Saat diskusi Ngahad Legi di Gedung MWC Kedung, Bugel, Jepara, Sabtu (22/09/2018) malam. |
AWALNYA tema ngopi dan diskusi yang dimulai pukul 20.35 WIB tadi malam (Sabtu, 22/09/2018) adalah “Ilusi Negara Islam”. Namun makin larut dan makin senyap suara motor, pembahasan kelompok ngopi kader-kader muda NU MWC Kedung itu kian dalam membincang ihwal tantangan NU terhadap generasi milenial.
Saking
massifnya pembahasan di luar tema utama, informasi adanya kiai sepuh pengurus
MWC di Jepara yang terang-terangan kampanye khilafah di forum resmi NU pun
akhirnya tertutup kabut. 10 orang yang terlibat diskusi, termasuk Kang Makmun
dan Lek Sabiq pun, alpa tak memburu nama oknum tersebut ke saya hingga pulang
sekitar jam 00.10 WIB. Dhadha! Hahaha.
Saya
menyebut mereka yang terlibat dalam diskusi rutin tiap Ahad Legi itu sebagai pemburu
ngaji, yang haus informasi terkini soal harakah an-nahdliyyah. Meskipun
sepuh-sepuh, saya bisa mengategorikan semangat mereka dalam spirit generasi Instagram,
yang dikenal kurang akrab dengan Facebook, Twitter, tapi punya harapan kuat
meluapkan ekspresi menjadi “Youtuber” (dari kata You to Be/engkau mau jadi
apa).
Itulah yang
akhirnya jadi bahasan utama di luar tema “Ilusi Negara Tuhan”. Ya, mereka
ternyata lebih tertarik mengurai, antara lain tentang;
- Bagaimana agar NU bisa dekat dengan generasi milenial yang rata-rata tujuh jam hidupnya ada di layar datar smartphone tiap hari?
- Apa langkah untuk menghadapi generasi yang punya logika pikir di luar rezim old (tua) sehingga mereka punya profesi yang belum diakui oleh NPWP, laiknya Youtuber, Webmaster, Blogger, Selebgram, Selebtwet, BO Owner, Trader dan lainnya?
- Bagaimana pula merajut generasi A (Alfa; lahir sudah masuk abad 21) yang sejak lahir sudah kadung menghirup informasi hoax dan provokasi soal ke-NU-an dan ke-Aswaja-an serta tafsir Al-Qur’an yang diselewengkan seperti tertulis dalam Buku Struktur Negara Khilafah terbitan HTI?
Generasi Z (lahir
pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2000-an), yang merupakan anak dari Generasi Milenial atau Gen Y (paling
tua sekarang berumur 37 tahun, termuda usianya 23 tahun) adalah kelompok
generasi manusia yang hidup dalam style pop culture dimana perang
ideologi seperti teriakan “takbir” dan “shollu alan nabi” di
pengadilan negeri saat sidang, tidak begitu menarik perhatian mereka.
Generasi
ini sudah akrab dengan teknologi sehingga pernah memesan makanan, jasa
antar-jemput, jasa pijat, jasa bersih-bersih rumah, tiket nonton di bioskop,
bahkan mengisi pulsa, cuma sejauh satu klik saja (Data dari tirto.id).
Cara
beragama Generasi Z lebih banyak ditentukan oleh apa yang mereka baca dan
mereka tonton di dunia maya, yang kata Lek Sabiq, bisa lebih terasa nyata
daripada dunia nyata sesungguhnya.
Mereka ini
diburu informasi via gadget, tapi filterisasi ideologisnya belum rampung.
Ya karena memang mereka tidak hidup di zaman perang ideologi sebagaimana era Nazi
di Jerman saat gelut gagasan dan kekuasaan dengan Komunisme Uni Soviet, yang
juga tengkar dengan Ideologi Kapitalisme, yang berperang pula dengan Pas
Islamisme zaman masih ada bom-boman perang dunia I dan II (Disebut Generasi
Baby Boomers; lahir 1946-1964).
