JIKA Anda belum tahu apa itu Matan sebagai gerakan, maka saya hanya akan menjawab bahwa Matan adalah akronim dari "Mahasiswa Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah An-Nahdliyah". Tapi jika Anda masih berlanjut pada pertanyaan; apa yang membedakan Matan dengan gerakan kampus lainnya? Maka bacalah esai singkat ini hingga tuntas.
Dari istilah yang dipakai saja, Matan (bukan dalam arti muatan teks hadits Nabi), tidak mengandung unsur heroisme khas gerakan mahasiswa. Kita tahu, gerakan kampus yang sudah melahirkan jutaan alumni di Indonesia tidak lepas dari penyematan nama organisasinya dengan istilah himpunan, gerakan, pergerakan, persatuan, kesatuan, ikatan, dan istilah "darah juang" lainnya.
Matan hanya mendeskripsikan dirinya sebagai "mahasiswa". Hingga saat esai ini saya tulis (20/02/2018), tidak ada kata pendahuluan maupun akhiran setelah kata "mahasiswa" dalam akronimnya.
Lalu, apakah Matan hanya sebagai komunitas, laiknya kumpulan satu hobi, minat, bakat, yang dimana-mana jarang menggunakan kalimat heroik? Komunitas musik, burung atau fans artis misalnya, sering dinamai secara deskriptif saja tanpa kata heroik oleh inisiatornya.
Bagi saya, Matan tidak bisa disebut komunitas karena punya SOP-Juknis yang mengatur mekanisme keorganisasiannya sendiri. Artinya, Matan bergerak secara bersama-sama dalam kerangka hirarkis dan juga koordinatif. Tidak seperti di komunitas, yang saya lihat beberapa, mengikuti arah angin pemangkunya karena memang sekadar berkomunitas atau ber-silaturrahim. Tapi jika disebut gerakan, adakah jenjang kaderisasi di Matan, sebagaimana organisasi mahasiswa lain?
Menjawab hal itu, saya harus berpikir tentang alumni. Bagi saya, alumni adalah bukti kaderisasi terus eksis dan terjadi. Di Matan, ada kaderisasi yang disebut Suluk yang berjenjang hingga tiga kali, mirip PKD dan PKL di Ansor. Namun untuk mendapatkan alumni, saya pikir sulit. Pasalnya, dalam SOP-Juknis, usia kader Matan dimulai antara 13-55 tahun.
Anak mulai masuk sekolah SMP sampai pensiun dari pegawai, sah disebut anggota Matan. Kapan disebut alumni, di Matan belum ada aturan jelas. Selama dia menjadi muhibbin (pecinta dan atau pengamal) thariqah, ia masih bisa menyandang sebagai kader dan sekaligus juga bisa menduduki pengurus Matan.
Atas hal itulah, jangan heran jika Anda menjumpai ketua Matan yang bergelar doktor, profesor, mursyid thariqah, hingga putra kiai (gus) yang berusia muda, karena mereka adalah muhibbin thariqah. Bahkan ada pejabat, mantan aktivis pergerakan, preman bertato, hingga ibu-ibu bergabung ke Srikandi Matan tanpa canggung.
Karena itulah pengertian "mahasiswa" dalam Matan bukan semata yang sedang atau pernah menempuh studi di perguruan tinggi, tapi juga pesantren, sekolah dan paling penting, muhibbin thariqah. Anda tidak perlu berbai'at ke mursyid thariqah tertentu untuk ber-Matan. Karena sifat ba'iat di Matan adalah bai'at tabarruk (berbai'at secara informal), kecuali jika sudah mengikuti tahapan Suluk Matan III.
Matan itu sangat plural sejak dari multikulturalnya anggota, yang melintas profesi, gelar akademis, status sosial, dan seterusnya. Mirip pengajian majelis dzikir berbasis cinta Nabi, yang semua golongan bisa mengikuti asal sama-sama satu visi: mahabbah kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.
