Oleh M
Abdullah Badri
NGRENTEG adalah membatin. Tempatnya di hati.
Jika Anda kasihan kepada anak kecil yang
baru ditinggal wafat oleh orangtuanya (yatim), tapi Anda tidak sempat melakukan
aksi atas suara batin tersebut dengan, misalnya bersedekah padanya, maka itu
yang saya sebut ngrenteg.
Dalam Kitab
Ushfuriyah karya Syeikh Abu Bakar pada hadits pertama tentang rahmat Allah
Swt., ada cerita menarik soal ngrenteg yang terarah. Meski tipis halaman,
kitab itu penuh hikmah, yang InsyaAllah jika dipahami, bisa menuntun kita
membaca zaman dengan cerdas dan terukur.
Bagian ke-1, baca:
Burung Emprit Sayyidina Umar (Ngaji Ushfuriyah Bagian 1)
Bagian ke-1, baca:
Burung Emprit Sayyidina Umar (Ngaji Ushfuriyah Bagian 1)
Misalnya
cerita soal seorang ‘abid (ahli ibadah) dari Bani Isra’il. Disebutkan
dalam Ushfuriyyah, ia sedang jalan (saya sebut patroli) dengan kendaraan onta ke
sebuah kota. Masih di wilayah Bani Isra’il.
Dalam patroli pribadi tersebut, sang ‘abid melihat ada sebagian umat yang
dilanda kelaparan, alias paceklik.
Tidak
disebutkan apakah sang ‘abid tadi minal aghniya’ (dari golongan orang
kaya) atau minal fuqoro’ (tergolong fakir miskin). Muallif
(penulis kitab) hanya menyebut kalau tokoh yang diceritakan itu sempat bertamanni
(berandai-andai) pasca melihat kondisi menyedihkan tersebut.
Ia ngrenteg
begini:
“Andai
saja aku memiliki gandum (makanan pokok rakyat saat itu), maka perut Bani Isra’il
akan segera kenyang”.
Makna Tamanni
Dalam
kajian Ilmu Nahwu, tamanni adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil,
tidak mungkin terjadi. Misal berharap tegaknya khilafah ala hizbiyyun,
itu masuk bagian daripada tamanni yang diteriakkan dengan paksa, menurut
saya.
Sebaliknya,
jika Anda mengharap atas hal yang mungkin terjadi, itu diistilahkan dengan
sebutan tarojji (berharap-harap). Misal berharap ingin negara ini tetap tegak
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di atas dasar Pancasila, itu tarojji.
Mungkin
karena sang ‘abid Bani Isra’il tersebut berasal dari golongan kurang
mampu, maka jika disebut tamanni oleh muallif kitab, sangat wajar
menurut saya.
Meskipun tamanni,
suara batinnya didengar oleh Allah. Salah satu Nabi yang hidup di masa itu
diberi perintah wahyu agar menyampaikan pesan Allah kepada sang ‘abid tadi,
begini pesannya:
“Wajib
atasmu pahala dari Allah karena ucapan batin ‘andai (aku) ada gandum’ dan
engkau ingin menyedekahkannya. Siapapun yang merahmati mahkluk Allah, maka
Allah akan merahmatinya”.
Lihatlah,
hanya karena ngrenteg yang terarah saja, -berniat ingin menolong umat
manusia yang kelaparan,- Allah memberi hadiah ganjaran berkah rasa kasih
sayang yang dimiliki hamba-Nya, sang ‘abid, sebagaimana jika ia diberi
kesempatan melanjutkan suara batin itu jadi tindakan nyata. Muallif Ushfuriyah
menyebut dengan bahasa “kama lau fa’ala/seperti (ganjaran yang dia
dapatkan) saat dikerjakan”.
Lalu,
bagaimana dengan mereka yang ber-tamanni tegaknya khilafah ala HTI di
Indonesia? Bagi saya mereka mungkin dapat ganjaran, tapi ganjaran sebagai
pengusik umat Islam Indonesia karena pakai kalimat tauhid untuk simbol
gerakannya. Khilafah terbukti membuat
banyak rakyat di negara-negara konflik kelaparan.
Saya ngrenteg,
“Andai
saja aku memiliki nasi dan uang banyak, maka perut Bani Khilafah akan segera
kenyang dan tidak bikin ribut-ribut”.
Hehe. Itu
guyon, yang tamanni juga sih. [badriologi.com]
Keterangan:
Esai ini adalah dokumentasi Ngaji Malam Kemisan (Pon), 03 Dzulhijjah 1439 H/15 Agustus 2018.