Mereka juga
tidak bakal ngerti kalau di dunia ini ada varian sistem kekuasaan berbentuk
republik, federal, monarkhi, kekaisaran, persemakmuran, kesultanan, dan wilayatul
faqih, yang semua itu tidak dipedulikan oleh kapitalisme ekonomi global. Asal
untung, sistem kerajaan pun dibiarkan. Jika rugi, pakai sistem demokrasi pun
akan diperangi laiknya tragedi perang ngawur di Irak, Afganistan dan Syuriah.
Tantangan Generasi Z
Generasi Z
juga banyak yang tidak paham faktor dimunculkannya negara illegal berlabel
kalimat tauhid (dengan khat kufi tidak rapi), yang di Timur Tengah sana dibuat untuk
menyulut konflik dengan benturan murah berbasis contra ideologi agama,
misalnya sunni divesuskan syiah, kafir dilawankan mukmin, yahudi diadudomba
dengan muslim, bid’ah dibenturkan dengan sunnah, dan lain-lain.
Karena
terputusnya informasi sejarah oleh generasi yang sudah kadung diburu informasi
itulah, Kang Makmun menyebut Generasi Z dan juga Generasi Alfa ini sebagai
kelompok yang nge-jumping dikala menyerap banjir informasi yang
datang tak terbendung. Mereka lebih percaya apa yang mereka baca daripada apa
yang mereka rasa.
Iklim
diskusi di kalangan mereka pun justru tidak kondusif, dengan wujud ungkapan umpatan,
caci maki dan bahasa kasar, mengingat pengaruh usia yang labil, kaget dapat
barang baru, tidak suka berumit ria menggunakan logika jernih berpikir, dan
masa bodoh dengan pihak lain yang tidak bisa memberikan informasi bernuansa
hipnosis wow keren alamaaa’, laiknya ustadz-ustadz yang menggunakan
jargon “Anda Islam?” begitu.
Untuk
membuat wow keren mereka inilah, NU dimanapun sepertinya kelihatan
repot. NU bagi generasi Instagram ini terlihat usang dan kurang menantang
karena melulu disuguhi heroisme “ya lal wathon” daripada syiar
ubudiyah harian ala ustadz anyaran yang suka derap lagu “hidup mulia
atau mati syahid”. Akhirnya, NU dianggap mereka sok menjaga NKRI.
Padahal
mereka lebih tertarik dengan nuansa “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan
praktik yang sempurna tanpa cela sejak dari pemakaian sempurna yang nyunnah ala
jenggot, celana cingkrang dan penggilan akhi-ukhti (ideologis), yang secara
hipnosis lebih terlihat islami dan kekinian oleh muslim "terdidik" urban kota.
Dibanding
HTI, NU bagi mereka dianggap tidak punya tujuan. Bagi saya, NU memang didirikan
tanpa tujuan duniawi. Sejak lahir precet, generasi bayi di NU tidak diajari
bermusuhan dengan misalnya, mengharamkan baca doa di telinga anak yang baru
lahir, mitoni, mapati, puputan, tahlilan dan lain sebagainya.
Beda dengan
itu, generasi ormas berideologi sebelah yang suka teriak kopar-kapir itu sejak
lahir orang tuanya sudah menganggap bid’ah doa anak baru lahir, apalagi soal mauludan,
tahlilan, manaqiban, ziarah, tawassul, dkk. Semua itu dimusuhi sejak lahir precet
jadi manusia. Makanya mereka pintar memainkan drama perang ideologi “loe
kafir, gua muslim”.
Ngajak
gelut orang NU memerangi kelompok sithik-sithik bid’ah dan sunnah tapi sithik-sithik
itu sulitnya di sini. Sejak lahir Generasi Y, X, Z hingga A, dididik rukun
dengan alam yang bahkan kala belum lahir sudah dikenalkan lewat tradisi
menyambut kelahiran bayi.
Makanya,
ngajak pengurus NU untuk gelut dengan mereka yang sejak dari gen lahirnya punya
jiwa rusuh, susahnya minta ampun kuadrat. Bisa-bisa ditinggal udud dan ngopi di
warung sebelah.
