Ilustrasi bertemu jodoh setelah bercerai |
Jodoh itu tidak ada dalam kamus kehidupan yang berlaku. Mengapa? Sejak dari pengertiannya saja, kata jodoh megandung kerumitan. Jika Anda ditanya, apakah orang yang sudah berpasangan atau pasutri (pasangan suami istri) pasti tetap bergandeng tangan, menjadi sepasang suami istri hingga akhir hayat? Saya yakin pasti Anda akan mengatakan: Tidak.
Banyak orang yang sudah membangun bahtera rumah tangga selama puluhan tahun, beranak-pinak, menyimpan kekayaan harta yang berlimpah, toh akhirnya ada yang kandas pula di tengah jalan. Mau contoh?
Siapa sangka kalau Jamal Mirdad dan Lidya akhirnya bercerai setelah 25 tahun menjadi sepasang suami-istri? Anang dan Krisdayanti juga. Yang dulunya mereka mesra, kini sudah seperti air dan minyak, tak bisa disatukan. Apa sebab? Jodoh itu pada hakikatnya hanyalah misteri.
Apakah ada Jodoh Kedua?
Saya punya guru laku tarekat. Istrinya tiga. Yang dua sudah dipegat, alias dicerai. Dia mengatakan kepada saya kalau istri pertama dan kedua itu bukan jodohnya walau sudah dikaruniai 6 orang anak. Istri terakhir disebut jodohnya dunia-akhirat.
Apa alasannya? Karena istri yang terakhir inilah yang kata beliau memberikan keberkahan begitu banyak dalam hidup: rejeki, derajat sosial, pengaruh politik, kemantapan iman, dan lainnya. Lalu, apa itu pengertian jodoh? Istri pertama dan kedua disebut apa?
Makin rumit kan? Makanya saya menyebut jodoh itu adalah pemberian pasangan yang entah, oleh Yang Mencipta Manusia. Setahu saya, dalam banyak teks hadits Nabi dan Al-Qur’an, jodoh biasanya diambilkan dari kata al-zauj. Suami disebut zauj, sementara istri sebutannya adalah zaujah. Dalam kamus Arab yang bisa Anda cek sendiri, terjamahan kata zauj atau zaujah ke dalam bahasa Indonesia adalah pasangan.
Uniknya, dalam teks Arab kata itu tidak hanya digunakan untuk menunjuk pasangan manusia. Al-Qur’an banyak menggunakan kata ini untuk menyebut pasangan selain manusia. Inilah yang membuat saya kemudian menafsir bahwa jodoh itu sebetulnya tidak ada. Yang ada ialah: berpasangan. Yang lebih tepat menurut saya begitu. Lebih pasti faktanya. Mengapa? Semua makhluk yang diciptakan di dunia ini memang semuanya berpasangan.
Malam berpasangan dengan siang. Ada pendek, ada pula tinggi. Ada tampan, ada jelek. Orang ganteng berkawan dengan si cantik. Semuanya berpasangan. Laki-laki, jelas berpasangan dengan perempuan. Yang menyatukan mereka dalam ikatan yang berat (mitsaqon ghalidla) adalah pernikahan.
Sehingga, jodoh itu menurut saya tidak selamanya dibatasi dengan tali nikah, walau menikah adalah salah satu tangga menuju apa yang disebut akad sahnya bertemu pasangan secara sesuai ajaran yang dianut dan pranata sosial dan agama yang berlaku. Alasan saya mudah. Ada banyak orang yang sudah menikah berkali-kali, tapi juga cerai sekian kali. Kalau saya boleh bertanya, mana yang menurut Anda disebut jodoh? Kalau jodoh hanya pasangan satu untuk seorang yang juga satu, maka definisi yang demikian akan terbantahkan dengan fakta banyaknya sidang cerai dan kawin lagi.
Kata orang, jodoh itu datangnya dari mata turun ke hati. Bagi saya, jodoh (masih dalam pengertian saya di atas) datangnya itu dari mata turun ke hati, turun lagi ke kelamin. Hahaha. Dari mata turun ke hati itu suka. Dari hati turun ke kelamin itu baru menikah, pasangan sah. Dari mata turun ke hati, pacaran. Dari hati turun ke kelamin, baru disebut pernikahan (atau yang tidak mengikuti tata susila, disebut zina).
Pacaran biasanya hanya dilandasi suka dan cinta. Kalau menikah, mana cukup. Di sana harus ada tanggungjawab kesetiaan dan juga uang. Makanya, orang menikah disebut sebagai yang membangun rumah bertangga, rumah dan tangga.
Pacaran, bagi saya, adalah membangun harapan. Walau di banyak kesempatan ternyata banyak pula yang sebetulnya membangun harapan kosong, yang akhirnya tak jadi menikah. Alias "bercerai" sebelum menikah. Bahasa orang pacaran, putus. Ah. [badriologi.com]
Keterangan:
esai di atas saya tulis Juni 2013