Saat Dikusi Nasionalisme di Sanata Dharma, Jogja (17/02/2018) |
Dalam diskusi tersebut (foto ada di atas postingan ini), saya sekelompok dengan teman lain. Ada satu peserta yang saya lihat tidak ambil snack dan kopi. Iseng saya tanya walau saya tahu dia Katolik taat.
Oleh M Abdullah Badri
SAAT saya nongkrong di markas NU Online pada Kamis (15/02/2018) sore, kebetulan bertemu dengan Kiai Ishomuddin (Lampung) yang sedang jagongan bersama Munawir Aziz dan Abdullah Alawi (Redaktur).
Ada banyak hal yang dibahas, termasuk, antara lain soal tradisi puasa weton atau puasa hari lahir yang biasa dipraktikkan oleh umat Islam, termasuk Ibunda Kiai Ishom.
Saudara Gus Ishom banyak yang "cemburu" karena katanya, hanya dia yang hari lahirnya ditirakati dengan puasa oleh sang ibunda. Barokah puasa ibu itulah yang disebut Gus Ishom menjadikannya sosok yang memiliki maziyyah (keutamaan) lebih dari lainnya.
"Istri saya juga nirakati anak-anak saya dengan sedekah dan puasa weton, Gus, tapi itu pesan dari orangtua, ada dalil naqli selain perintah Nabi puasa Senin?" Tanya saya.
"Ada dalilnya. Ya perintah Kanjeng Nabi itu," jawabnya, menyebutkan hadits: فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ
"Bukannya itu untuk perintah puasa Senin, kelahiran Nabi, bukan kelahiran kita, yang dalam hitungan Jawa biasanya disebut weton?"
Gus Ishom kemudian menjelaskan kaidah Ushulul Fiqih. Saya lupa teks persisnya saat menulis ini. Intinya, yang saya ingat, kaidah itu menyebutkan begini: sudah selayaknya tradisi yang baik (puasa, red), tidak dicegah kecuali tradisi tersebut mengandung keharaman sejak dari substansinya.
Seingat saya, Gus Ishom menyebut Wahbah Zuhaili, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, dan lainnya.
Kesimpulannya, hadits perintah puasa hari lahir Kanjeng Nabi, kalau kita paham Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih, tidak akan mudah membid'ahkan, dengan argumen lucu "jangan bandingkan donk kelahiran kita dengan kelahiran Kanjeng Nabi". Begitu.
***
Usai bertemu Gus Ishom, saya ke Jogja dua hari berikutnya, untuk studi singkat bertajuk "Nasionalisme Kosmopolitan" di Sanata Dharma, Sabtu (17/02/2018) pagi.
Dalam diskusi tersebut (foto ada di atas postingan ini), saya sekelompok dengan teman lain. Ada satu peserta yang saya lihat tidak ambil snack dan kopi. Iseng saya tanya walau saya tahu dia Katolik taat.
"Puasa, mas?"
"Iya".
"Puasa weton?" Pertanyaan saya kok ma' deg dijawab "iya".
Saya tidak mungkin tanya dalil. Jelas tidak lucu. Tapi dia menjawab bahwa dia sudah melakukan puasa weton sejak lama.
"Saya puasa weton merasakan enteng dan nikmat, mas?" Jawabnya.
"Bagus mas itu, mbarokahi urip (memberkati hidup). Lanjutkan saja. Istri saya juga puasa weton anak-anak saya. Kemarin saya ketemu Kiai di Jakarta juga menjelaskan barokah puasa weton".
Perbincangan akhirnya berlanjut hangat seputar puasa kelahiran yang menurut dia, harusnya diri sendiri yang puasa. Ini mengingatkan saya tentang Kiai Ishom yang ditirakati puasa oleh ibunda karena dalam masa studi di pesantren.
Agar hidup lebih hidup, kita tidak perlu dalil rigit untuk tapa. Puasa itu bagian dari laku hidup manusia purba di segala beradaban dan zaman, melintas agama dan keyakinan.
Kata ibu saya kemarin sore (19/02/2018), saya termasuk yang pernah ditirakati Bapak saya selama 40 hari ketika masih dalam kandungan. Saudara kandung saya yang lain katanya tidak "diposoni" oleh Bapak.
Entah jadinya apa, wallahu a'lam. Sing penting urip. Hahaha. Yang pasti, saat ini adalah giliran anak saya yang harus saya tirakati. Al fatihah buat Bapak saya almarhum! [badriologi.com]