Oleh M
Abdullah Badri
SEBAGAI objek, kalimat tauhid itu dasein
(ditemukan dalam kondisi bebas atas dirinya, befindlichkeit). Mendadak
kalimat tauhid itu punya beban ketika dimasukkan dalam sejarah barunya sebagai
simbol negara atau ormas tertentu. Ia tidak lagi autentik sebagai kalimat
tauhid an sich karena sudah terpengaruh/dipengaruhi lingkungan dan
situasi kesadaran penafsirnya. Bendera dengan kalimat tauhid itu dikontrol
kemudian oleh penafsirnya, HTI wa akhowatuha: Saudi Arabia, ISIS
dan Al-Qaida.
Gambaran
mudahnya begini. Sebagai simbol agama Islam, makna kalimat tauhid jelas terkontak
langsung dengan eksistensi Yang Sakral, yakni ekspresi bahasa atas pengakuan kita
(umat Islam) kepada ke-Esaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan kerasulan
Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.
Selain itu,
kalimat tauhid dalam posisinya sebagai objek itu pun sangat netral, berdiri
sendiri, bebas atas dirinya sendiri. Niat awalnya adalah untuk mengenalkan umat
Islam seluruhnya bahwa dalam galaksi kosmologis ini ada Allah SWT Sang
Pencipta, dikenalkan bahasanya oleh Rasululah SAW via Malaikat Jibril alaihis
salam dalam hadits tentang iman.
Di simpang
peradaban Islam, kalimat tauhid itu bergerak membangun lingkaran hermenutika (metode
interpretasi) makna ketika ada subjek yang mencipta sebuah arti politis dan
pemahaman atasnya. Terutama ketika kalimat tauhid diupload jadi simbol
bendera. Saat inilah mulai “ada pikiran penafsir” yang diarahkan kepada objek
kalimat tauhid itu, yang sungguh sangat dimuliakan oleh umat Islam seluruh
dunia sampai kiamat.
Nah, saat
ditafsir oleh pikiran penafsir inilah kalimat yang disebut thoyyibah
tersebut akhirnya bisa dibaca dengan dua makna, yakni makna rohani dan makna historis.
Ia tidak lagi bebas dari niatan awal yang sakral, sebagaimana saat dikenalakan
pertama oleh Rasulullah, sehingga ia tidak lagi autentik, apalagi bebas motif ketika
disentuh sang penafsir, sang pengguna bendera tauhid itu.
Makna
rohani kalimat tauhid itu, sebagaimana ahli kalam dan aqidah
menyebutkan adalah “la ma’buda bihaqqin illa Allah/tidak ada yang
benar-benar berhak disembah kecuali Gusti Allah”. Bila ada yang lain ikut
disembah, tidak ada hak kebenaran atasnya. Begitulah maghza dan makna
tauhid bagi umat Islam.
Sedangkan
makna historisnya sebagai bendera, kita bisa membedakan, se-siapa sajang yang sedang
memakai kalimat tersebut? Saudi Arabia-kah? Al-Qaida, ISIS atau HTI?
Masing-masing maknanya bisa beda; nasionalisme (Saudi), radikalisme global
(Al-Qaida), terorisme (ISIS), dan makar khilafah (HTI), meski harus diakui
makna rohani bendera mereka sama: tauhid. Makna historis inilah yang saya sebut
“tidak lagi autentik”. Yang autentik adalah makan rohani di atas, menurut umat
Islam dan saya.
Kesadaran
yang Anarkhis
Beban
historis kalimat tauhid muncul kian tebal dan berkabut kala dominasi kesadaran umat
Islam dalam memahami teks kalimat thoyyibah itu sebatas makna rohani-nya
saja. Lahirlah kekacauan atas kesadaran anarkhis di kalangan umat Islam.
Misalnya,
hanya karena mengkritik HTI, muncul anarkhisme bahasa: “loe Islam, hormati bendera
ini, bukan yang itu”, “loe kafir jika bakar bendera ini, karena ini
bendera Islam”, dan bahasa-bahasa lain yang membentuk kesadaran afirmatif diri,
“aku adalah penerima perintah Tuhan, kamu setan, karena kamu membenci
kalimat tauhid dan membakarnya”.