Jadi, sangat sulit mengukur kapan kader Matan disebut sebagai alumni. Satu-satunya ukuran di Matan, menurut Ketua Umum Matan, Dr. Hamdani Mu'in, adalah mahabbah kepada guru thariqah, tidak peduli gurunya itu mursyid dari aliran thariqah mana. Asal masih mu'tabar (otoritatif), Matan harus sami'na wa atho'na (mendengar dan taat).
Makna "mahasiswa" pun, Matan hanya mengambil semangat kritisnya. Salah jika menyebut sami'na wa atho'na sebagai lawan dari kritisisme. Matan punya cara sendiri dalam mengkritik, yakni dengan adab, dan itu adalah akhlak yang sangat diutamakan dalam laku tasawuf-thariqah.
Dr. Hamdani Mu'in menyebutnya dengan "kritik bil adab" (kritis-beradab). Kalimat inilah yang saya usulkan jadi kata kunci (keyword) Matan di ruang gerakan mahasiswa di kampus-kampus, semacam jargon atau semboyan Matan.
Dengan jargon di atas, Matan "dilarang" melakukan demonstrasi jalanan kecuali sudah melakukan tahapan taqrib bil qulub (pendekatan persuasif), taqrib bis siyasy (pendekatan strategis), dan taqrib bil fa'al (pendekatan dengan tindakan nyata). Itupun harus seijin Rois Aam Jamiyyah Ahlith Thariqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (Jatman) NU.
Selama ini, gerakan mahasiswa cenderung menggunakan cara-cara kritik anarkhis tanpa kontrol dari figur utama yang paling dihormati. Kritik mereka misalnya, acap menggunakan cara-cara non kompromis. Jiwa muda dalam usai mahasiswa yang tidak akan pernah salah (karena dianggap masih belajar di kampus), kadang melepaskan adab dan tatakrama yang sangat dijunjung tinggi dalam tasawuf.
Salaman cium tangan kepada dosen saja amat sulit kita jumpai di kampus. Bahkan ada mahasiswa yang tanpa adab menggoda dosen dengan kecantikan karena ingin nilai, membid'ahkan amalan liyan dengan gampang, menyebut kafir orang lain tanpa tabayun, dan seterusnya. Ini kultur na'udzubillah, yang diakui atau tidak, sudah biasa terjadi di kampus-kampus.
Pemandangan di atas barangkali terjadi karena kurikulum atau kultur kita kurang mendukung tumbuhnya mahabbah (cinta) kepada sesama. Itulah yang ditawarkan Matan kepada bangsa ini. Matan tidak menjanjikan kadernya akan aktif di dunia politik praktis, apalagi jenjang karir birokat. Matan hanya mengisi kekosongan karakter mahasiswa yang nir-adab dalam kegiatan kritisnya. Hal itulah yang disebut Dr. Hamdani sebagai high politics (politik tingkat tinggi).
Jika melenceng dari high politics tersebut, Jatman akan menegur. Walaupun Matan disebut sebagai lajnah mustaqillah (badan yang mandiri) dari Jatman, tapi komunikasi Ketum Matan di Jatman bisa langsung ke Rois Aam saat ini, yakni Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan).
Jadi, Matan bukan organisasi pengkaderan atau komunitas hobi wiridan thariqah saja. Lebih dari itu, Matan adalah harakah sufiyah (gerakan sufisme) yang melintas batas ideologi politik, usia, status sosial, dengan karakter membangun mahabbah kepada tanah air, mursyid dan sesama manusia.
Karena masih lajnah mustqillah-nya Jatman, saya menyebut Matan sebagai: gerakan sufisme yang terkoodinasi mandiri dengan Jatman NU. Demikian akhirnya saya paham, penamaan Matan yang dalam kepanjangannya tidak menggunakan kalimat heroisme adalah bentuk adab kepada Jatman dan merupakan bentuk "merendahkan hati" sejak dari istilah.
Ada yang kurang berkenankah dengan esai ini? Silakan komentar di bawah. Jika ada yang ingin menjadi bagian dari Matan, bisa japri saya, tapi saya juga tidak harus menindaklanjuti untuk pendirian wilayah Matan yang baru yah, walau sudah ada di 15 provinsi, 56 kabupaten dan 32 perguruan tinggi di tahun 2018 ini. [badriologi.com]