Oleh M Abdullah Badri
Judul : Banalitas Kekerasan
Penulis : Rieke Diah Pitaloka
Penerbit : Koekoesan, Jakarta
Tahun : I, Desember 2010
Tebal : 113 + xvi halaman
Bom bunuh diri yang dilakukan Muhammad Syarif pada Jumat (15/4) di sebuah masjid membuat mata hati kita bertanya, mengapa dia sudi melakukan tindakan biadab yang melukai beberapa orang itu, dengan menanggalkan tempat yang dikeramatkan oleh ajaran agama yang dipelukanya sendiri: masjid. Sakralitas tempat ibadah, dalam tindakan “teror gaya baru” itu, luntur dalam barisan nada tragis dan ironis. Ada yang kemudian menyebut Syarif telah gila, dan ada juga yang menyatakan ini sebuah teror yang dibuat oleh “musuh”.
Kalau benar yang dilakukan oleh pelaku muncul secara sadar, maka, ini adalah bagian dari apa yang disebut Hannah Arendt (1906-1975), sebagai banality of evil (Banalitas Kekerasan), seperti diulas panjang dalam buku berjudul Banalitas Kekerasan karya Rieke Diah Pitaloka ini. Penulis menyatakan, orang sudi melakukan kekerasan karena telah kehilangan daya menilai secara kritis yang didukung oleh situasi berpikir amat dangkal.
Dengan berpijak pada analisis yang digunakan Hannah Arendt, Pitaloka memetakan akar kekerasan yang mewarnai sejarah bangsa dari sejak awal merdeka hingga kini. Ideologi yang kemudian dijadikan tempat pelarian manusia-manusia modern untuk memenuhi kebahagian hasrat hidup dan untuk mendapatkan pengakuan status sosial kelompok itulah yang menurut penulis menjadi akar dominan penyebab tumpulnya berpikir dan menilai secara kritis atas sebuah peristiwa.
Meyakini sebuah ideologi—semisal terorisme yang mengatas-namakan merebut kejayaan Islam masa lampau— bisa jadi tombo ati bagi masyarakat modern yang tertekan oleh banyak kekuatan borjuasi yang serakah di luar dirinya, dan kemudian menjadi apatis, apolitis yang melahirkan sikap anarkis. Apa pun akan dilakukan agar semua yang ada di luar dirinya selaras dengan paham ideologis yang diyakini. Disinilah berpikir dan beranalisis secara kritis diperlukan untuk menumbuhkan akal dan nurani.
Kemampuan menilai secara kritis adalah kemampuan menilai secara khusus tanpa mengacu kepada berbagai perintah di luar dirinya (hlm. 92). Berpikir kritis akan melahirkan kesadaran dan nurani. Sehingga, ketika melakukan sesuatu, dia sadar konsekuensi. Itulah kesadaran dan nurani, yang menurut penulis, akan membawa pada efek pembebasan diri. Dengan berpikir kritis, tiap orang akan mengetahui, “ini salah” dan “itu benar”.
Intinya, buku ini mengajak pembaca untuk menalar secara logis setiap aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat sipil. Logika kekerasan ternyata hanya bisa ditemukan dalam penciptaan kekerasan lain yang lebih jahat. Banalitas Kekerasan dapat dihentikan kalau setiap kita mau mendengar suara nurani, dengan sadar tanpa terikat oleh perintah di luar diri kita, agama khususnya. Artinya, dia mau berdialog dengan dirinya sendiri sebelum bernegosiasi dengan keyakinan di luar dirinya.
Judul : Banalitas Kekerasan
Penulis : Rieke Diah Pitaloka
Penerbit : Koekoesan, Jakarta
Tahun : I, Desember 2010
Tebal : 113 + xvi halaman
Bom bunuh diri yang dilakukan Muhammad Syarif pada Jumat (15/4) di sebuah masjid membuat mata hati kita bertanya, mengapa dia sudi melakukan tindakan biadab yang melukai beberapa orang itu, dengan menanggalkan tempat yang dikeramatkan oleh ajaran agama yang dipelukanya sendiri: masjid. Sakralitas tempat ibadah, dalam tindakan “teror gaya baru” itu, luntur dalam barisan nada tragis dan ironis. Ada yang kemudian menyebut Syarif telah gila, dan ada juga yang menyatakan ini sebuah teror yang dibuat oleh “musuh”.
Kalau benar yang dilakukan oleh pelaku muncul secara sadar, maka, ini adalah bagian dari apa yang disebut Hannah Arendt (1906-1975), sebagai banality of evil (Banalitas Kekerasan), seperti diulas panjang dalam buku berjudul Banalitas Kekerasan karya Rieke Diah Pitaloka ini. Penulis menyatakan, orang sudi melakukan kekerasan karena telah kehilangan daya menilai secara kritis yang didukung oleh situasi berpikir amat dangkal.
Dengan berpijak pada analisis yang digunakan Hannah Arendt, Pitaloka memetakan akar kekerasan yang mewarnai sejarah bangsa dari sejak awal merdeka hingga kini. Ideologi yang kemudian dijadikan tempat pelarian manusia-manusia modern untuk memenuhi kebahagian hasrat hidup dan untuk mendapatkan pengakuan status sosial kelompok itulah yang menurut penulis menjadi akar dominan penyebab tumpulnya berpikir dan menilai secara kritis atas sebuah peristiwa.
Meyakini sebuah ideologi—semisal terorisme yang mengatas-namakan merebut kejayaan Islam masa lampau— bisa jadi tombo ati bagi masyarakat modern yang tertekan oleh banyak kekuatan borjuasi yang serakah di luar dirinya, dan kemudian menjadi apatis, apolitis yang melahirkan sikap anarkis. Apa pun akan dilakukan agar semua yang ada di luar dirinya selaras dengan paham ideologis yang diyakini. Disinilah berpikir dan beranalisis secara kritis diperlukan untuk menumbuhkan akal dan nurani.
Kemampuan menilai secara kritis adalah kemampuan menilai secara khusus tanpa mengacu kepada berbagai perintah di luar dirinya (hlm. 92). Berpikir kritis akan melahirkan kesadaran dan nurani. Sehingga, ketika melakukan sesuatu, dia sadar konsekuensi. Itulah kesadaran dan nurani, yang menurut penulis, akan membawa pada efek pembebasan diri. Dengan berpikir kritis, tiap orang akan mengetahui, “ini salah” dan “itu benar”.
Intinya, buku ini mengajak pembaca untuk menalar secara logis setiap aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat sipil. Logika kekerasan ternyata hanya bisa ditemukan dalam penciptaan kekerasan lain yang lebih jahat. Banalitas Kekerasan dapat dihentikan kalau setiap kita mau mendengar suara nurani, dengan sadar tanpa terikat oleh perintah di luar diri kita, agama khususnya. Artinya, dia mau berdialog dengan dirinya sendiri sebelum bernegosiasi dengan keyakinan di luar dirinya.