Duh Gusti,
mengapa kalimat anarkhis itu jadi seperti otoriter? Mengapa di kalimat tauhid
yang biasa diucapkan oleh Nahdliyyin saat tahlilan rutin jadi ngeri ketika ada
dan ditafsir oleh mereka. Seolah-olah ada penafsir yang berkerja aktif
memasarkan tafsir “kamu kafir jika bakar bendera ini”.
Ini mengingatkan saya soal hukum rekonstruksi ala Betti (Reza A.A
Wattimena, 2018). Menurutnya, makna bukanlah diambil dari kesimpulan melainkan
harus diturunkan oleh penafsirnya (sensus non est inferendus sed efferendus),
dan sifatnya instruktif, memerintah, “mari jihad menegakkan khilafah dengan panji-panji
bendera ini, jika tidak, kamu memusuhi Islam!”. Apa-apaan ini? Otoriter
banget cara main makna anak-anak eks ormas terlarang itu?
Saya sebut
otoriter karena para pendukung bendera tauhid sebagai bendera Islam –utamanya
dari kalangan santri NU kemin-kemin itu, - sering taqlid buta, tidak paham
sejarah didirikannya bangsa Indonesia. Harusnya, mereka aktif membangun
kesadaran bahwa ada pesan jahat (baca: makar ideologis) dalam simbol mulia HTI
yang berusaha dikampanyekan selama ini. Ada pesan mulia juga dalam simbol
bendera merah-putih Republik Indonesia.
Mereka yang
otoriter ini (taqlid picek), dalam kajian Budaya Populer, hanya mengikuti isu
pasar yang homogen massal sedang terjadi (nge-trend), tersebar massif (shareable),
tapi juga duratif (hanya sementara saja) karena tidak punya misi kesadaran atas
nama kesatuan dan keutuhan-kedaulatan NKRI.
Karena
mengikuti arus budaya pop soal bendera tauhid sebagai bendera Islam, mereka
mengalami kesulitan “memilih yang terbaik berdasarkan rasio”, yang oleh Khaled
M. Abou El-Fadl disebut sebagai “yang otoritatif”, bukan “otoriter”. Otoriter
itu dalam tauhid hanya sifat yang dimiliki Allah (Al-Mutakabbir). Dimana
tauhid HTI jika mereka sudah otoriter sejak dari benderanya? Sudah mengambil
alih sifat Allah?
Marah Karena Bendera?
Dus, ketika kalimat tauhid jadi bendera,
ia sudah mengalami gerak sentrifugal (dinamis), yakni gerak yang mengikuti
perkembangan pemanfaatan siapa dan punya kehendak atas apa ia memanfaatkannya?
Saudi Arabia
misalnya, punya gerak dan kehendak memanfaatkan kalimat thoyyibah jadi bendera.
Ya monggo mawon. Namun artinya, di sini makna hadits Nabi “ma huwal
iman? An taqula la ila ha illa Allah” jadi tersingkir dan membungkam
dirinya sendiri.
Niat awal
kalimat tauhid sebagai ekspresi bahasa atas pengakuan yang sakral (bersaksi
keberadaan dan ke-Esa-an Allah), terdistorsi jadi sebatas ekspresi
kebanggaan-kebangsaan Saudi Arabia, khas dengan background warna hijau
dan dua bilah pedangnya.
Inilah yang
dalam bahasa hermeneutika-nya Paul Rocouer disebut sebagai “yang terbakukan
dalam bahasa” (linguiscally fixed expression). Bahasa tauhid dibekukan
jadi sebatas bahasa simbolik kebangsaan. Di sini, makna rohani kalimat tauhid
tersungkur pula jadinya.
Makna
tauhid dalam mitos simbolik bendera Saudi Arabia kian tersamar dan tidak lagi
dipentingkan. Ditaruh pada sempak perempuan pun tidak masalah. Apalagi cuma
dijadikan mereka sepatu. Dimana kalimat thoyyibahnya? Ya samar, bahkan hilang.
