Oleh M Abdullah Badri
LTN NU Jepara
INGAT PKS, saya jadi ingat seorang akhi tahun-tahun awal masuk ngaji di kampus. Dia pintar Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan suka berorganisasi.
Ceritanya dimulai dari seorang dosen yang ndadak mengalihkan perbincangan saat saya menyoal klaimnya kalau tawassul bukan syariat Nabi, bid’ah dan karenanya syirik. Alasannya klasik, “doa itu harus langsung meluncur ke Allah, jangan lewat perantara”. Oke, di sini saya tahu tafsir ayatnya. (Bacalah Ghafir: 60).
“Kenapa syirik?” Tanya saya, kemudian dibalas dengan logika klasik dosen tafsir itu begini: “meminta kepada selain Allah itu musyrik?”.
“Kalau meminta kepada makhluk Allah?”
“Boleh jika masih hidup,” timpalnya. Sudah terprediksi.
“Berarti meminta kepada yang sudah wafat, haram?”
“Musyrik, bukan saja haram”.
“Okelah. Tapi saya ingin tanya Pak, la muatstsira illa Allah, bagaimana Anda memahami?”
“Artinya memang benar, tidak ada yang bisa memberikan pengaruh apapun, kecuali Allah”.
“Jika meyakini bahwa semua perbuatan makhluk Allah tidak ada yang terjadi kecuali atas “kehendak dan pengaruhnya” (atsar-Nya), maka, yang melarang tawassul berarti syirik donk”.
“Loh, kok bisa?”
“Ya bisa karena Anda sama saja meyakini ada yang memiliki kekuasaan yang sama dengan Allah untuk membuat atsar, yakni manusia yang masih hidup dan diminta tolong tadi. Bukankah itu menyekutukan Allah? Tawassul menurut saya boleh bahkan sunah adabiyah. Jika kita meyakini hanya Allah yang bisa membuat atsar, tak ada bedanya kan meminta tolong kepada mahluk, baik yang mati maupun yang hidup”.
Diskusi masalah tauhid di kelas akhirnya buyar karena hanya dijawab “tidak bisa begitu tafsirnya” dan “intinya syirik”. Duh.
***
Pasca pertemuan itu, saya terlibat obrolan dengan akhi di luar kelas. Lain waktu. Bahasan itu masih berlanjut, niat melibatkan diri dalam mencari hikmah yang tercecer.
“Menurut kamu gimana, akh?” Tanya saya.
“Ya memang betul kata Pak Dosen kemarin. Tawassul masuk bid’ah bahkan syirik karena meminta-minta kepada selain Allah kan memang haram”.
Logika yang saya baca karena ditulis di majalah ormas itu, ia ulang-ulang lagi, disampaikan detail. Tawassul haram karena (ini poin tambahan saya):
- Menyembah kepada selain Allah. Logika menyembah disamakan dengan meminta dan berdoa pula. Rancu kuadrat.
- Apakah yang kamu tawassuli yakin lebih selamat darimu? Suudzon dipelihara. Ini keseleo berhujjah.
- Tentang waliyullah, diyakininya ada, tapi tidak punya konsep kewalian kecuali secara bahasa bahwa wali ya “mereka yang dikasihi oleh Allah”. Akhirnya hampir terjerembab pada penafian Walisongo karena tidak punya konsep mendeteksi “ini wali Allah”, “ini hamba Allah yang pencilakan”.
- Mengajak kepada rasa diri menjadi jumawa sebagai hamba, bahwa Allah pasti mengabulkan segala doa. Jadi tawassul itu bagian dari kaum lemah iman karena tidak yakin doa dikabulkan oleh-Nya.
- Dengan logika nomor 4 di atas, kita diajak agar tidak punya keyakinan kecuali keyakinan kepada diri sendiri. Kita pasti selamat dari bughdlul Allah (murka Allah) kok.
Akhi setuju bahwa tawassul kepada yang masih hidup dibolehkan, sebagaimana dikatakan Pak Dosen di kelas. Tapi ketika saya ulang “la muatstsira illa Allah”, ia malah memutar pendapat, yang awalnya boleh, jadi tidak boleh. Dia terlihat bingung.
“Tapi menurutku kok begini yah, karena tawassul tidak boleh, jadi baik kepada manusia yang masih hidup maupun yang sudah mati dikubur, ya tetap tidak boleh,” katanya, seingat saya.
“Waduh, kok saklek begini?” Batin saya.
Dalam hal lain, akhi ini dikenal terbuka. Tapi soal tawassul ini, karena mungkin dianggap bagian daripada mempertahankan iman, ia bersikukuh “mengharamkan tawassul” secara mutlak.
Saya biarkan, tak pernah lanjut diskusi soal syiriknya tawassul dengannya karena sudah jadi dogma “pokoke njoget”, “pokoke syirik”, meski tanpa logika dan dalil. Walaupun kalah, harus merasa menang. Fakta tidak begitu penting, apalagi logika. Dalil aqli tidak lebih menguntungkan daripada imajinasi.
Saya ingat akhi ini ketika dalam Pilkada kemarin, ada yang kalah dan memotivasi dirinya dengan membuat survei sendiri, didukung sendiri, dikonsumsi untuk kalangan sendiri sambil menunggu pengumuman. Biar tidak patah semangat mungkin.
Soal tawassul saja dibuat muter, apalagi Pilkada. Eh, iya, akhi tadi tawassul tata diri dan sosialnya di kampus bersama gerakan KAMMI. Di luar kampus, tawassulnya nyaman PKS dan HTI. Katanya, saat sekolah tawassulnya juga di IMM dan Silat Tapak. Demikianlah perpaduan dan putaran tawassul antar Islam Kaffah se Nusantara. Islam Unggulan InsyAllah. [badriologi.com]