Ilustrasi rahmat Allah berupa hujan |
APA ada yang mendapatkan anugerah masuk
surga meski tanpa ibadah? Ada, karena hal itu merupakan hak prerogatif Allah. Jangan
batasi iradah (kehendak) Allah SWT. dengan ibadah hamba-Nya. Itu sama saja
memaksa Allah memasukkan mereka ke surga karena rajin ibadah. Ibadah tidak bisa
membeli surga, kecuali dengan syarat utamanya: ber-tauhid dan tidak ber-muqnith
(putus asa) dari rahmat Allah.
Sekalipun
rajin ibadah, tapi jika ia membuat orang lain justru terkikis harapannya atas rahmat
Allah, ya jelas dimurka oleh hamba-hamba-Nya dan Allah sendiri. Itulah ulasan
sederhana atas hadits Kanjeng Nabi yang artinya: “penjahat yang masih
memiliki harapan atas rahmat Allah itu lebih dekat kepada Allah SWT daripada
ahli ibadah yang muqnith (putus asa)”, sebagaimana ditulis Kitab
Ushfuriyah dalam hadits kedua-nya, yang diriwayatkan dari Sahabat Ibnu Mas’ud
r.a.
Syaikh
Muhammad bin Abu Bakar, penulis Kitab Ushfuriyah menjelaskan hadits itu
dengan hikayat seorang laki-laki yang pernah hidup di masa lalu, dimana kala masih
hidup, ia sangat rajin sekali beribadah.
Untuk
memperbanyak pahala, tulis penulis kitab, ia sampai kepayahan menjalani hidup.
Ibadahnya rajin, tapi sayang, dia memiliki satu perangai buruk, yakni suka membuat
orang lain berputus asa atas rahmat Allah.
Begitu
meninggal, ia menagih janji-janji Allah atas pahala yang sempat dia kumpulkan
selama hidupnya di dunia, “di mana engkau tempatkan aku nanti, ya Allah?”
Tanyanya. “Neraka,” jawab Allah kepadanya.
“Lalu,
di mana semua pahala amal ibadah dan kelelahanku (beribadah) selama ini?”
“Kamu telah
telah membuat manusia lain berputus asa pada-Ku ketika masih hidup di dunia.
Maka, sekarang Aku pun membuatmu putus harapan dari-Ku”.
Tiket Masuk Surga
Kisah kedua terkait hadits di atas juga disertakan penulis kitab. Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, ada seorang yang selama hidupnya tidak pernah melakukan kebajikan kecuali satu hal, yakni ber-tauhid; mengakui sedalam-dalamnya bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Kepada
keluarganya, ketika sudah mati ia berpesan agar tidak dimakamkan atau dikubur,
melainkan dibakar tubuhnya hingga menjadi debu. Padahal ia adalah umat Kanjeng
Nabi Muhammad Saw. Satu wasiat yang sangat bertentangan dengan syariat, namun keluarga
tetap saja memenuhi permintaan tersebut.
Persis
sesuai wasiat, keluarga akhirnya membawa abu bakaran tubuhnya tersebut ke laut,
di hari angin sangat kencang. Gunanya tiada lain agar debu tercecer tak bersisa sama
sekali. Disangka, dengan melakukan hal itu Allah akan melepasnya. Ternyata tidak.
Allah tetap bisa menggenggam ruh yang jasadnya tercecer jadi debu itu.
“Kenapa
kamu melakukan hal itu (bakar jasad setelah mati)?” Tanya Allah kepadanya.
“Makhofataka
(takut kepada-Mu, ya Allah),” jawabnya di alam sana.
Alasan khauf
(takut pada Allah) itulah yang membuatnya diterima, dihapus segala dosanya,
meski seumur hidup tidak pernah melakukan kebajikan kecuali hanya menyimpan
tauhid kepada Allah Swt.
Ia takut
karena berharap tidak akan disiksa. Itulah rahmat. Itulah yang disebut tidak berputus
asa. Tauhid adalah praktik gampang di lisan, tapi galak di pendalaman sukmawi.
Dan jika sudah merasuk dalam hati tiap hamba-Nya, simbol huruf dan kalimat thayyibah
pun tidaklah cukup mewadahi makna terdalamnya.
Mencukupkan
diri merasa sudah mendapatkan rahmat Allah paling yes dengan cara menuduh-nuduh
musibah sesama manusia sebagai siksa Allah adalah petaka diri. Apalagi
mengaitkan gempa dan tsunami di Palu 30 September 2018 lalu dengan status
tersangka seorang dukun dan praktisi hipnosis.
Di mana
tauhid-nya? Di mana hati nuraninya yang berpengharap rahmat Allah? Padahal
itulah syarat masuk surga. [badriologi.com]
Sekian, dan
akan berlanjut edisi “Wali Allah di Zaman Nabi Musa yang Disia-siakanPenduduk (Ngaji Ushfuriyah Bagian 4)”. Edisi sebelumnya, baca: Burung Emprit Sayyidina Umar (Ngaji Ushfuriyah Bagian 1) dan Ngrenteg yang Terarah (Ngaji Ushfuriyah Bagian 2).
Keterangan:
Artikel ini adalah dokumentasi Ngaji Malam Kemisan (Pahing), 17 Dzulhijjah 1439 H/29 Agustus 2018.
Artikel ini adalah dokumentasi Ngaji Malam Kemisan (Pahing), 17 Dzulhijjah 1439 H/29 Agustus 2018.