Aktivitas pondok An-Naum Kudus |
ADA pepatah mustahil yang dilafalkan untuk
menggembirakan para santri abdul feros (hamba kasur) agar mereka
tersindir. Pepatah itu pernah saya dengar pertama kali dari Kiai Aniq, belakang
Menara Kudus. Ini bunyinya:
“Mangan
wareg, turu nglereg, ngaji sregep”.
Artinya: makan
full, tidur pulas dan rajin ngaji. Hal yang tidak dituturkan dalam Kitab Ta’lim
Muta’allim sebagai syarat menjadi santri berprestasi. Kan tidak mungkin ngaji
sregep kalau tidurnya juga sregep, apalagi makan juga top rakusnya.
Ketemu karakter santri begini, pondok pesantren bisa-bisa berubah jadi tempat kafe,
yang isinya full ngopi, njagong dan ngrasani. Kalaupun ngaji, lebih
sering tidur atau ngobrol dengan teman.
Padahal, pondok
memang sudah harusnya jadi tempat tirakat; miskin duit, minim sarana, tapi semangat
ngaji tidak kurang. Meski demikian, Anda akan menemukan keunikan di pondok yang
diberi nama An-Naum, lokasinya di Kudus. Saya rahasiakan alamat detail-nya kecuali
ngajak saya ngopi dulu. Hahaha.
Disebut
pondok karena ada santrinya, kiainya, dan rutinan ngaji-nya juga. Disebut An-Naum
mengingat aktivitas pokok para santri dan kiai-nya tampak tidur melulu. Tidak ada
ketertiban di pondok tersebut, alias bebas tekanan, kecuali taat kepada
kiai-nya saja. Kala kiai ngajak ngaji, kesibukan harus ditinggalkan. Kiai
benar-benar bak raja. Santri wajib ngabdi. Ngaji kitab kuning, urusan mburi. Begitu.
Di pondok
An-Naum, suara santri ngaji yang biasa terdengar di pesantren lain, tergantikan
dengan merdunya para santri yang asyik ngorok. Mimpi dalam tidur biasanya akan
jadi bahan ngaji ketika mereka melek. Mimpi adalah berkah bagi para santri, dan
jadi pelengkap cerita ketika mereka bangun, ngopi lalu patroli.
Ya,
patroli. Ini yang tidak ditemukan di pondok lain. Di An-Naum, tiap malam, saat
orang-orang tidur pulas, mereka patroli lintas daerah dengan mobil Avanza dari kiai-nya.
Kalau tidak ke makam (ziarah), manaqiban, ya barang-bareng nambani
umat Nabi Muhammad Saw. yang sedang kena bala’ dalam bentuk sakit, kena angin
atau wiridan membantu menuruti mereka yang bernafsu ingin derajat duniawi.
Aktivitas Pondok
Setelah
patroli, para santri biasanya tidur. Baru bangun ketika siang, sore bahkan boleh tidur hingga
malam berikutnya. Mereka bisa bangun lebih awal jika digugah kiai-nya. Yang
dibangunin lebih awal biasanya mendapatkan perintah memandikan manuk, bikin
kopi, beli rokok atau diminta antar ini itu oleh sang kiai. Kudu manut. Ancum kuat,
gan?
Meski
tidur, kiai pondok An-Naum ini waskita. Ngertinan. Pernah kejadian ada
santrinya yang ikrar tobat minuman keras. Merasa bebas di luar pondok, ia nyolong-nyolong
ingin menenggak minuman haram itu lagi, di sebuah diskotik nan jauh di luar
kota. Begitu dia menuangkan air ke gelas, kata sang santri ke saya, langsung
di-SMS kiainya, “terusno!”. Ma’ klelap, deg, dan moplok. Jauh
dari pondok tapi masih ketahuan.
Cerita
lain, saat patroli di Jepara misalnya, kebetulan teman saya menemani tidur kiai
An-Naum. Dari jam 21.00 – 01.00 WIB, jelas sekali dia posisi nya ada di Jepara.
Tapi aneh, ketika ada santri Kudus yang bertanya via telepon “jenengan
tadi dari rumah dan jagongan sama adik saya, kiai?” Lha kok dijawab “iya”, lalu
pesan ini itu. Kan ruwet kuadrat namanya. Disebut bohong ya tidak bisa karena
fakta yang dilihat santri Kudus memang demikian. Disebut jujur juga tidak bisa
karena teman saya bersama kiai semalam suntuk menemani hingga Subuh.
Jadi, bagi
sang kiai tidak ada beda antara ia tertidur lelap maupun terjaga. Madzhab
itulah yang jadi suluk utama para santri di pondok An-Naum. Silakan tidur tapi
jangan ngantuk. Begitu tafsiran saya atas laku anak-anak pondok itu. Begitu terserang
kantuk, saat itulah mulai terjadi ghoflah (lupa mengingat Allah).
Dan lagi,
dalam tidur ala santri An-Naum, mereka sebetulnya diajari ngaji laku agar bisa diam
dalam keramaian. Orang zaman dulu menyebutnya dengan bertapa (topobroto). Hal yang sangat
sulit dihindari di era banjir informasi dan murahnya tarif berkomunikasi. Kalaupun
mereka bicara, harus yang bermisi dan terukur, meski dengan bahasa-bahasa yang
tidak lazim dipakai.
Dalam
majelis ngaji pondok An-Naum, tidak ada manusia yang disebut bodoh, sesat,
apalagi lemah. Semua sepadan. Tapi harus sadar posisi dan peran masing-masing. Dalam
khazanah tidur, orang miskin, kaya, berkuasa, atau orang alim sekalipun, akan
terlihat sama di hadapan liyan yang melek. Di sinilah tidur jadi hikmah dan
pembelajaran para santri, forever.
Jadi, tidur
dalam madzhab Pondok An-Naum adalah aktivitas ngaji juga. Yang penting ia tidak ghoflah atau belajar tidak ghoflah.
Mangan wareg, turu nglereg dan ngaji sregep bisa jadi menjerumuskan
santri pada ghoflah hingga menumbuhkan ke-aku-an dirinya di hadapan orang lain hingga Allah kian terlupakan.
Sekali lagi, Wareg, nglereg dan sregep, bagi pondok An-Naum itu dianggap berlebihan karena potensial menyebabkan ghoflah kepada Allah.
Sekali lagi, Wareg, nglereg dan sregep, bagi pondok An-Naum itu dianggap berlebihan karena potensial menyebabkan ghoflah kepada Allah.
Bagi saya,
pondok An-Naum adalah bentuk ngaji melawan arus peradaban kapitalisme yang
menjadikan manusia terutinkan hingga manusia berubah setengah mesin kerja, yang bersibuk ria tapi nihil bergelimang makna sehingga mudah mengafirkan dan membid’ahkan.
Rata-rata
santri di situ adalah orang-orang bermasalah. Anda bermasalah dan pengen daftar ke pondok itu?
Syaratnya satu, ngancani kiai nya ngrokok dan ngopi tiap malam
sampai Subuh minimal sebulan penuh. Kuat gak kerjo? Kuat topo? [badriologi.com]