YANG bisa membubarkan pengajian secara de
facto dan de jure bukan Banser. Tapi pihak keamanan. Banser tidak
punya wewenang memberi ijin keramaian. Banser tak punya pasal pembubaran.
Banser hanya memberi masukan kepada polisi jika ada suara masyarakat yang harus
didengar. Jika tidak didengar, apa Banser bisa memaksa? Opo lak yo dibedil, nda?
Sebagai
bagian dari masyarakat, Ansor-Banser tentunya punya hak untuk mengutarakan
pendapat. Sebagai bagian dari warga negara yang baik, Ansor-Banser juga punya
kewajiban untuk memperingatkan siapa pun yang terindikasi melakukan gerakan
makar kepada NKRI.
Jika tidak
digubris, apalagi dianggap melakukan pelanggaran hukum, maka Ansor-Banser sudah
bara’atudz dzimmah (bebas lepas dari tugas dan beban), termasuk jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh siapa pun.
Bila karena
viralnya topi ilahi dari tim Ustadz Abdul Somad (UAS) jelang kehadirannya di
Al-Husna, Mayong, Jepara, Sabtu (01/09/2018) malam, lalu dibatalkan secara
sepihak dengan menyalahkan Ansor sebagai pembubar pengajian, -padahal Ansor
juga sudah meminta baik-baik pihak keamanan agar mengantisipasi terjadinya
penumpang gelap ormas terlarang,- maka, saya katakan ke antum:
“Ro’suka!”, “Ndasmu!”.
Banser
tidak pernah membubarkan pengajian. Justru Banser yang selalu mengawal kajian,
pengajian, shalawatan, khitanan, atau hal-hal lain yang membutuhkan pengawalan
paramiliter NU itu jika dianggap perlu. Tapi dengan satu syarat: tidak
mengundang penceramah atau pemateri yang pernah menghina Kanjeng Nabi, menghina
NU, menghina amaliyah NU, apalagi anti NKRI.
Gereja saja
dijaga, apalagi pengajian. Cara pikirnya begitu. Mikirnya jangan sinis
“pengajian dibubarkan, tapi gereja dijaga”. Itu cara berpikir kutukupret
sontoloyo mbelgedes semprul (kusem). Yang dijaga bukan gereja, tapi amannya
sesama warga, sesama manusia. Nyinyir ke Banser dengan kalimat; “orang lain
dijaga, sesama muslim dinista”, itu cara berpikir kutukupret sontoloyo
mbelgedes semprul (kusem).
Mau bukti?
Silakan tanya ke Ustadz Mudhofar dari Pesantren Al-Husna Jepara. Ansor siap
turun membantu lancarnya acara bertajuk Maulid Akbar ke-16 dengan syarat:
pastikan UAS tidak hadir. Banser sangat kasihan kepada Al-Husna jika agendanya
jadi gagal total akibat rencana kedatangan UAS yang ditolak warga saat ketahuan
ditunggangi tim cingkrang bertopi ilahi HTI. Apalagi santer kabar Bib Bidin
juga batal hadir. Ya asafa!
Tapi karena
Ustadz Mudhofar tidak menjawab, ya mau bagaimana lagi? Ingat, dalam kasus
Al-Husna Mayong, yang dilakukan Ansor hanya meminta supaya ada jaminan pihak
kepolisian bahwa selama proses acara tidak boleh ada bendera, simbol atau
atribut yang identik milik ormas terlarang HTI.
Jadi, Ansor
sama sekali tidak menolak UAS selama ia tidak dikinthili eks HTI.
Nyatanya, duh duh duh. UAS terbukti “dipakai” oleh pengasong ideologi
khilafah makariyah, walau Netizen “kusem” banyak yang termakan propaganda panji
Rasululullah. Sejak kapan bendera Rasulullah ber-titik, ber-harakat dan
ber-khat Tsulutsi, ndoro? Hanya pemikir “kusem” saja yang menyebut bendera HTI
sebagai Panji Rasulullah.
Jika warga
Mayong sendiri menolak, lalu pengajian sepi, Ansor Jepara merasa harus membantu
pihak Al-Husna. Sekali lagi, ini bukti bahwa Ansor Jepara bukan pembubar
pengajian, tapi penyelamat pengajian. Tapi karena tidak ada kesepakatan, lalu
Al-Husna mendekat ke Pemuda Pancasila (PP), ya monggo mawon. Ngaji lo
yah! Jangan Cuma ambil momentum eksis saja! [badriologi.com]