Pembakaran Bendera Tauhid |
DALAM bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dari sononya memang sudah menyiratkan makna dan bentuk. Makna ada dalam kalimat tauhid. Tercermin dari bahasa yang digunakan bendera. Bentuknya adalah bendera yang berwarna putih atau hitam, yang disebut sebagai royah dan liwa’. Naifnya, bendera itu mereka klaim dari Rasulullah. Ini distorsi dan pembelokan.
Dalam kajian mitologi, bendera HTI itu disebut sebagai mitos. Bukan mistis yah. Tapi mitos, ilmu tentang tanda. Adanya penanda bendera, berarti ada motivasi, kehendak dan permintaan yang dijadikan petanda.
Melalui penanda bendera, petanda yang ia adalah motivasi gerakan makar ideologis HTI, sengaja disamarkan atau dinaturalisasikan sehingga yang tampak di muka hanya bentuknya, bendera yang diklaim milik umat Islam itu tuh.
Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1983) menyebut mitos sebagai yang “terlalu samar untuk dikenali, atau terlalu gamblang untuk langsung diyakini”. Ia hanyalah sebuah infleksi (pembelokan) dan pengkhianatan bahasa. (Lihat, ibid, hlm. 186).
Apakah betul bendera HTI milik seluruh umat Islam? Publik terlalu samar dan tidak berani untuk tidak menyebutnya sebagai bendera umat Islam karena ada kalimat tauhidnya. Mengapa? Karena ia sudah ada dan menjadi sebagai bendera. Begitulah kerja mitos.
Umat Islam yang tidak membaca tanda dan tidak paham sejarah akan mudah menyatakan kalau itu adalah bendera agama Islam. Mereka tidak tahu kalau umat Islam lain ada yang menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai bendera mereka, penanda atas petanda keislaman mereka.
Karena ada kalimat tauhidnya, mereka tidak mau tahu juga kalau ISIS, Al-Qaida dan juga Saudi Arabia memakai kalimat tauhid dalam bendera kelompoknya masing-masing. Samar. Dan karena samar, mereka dukung saja. Membebek dengan mitos tauhid yang telah disisipkan dalam bendera.
Banyak umat Islam yang gamang dan samar menyebut bendera itu milik HTI karena kalimat tauhid adalah bahasa dunia milik semua umat Islam, yang tanpanya, tidak akan masuk surga. HTI pun panen dukungan umat Islam karena propaganda benderanya yang dimitoskan.
Bongkar Mitos
Saya menyebut, HTI panen hasil rampokan bahasa (kalimat tauhid) yang ada dalam benderanya sebagai mitos tersamar. Mereka merampok emosi massal umat Islam untuk mendukungnya, seolah selain dia bukan Islam, dengan ancaman bahasanya yang khas, “siapa saja yang membakar bendera itu berarti anti Islam”. Innalillah.Umat Islam, termasuk kiai-kiai NU dan santri-santri NU, banyak yang menganggap bahwa bendera itu bendera Rasulullah. Pasalnya, HTI tidak menjadikan kalimat itu sebagai contoh kalimat thoyyibah, tapi lebih dari itu, kalimat tauhid dinaturalkan berlebihan jadi bendera sehingga mendukung bendera, sama dengan mendukung Islam.
Kalau saja HTI hanya menjadikan kalimat tauhid sebagai contoh kalimat thoyyibah, tentu tidak ada gerakan counter propaganda dan pembakaran oleh Banser di Garut saat perayaan Hari Santri 2018 kemarin.
Banser paham, kalimat tauhid yang sudah jadi bendera itu artinya ada proses mitologis dan pembelokan makna bahasa agung kalimat tauhid, yang oleh Roland Barthes disebut sebagai pengkhianatan bahasa. (ibid, hlm. 187).
Laku pembakaran bendera tauhid HTI di atas sangat sah menemukan kebenaran. Mengapa? Sebagai bahasa, kalimat La Ila ha Illa Allah adalah kalimat baik yang penuh makna sehingga mudah diinvasi banyak tafsir, mengingat kalimat tauhid bukan kalimat matematis yang dikelilingi rumus tunggal, sebagaimana 1 + 1 samadengan 2. Ada rumus yang melindungi kalimat matematika.
Banser menafsir, kalimat thoyyibah yang diklaim secara naif oleh HTI sebagai dari Rasulullah (kalimat dan benderanya) sebagai mitos yang membelokkan makna. Andai saja bendera itu berwarna hitam atau putih dan bertulikan Hizbut Tahrir, tak akan ada invasi tafsir lain oleh umat Islam, karena ia jadi kalimat matematis, tunggal dan langsung menunjuk hidung HTI. Banser pun tidak berhak membakar benderanya jika demikian.
Banser paham, mitos yang dibangun HTI lewat bendera bertulis kalimat tauhid hanya ingin mengubah sejarah pemberontakan pengguna bendera yang sama ke dalam alam umat Islam Indonesia yang nasionalis dan cinta NKRI.
Melalui benderanya, HTI berhasil menjadikan kalimat tauhid bukan sebagai contoh, tapi membuat dia natural sebagai yang dimiliki oleh banyak umat Islam. HTI berhasil menaturalisasikan makna kalimat tauhid jadi basis gerakan mendapatkan dukungan. Itulah yang disebut Roland Barthes sebagai mengubah makna menjadi bentuk.
Hasilnya, HTI menjadi ormas terlarang yang berhasil mendistorsi (merampok) bahwa kalimat tauhid tidak boleh dibakar walau ia terbukti dipakai oleh perampok dan perompak ideologi negara. Inilah kehendak dan permintaan dalam motivasi dibalik perampokan kalimat tauhid HTI dalam bendera berbahasa La Ilaha Illa Allah.
Makanya, membakar bendera HTI adalah sah, halal dan mendapatkan pahala menjaga balad (negara) sebagai yang amin (damai). Jauh dari gerakan anti Pancasila dan anti nasionalisme. Lanjutkan. Saya bersama Banser! [badriologi.com]