiskan penggalian ide dari otak kanan. Inilah tantangan yang lebih besar bagi pemuda sekarang, mahasiswa apolitis itu. Yah, meski digunduli zaman, tapi tetap masih ada rambutnya; kreatifitas. Itulah.
(Dimuat Koran Kedaulatan Rakyat, Selasa, 8 Februari 2011)