Ilustrasi lambang Pancasila. Foto: istimewa. |
Oleh M Abdullah Badri
PASCA Reformasi, lembaga pendidikan kita cenderung melupakan Pancasila untuk ditanamkan secara sadar kepada peserta didik. Trauma Orde Baru, dengan kurikulum wajib P4-nya, sedikit banyak masih mewarnai faktor keengganan pelaku pendidikan kita menerapkan wajib hafal, tanpa penghayatan dan amal semangat nyata Pancasila.
Reformasi memang membawa iklim keterbukaan, namun di sisi lain, ia justru menjerumuskan bangsa kita jatuh dalam labirin kebimbangan identitas; Pseudo-Pancasila. Akhirnya, generasi muda kita lebih mudah mengenal lagu kelompok musik pop daripada way of live, weltanschauung atau lebensanschauung negara itu.
Kesadaran pendidikan falsafah Pancasila muncul ke permukan setelah tragedi ironis pencucian otak generasi muda, kalangan mahasiswa terutama, oleh oknum yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Para kaum cendekia-intelektual tercengang setelah kabar dihapusnya pendidikan Pancasila sejak era reformasi benar belaka adanya. Keprihatinan itulah yang membuat kalangan birokrat kampus bergerak bersama merevitalisasi pendidikan Pancasila dengan mewajikan kembali kurikulum Pancasila, sebagai mata ajar karakter bangsa (Kompas, 10/06).
Sebanyak 72 pengajar dari 26 Perguruan Tinggi di Indoensia, 17 diantaranya bergelar guru besar, merapat pula dalam poros gerakan Akademisi Pengawal Pilar Bangsa (APPi Bangsa), yang baru dideklarasikan beberapa waktu silam di Jakarta.
APPi Bangsa hendak mengawal penerapan dan pemasyarakatan Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, agar tetap menjadi ruh persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tanpa ternoda ideologi lainnya.
Semesta Budaya
Revitalisasi pendidikan karakter bangsa yang menemukan semangat kembali setelah 13 tahun reformasi mungkin dikata sebagai kegenitan sesaat oleh kalangan akademisi dan politisi kita. Namun, hal itu bagi saya bukan berarti terlambat.
Pancasila telah final dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Di sanalah jati diri bangsa Indonesia dapat dibaca. Tanpa Pancasila, Indonesia hanya ada sebagai wilayah bekas jajahan negara negara imperial.
Meminjam istilah Clukcorn, Pancasila bisa dijadikan sebagai pembacaan semesta budaya (culture universal) bangsa Indonesia yang di dalamnya terdiri atas beberapa nilai kebudayaan. Nilai-nilai solidaritas, agama, seni, kuasa, ilmu dan ekonomi menemukan sisi kemanusiaannya dalam kandungan falsafah Pancasila itu.
Jadi, kontruksi kehidupan politik bangsa tidak dibenarkan bila kontraproduktif dengan kandungan nilai Pancasila. Penerjemahan –atau tepatnya politisasi– Pancasila, yang dilakukan secara represif atas nama stabilitas nasional, bukannya salah, namun ironis. Mengapa? Karena Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan pula postur kebudayaan bangsa.
Dan, kebudayaan, dalam pengertiannya, tidaklah statis. Kebudayaan yang dipahami sebagai penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani, yang merujuk pada penyempurnaan rasa-karsa dan karya (Bakker, 1984), bukanlah tumpukan susunan kata benda. Ia merupakan “kata kerja”, yakni kegiatan manusia dari waktu ke waktu (C.A. Van Peursen, 1976). Politisasi menjadikan kebudayaan jadi dagangan.
Bahasa Soekarno, dalam Indonesia Menggugat (2001), Pancasila adalah dasar negara pelbagai bangsa (multi-nations state) yang revolusiner, hasil pergaulan hidup masyarakat Indonesia yang tertindas dan marginal.
Pancasila, dengan demikian, bukan karya segelintir orang untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Kontekstualisasi Pancasila untuk melahirkan kepribadian bangsa, terus dilanjutkan. Sayangnya, politisasi Pancasila oleh Orba membuat trauma. Garuda dicampakkan, lalu dinyana kurang penting. Hingga kini.
Spirit Garuda
Sirnanya spirit Garuda dari generasi kita yang diinspirasikan sebagai simbol penaklukan kekuatan kapitalisme, imperialism dan neokolonialisme, lunglai di era kebebasan informasi dan kemudahan komunikasi terbalut trauma politik masa lalu yang amat akut itu.
Tanpa kesadaran pendidikan Pancasila, generasi muda kita kian apatis, dan apolitis. Ideologi Terorisme dan Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan Kartosuwiryo pada 1949, mudah masuk dalam lingkungan akademis akhirnya.
Tentu, dalam kondisi tersebut, NII mudah berkembang tanpa represi. NII yang diterima sebagai ideologi “asing” menggugat Indonesia yang bias kepribadian. NKRI walau memiliki Pancasila, semangatnya tidak ada. Demokrasi yang terbangun ada tanpa kepastian hukum.
Sistem ekonomi juga jauh dari mensejahterakan rakyat, hanya berpihak kepada pemodal asing. Pemeluk agama tumbuh dalam konflik tak berkesudahan. Mereka tidak bertuhan kepada Yang Maha Esa, tapi bertuhan kepada agamanya dan keyakinannya saja yang ekslusif. Revilatalisasi Pancasila saat ini menemukan momentum penting.
Kita harus menempatkan spirit Pancasila untuk menggugat Indonesia yang mengalami kegalauan identitas sejak era reformasi, dimana desentralisasi, otonomi, dan kemandirian tak segera mewujud dalam keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam bias identitas itu, konflik justru menemukan puncak. Hal yang menurut beberapa pengamat justru kontra realitas di masa Orba. Toleransi dan keamanan nasional lebih jelas dikelola oleh Orba.
Apa kita akan kembali ke masa otoritarian itu? Lembaga pendidikan lah yang akan menjawab. Pancasila atau back to Orba. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini pernah dimuat Koran Radar Surabaya pada 5 Juni 2011