Padahal, generasi
gadget jelas aneh. Meski mereka tidak suka berpikir logis ihwal gerakan
ideologi, dan nyaman dengan gaya hidup sesuai trending topic (pop
culture), mereka ini tak sungkan misuh jika ada hal berbau NU dikampanyekan,
walau sebatas di dunia maya, yang baginya bisa dianggap lebih nyata dari krupuk
jengkol di hadapan mata. Ingat kan contoh penghina Gus Mus dengan sebutan “Ndasmu”
dulu? Ya begitu contoh nir-adabnya.
Karena
itulah, pada diskusi malam itu muncul usulan membentuk tokoh iconic
generasi gadget NU hingga pelatihan-pelatihan bertajuk alay (anak lebay) macam “hijrah”
(walau mereka salah tafsir), “jilboob” (meski minhum ngawur karena tak tahu
konteks), dan ekonomi kreatif (akhirnya keluar produk-produk kapitalis yang
dibalut dengan “juang agama”, contoh label 212).
Hal itu
memang sangat dibutuhkan generasi yang diburu informasi itu lebih tertarik agenda
instan walau miskin konteks, tak bervisi, cenderung merusak adab, menggerus
tradisi dan kultur peradaban Islam Nusantara. Mereka tidak mudah diajak diskusi
ke belakang soal sejarah, misalnya:
- Tahun 60-an HT pernah terlibat pemberontakan di Jordania.
- Tahun 70-an HT pernah terlibat pemberontakan di Tunisia.
- HT juga pernah terlibat pemberontakan di Mesir.
Gara-gara
noda sejarah tersebut, HT dilarang di negara-negara Timur Tengah sampai saat
ini. Solusinya, HT menyembunyikan diri di banyak negara dengan sistem taqiyah,
mengembangkan diri dengan sistem sel, yang tiba-tiba bergerak, tiba-tiba ada,
tiba-tiba besar dan tiba-tiba saja memberontak tanpa terdeteksi.
Bahasa Mbah Kiai Ubaidillah Noor Umar (Syuriah PCNU Jepara), taqiyah itu artinya ngumpet pas
masih kecil, merunduk-runduk agar bisa diterima, tapi begitu besar, dia
ngethaki (njitak) kepada yang sudah memberinya ruang, NU misalnya. Dan taqiyah ini
tidak hanya ada di Syiah, tapi juga di wahabi tahriri dan wahabi
jihadis.
Menjelaskan
sejarah di atas kepada Generasi Y, Z dan A, yang hidup di zaman tanpa perang
ideologi jelas sulitnya minta ampun. Sejarah reformasi 1998 saja buta dan tuli,
apalagi sejarah tentang adanya Agama Kapitayan di Jawa Tempoe Doeloe dan Tarekat
Malmatiyah serta Akmaliyah, yang sejak dari lakunya sengaja melepaskan atribut
keislaman semisal sorban dan shalat di hadapan manusia lain.
Ini belum
lagi menjelaskan gerakan trans-nasional Islam yang sudah ada sel gerakannya di
Indonesia, semisal Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Wahabisme Global dan juga
(saya tambah), Jamaah Tabligh, dengan corak dan bentuk gerakan yang berbeda di
masing-masing negara. Semua gerakan trans-nasional ini pernah mendapat label
sebagai penghianat dan pemberontak pemerintahan yang sah.
Lha kok ada Kiai NU tingkat MWC di Jepara
yang mengampanyekan gerakan tersebut di forum resmi ke-NU-an, dan atas nama
pengurus NU, kan ya kepiye yaw? Diajak ngopi forum Ngahad Leginan ra
sopan. Dijelaske, kuatir dianggap su’ul adab. Ya nunggu diburu informasi
saja beliaunya. Biar bisa memfilter sendiri.
Kan beliau Generasi
Boomers, yang menangi -ini bahasa Indonesianya apa, sih?- zaman perang ideologi
tanpa diburu informasi seperti saat ini. [badriologi.com]