Ngobrol dengan Gus Muwafiq di Jogja |
PADA Senin,
20 November 2017, saya berkesempatan ngobrol dengan KH. Ahmad Muwafiq (Gus
Muwafiq) di pesantren Tasywiquth Thullab, Baletengahan, Kudus, yang usai
mengisi pengajian dalam rangka haul Simbah Kiai Ma’mun Ahmad.
Obrolan
berlangsung lama hingga jelang Subuh. Namun menjadi hangat karena saya ngotot
sekali soal sosok Ustadz Abdul Somad (UAS) selama dua jam, dimana ia, pada
mulanya, saya sebut sebagai ustadz pembaharu dunia dakwah. Namun, bagi Gus
Muwafiq, Somad itu sosok yang dimanfaatkan oleh gerakan radikal dan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Lho kok?
Saat itu,
Somad tidak dikenal luas sebagai corong HTI seperti dikenal sekarang. Saya mengikuti
arus itu karena selama mengelola beberapa media Islam, saya tidak pernah
merekam track record dan jejak digitalnya yang mendukung pendapat
tersebut hingga Gus Muwafiq sendiri menunjukkan hal itu.
Menanggapi
soal Somad ini, Gus Muwafiq sendiri mengaku dilematis. Selain berpaham Aswaja, menurut
Gus Muwafiq, Somad juga sangat dekat dengan kelompok yang selama ini memusuhi
NU yang bahkan berpaham trans-nasional.
Ketika
nahdliyyin mengkritik, nahdliyyin lain akan mencibir sebagai pemecah belah.
Tapi jika dibiarkan, lama-lama Somad juga jadi “idol” yang menggerakkan
semangat para cingkrangers untuk terus melebarkan sayap. Maju kena,
mundur juga kena.
Baca:
1. Alhamdulillah, Ustadz Abdul Somad Batal ke Jepara
2. Sekali Lagi, Bukan Soal Karakter Asli Abdul Somad
3. Cara Heroik Hadirkan UAS ke Jepara dan Pantura Jawa
Baca:
1. Alhamdulillah, Ustadz Abdul Somad Batal ke Jepara
2. Sekali Lagi, Bukan Soal Karakter Asli Abdul Somad
3. Cara Heroik Hadirkan UAS ke Jepara dan Pantura Jawa
Dan benar
saja, siapa yang sekarang melingkari Somad, Anda bisa lacak sendiri, Jamaah
Tabligh (JT), Front Pembela Islam (FPI), Salafi-Wahabi, Salafi Jihadis, Hizbut
Tahrir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), GNPF, Alumni 212, dan Pemuda Pancasila
(mengawal karena Somad mengaku mau jadi anggota kehormatan).
Saya jadi
mengingat syiir yang berbunyi; “anil mar’i laa tas’al, wasal an qorini-hi #
fa innal qorina bil muqoroni yaqtadi” (saya tidak menerjemahkan syair khas
santri itu karena UAS-ser saya anggap alim semua mengingat mereka tentunya
tidak akan menerima pendapat saya ini).
Katanya
ingin mempersatukan, tapi Somad sendiri tidak punya konsep persatuan. Bahkan
dicap sebagai ustadz pemecah-belah karena ujaran kebenciannya dalam ceramah
yang kontroversial, dan tidak pernah mengucapkan minta maaf seperti Evie Efendi
(yang menyebut Kanjeng Nabi sesat), Riza Basalamah (yang pernah menyebut shalawatan
usai pengajian sebagai nyanyian) atau Maheer Thuwailibi (yang menghina “polisi”
dengan sebutan “wereng coklat”).
Somad tahu
kebenarannya sendiri. Lebih tahu dari kiai mana pun sehingga memiliki kesan ia minal
ma’shumin atas semua qoul-nya. Karakter inilah yang saya menjamin,
akan banyak ditemukan pada karater Somad-ers atau UAS-ers (termasuk di Jepara),
yang dalam diskusi saya dengan Gus Muwafiq, paling suka bikin rusuh Nusantara.
Sejak
diberi pengetahuan tentang sejarah pemberontakan DI/TII oleh Gus Muwafiq, yang
dimulai dari gerakan radikalisme politik ideologis (mulai zaman Orla, Orba
hingga Reformasi), saya berhenti untuk tidak lagi mempromosikan Somad. Kecuali
momen dia diundang oleh dedengkot Jamaah Tabligh Jawa Tengah ke Mayong, Jepara
pada 1 September 2018 ini. Lanjut besok aja yah! [badriologi.com]