Ia sudah tergantikan dengan bendera sebagai kebanggaan bangsa Saudi Arabia,
walau visi misi nasionalisme nya saya yakin terinspirasi dari kalimat tauhid
tersebut.
Jika Anda
marah karena fenomena sempak ber-merk bendera Saudi Arabia dipakai
perempuan seksi dan ia Anda anggap menghina kemuliaan kalimat tauhid, maka Anda
sedang tertipu kesadaran palsu. Cogito marah (kesadaran, aku berada sedang
marah) Anda ini akan ditertawakan oleh Sigmund Freud. Filosuf Psikoanalisa itu bisa
menuduh Anda sebagai manusia yang sedang mengalami “kesadaran yang keliru”.
Kelirunya
karena Anda menganggapnya bukan sebagai bendera, tapi sebagai kalimat thoyyibah.
Realitasnya bendera, tapi kesadaran Anda masih pada realitas kalimat tauhid. Anda
terjebak dokumen pemahaman di kepala bahwa kalimat itu harus dihormati tanpa
melihat atas nama apa kalimat itu dipakai, atas nama Allah atau atas nama
nasionalisme negara Arab monarkhi itu?
Dokumen
kesadaran Anda tentang realitas kalimat tauhid, dalam psikoanalisa Freudian,
baru tersusun dari kesadaran primitif (yang telah lama dan membekas) tentang
tauhid saja, bahwa kalimat itu harus dijunjung tinggi karena kemuliaanya.
Padahal, realitasnya sudah berubah, kalimat itu sudah masuk ke alam kesadaran
lain, kadung jadi bendera Saudi Arabia. Keliru jelas kan kalau kesadaran Anda tidak
beranjak ke bendera di bikini?
Ngaji
tah ngaji, kesadaran
primitif itu bakal menghasilkan pemahaman semu berbasis mitos yang ilusif
(contoh: itu bendera tauhid bung, milik umat Islam, bukan Saudi, Al-Qaida, ISIS
apalagi HTI). Padahal bendera bertulis tauhid itu sudah membatasi dirinya
sebagai simbol yang bisa ditafsirkan macam-macam oleh pembaca, kita semua, dan
mereka, yang membuatnya.
Buktinya,
meski sama-sama bertuliskan kalimat tauhid, bendera yang tercipta atas kalimat
itu bisa macam-macam jenis hurufnya serta pilihan warna background-nya. Ada
yang berwarna hitam, putih, hijau, merah, dan lainnya. Kaligrafi khat nya pun
variatif, ISIS pakai khat Kufi lama, Saudi Arabia pakai khat Thulutsi
baru ditambah dua pedangnya. Al-Qaida pakai khat Thulutsi yang tidak
lebih rapi dari benderanya HTI di Indonesia.
Adanya
macam-macam bentuk bendera tauhid itu karena menurut Hussrel, terjadi intensi
kesadaran atas masing-masing aktor pencipta bendera yang makin menebal sehingga
terakumulasi jadi intensi kehendak, sesuai motif masing-masing, nasionalisme,
radikalisme, terorisme atau khilafah dan lainnya.
Dalam
Hermenutika Fenomenologi-nya Paul Rocuoeur, fenomena macam-macam bendera yang
terakumulasi intensif jadi kehendak kolektif itu karena kalimat bendera tauhid
adalah simbol yang bisa diinvasi dengan banyak tafsir, simbol ekuivokal namanya.
Benderanya ekuivocal,
tapi kalimat tauhidnya univocal (satu makna), meski kalimat tauhid
sendiri bukanlah makna tunggal seturut kerja sistem logika yang matematis. Jika
Anda masih menyebut bendera berkalimat tauhid sebagai bendera Islam, sejak
kapan hak patennya dipublikasi? Sejak sempak bikini bendera tauhid dijual di
Amazon? Haduh-haduh. [badriologi.com]
M Abdullah Badri, founder Komunitas Marka Bangsa