Mushalla KH. Rifa'i di Jepang Pakis, Kudus. Foto diambil Selasa, 18 Desember 2018. |
TIDAK banyak yang mengetahui manâqib Mbah KH. Sofwan Durri Tepasan Kudus. Istrinya ada empat. Istri pertama bernama Ibu Nyai Syafa’atun. Dari istri tertua ini, lahir dua anak bernama Zahrah (mukim di Mblender, —istri Kiai Sanusi Peganjaran, Kudus) dan Kiai Rifa’i, yang mukim dan dimakamkan di Jepang, Kudus. Pernikahan Kiai Rifa’i dengan Ibu Nyai Munti'ah (sekarang berumur 90an tahun), tidak dikaruniai anak. Dari menantu Mbah KH. Sofwan Durri inilah, tulisan ini saya buat.
Saat artikel ini saya buat 19 Desember 2018, putra KH. Sofwan Durri sudah meninggal semua. Baik dari istri pertama maupun lainnya (hanya dua istri yang memberikan keturunan). Salah satu cucu KH. Sofwan Durri dari Ibu Zahrah bernama Kiai Kholish pun sudah ada yang wafat saat usia pernikahannya 8 tahun berjalan, —meninggalkan 6 putra dan 1 putri.
Dengan KH. Turaichan Adjhuri (Mbah Tur), KH. Sofwan Durri masih punya hubungan kerabat sebagai saudara tua, —karena putranya, KH. Rifa’i, memanggil Mbah Tur dengan sebutan lik (pak cilik/paman adik).
Riwayatnya, KH. Sofwan Durri dulu populer disebut kiai alim yang mengajar kitab kuning. Putranya, KH. Rifa’i, juga dikenal alim dan memiliki langgar yang setiap pekan digunakan ngaji oleh warga sekitar hingga jamaahnya ratusan. Saking alimnya, ketika KH. Rifa’i mengajar ilmu Faraidl (ilmu tentang waris), kadang disambi dengan bermain musik.
Bagaimana dengan abahnya, KH. Sofwan Durri? Selain dikenal kiai pondok yang alim kitab, KH. Sofwan Durri adalah ulama jadug (sakti) yang ditakuti Belanda. Diceritakan, KH. Sofwan Durri pernah melawan Belanda hanya dengan onde-onde yang isinya diambil diganti sego karak (nasi kering). Anehnya, saat onde-onde berisi karak itu dilempar ke Belanda saat perang, bunyinya seperti bom, meledak dan menghancurkan.
Saat meninggal pun, karamah Kiai Durri masih saja tampak. Alam merasakan kesedihan. Tiba-tiba saja hujan turun deras hingga mengakibatkan banjir di Kota Kudus. Padahal tidak ada petir dan kilat menyambar seperti umumnya. Langit hanya nampang hitam pekat, dan langsung hujan begitu saja.
Tapi anehnya, ketika jenazah akan diberangkatkan ke masjid Al-Aqsha Menara Kudus habis dhuhur, hujan langsung berhenti. Tak ada mendung petang yang muncul seperti di pagi harinya. Saat dimakamkan di belakang pengimaman Masjid Al-Aqsha, suasana terik masih menyelimuti, laiknya hari masih siang. Padahal, waktu itu sudah sore.
Pasca wafat, Pondok Pesantren KH. Sofwan Durri diteruskan oleh Kiai Hamdun, cucu beliau. Karena Kiai Hamdun tidak memiliki keturunan, pondok KH. Sofwan Durri mengalami kevakuman. Hingga sekarang, bangunan pondok kosong, alias pusho (tidak ada santri).
Hal sama juga dialami putra KH. Sofwan Durri yang lain, Kiai Rifa’i. Karena tidak memiliki keturunan, sejak wafat tiga tahun lalu, langgar kecil beliau yang ada di Desa Jepang Pakis, Rt. 07 Rw. 08, Kecamatan Jati, Kudus, tidak terawat. Begitu juga kediaman beliau di depan langgar.
Tulisan tangan KH. Turaichan Adjhuri tentang tahun wafat KH. Sofwan Durri Kudus. Sumber: Gus Nala, cucu Mbah Tur. |
Mbah KH. Sofwan Durri wafat jelang Subuh pada Ju’mat Wage, 4 Robi’ul Akhir 1381 H./15 September 1961 M. KH. Turaichan Adjhuri mencatat tahun wafat hijriyahnya dengan kalimat pengingat شغاف, yang artinya: bergairah/ bersemangat. Mbah Tur mengartikan “Saghâf” dengan istilah غِلاف القلب حبَّته, yang artinya: bingkai hati telah kuat memeluk cinta kepadanya.
Jika dihitung Abajadiyah, kata شغاف menunjuk angka tahun Hijriyah 1381, dengan rincian ش = 300, غ= 1000, ا = 1, ف = 80. Totalnya menjadi 1381, sesuai tahun wafat Syaikh Sofwan Durri.
Dalam catatan Mbah Tur yang ditulis di kertas amplop kecil warna putih itu, Mbah Tur menyebut “Syaikh” kepada KH. Sofwan Durri. Itu adalah julukan penghormatan dari seorang yang dianggap sepuh, alim dan ulama’ Falak dan Fiqih dari Kudus.
Melalui catatan itu, Mbah Tur bukannya mengungkapkan kegembiraan atas wafatnya KH. Sofwan Durri melalui kata “Saghâf”. Tidak mungkin dimaknai demikian karena Mbah Tur menggunakan kata “Syaikh” sebagai sebutan mulia untuk KH. Sofwan Durri. Sebaliknya, penanda kata “Saghâf” (bersemangat) atas tahun wafat KH. Sofwan Durri dipilih sebagai ungkapan mendalam atas hilangnya ulama’, yang di lubuk hati Mbah Tur sudah terlalu kuat kedalaman ber-mahabbah-nya.
Jika ada seorang penulis buku yang menyebut KH. Sofwan Durri tidak alim, dengan kalimat begini, “sebenarnya K. Sofwan Duri itu tidak alim, cuma beliau seorang sesepuh atau Kiai desa. Seperti contoh K. Ma’mun TBS itu sebenarnya biasa-biasa saja, cuma ayahnya orang alim,” maka, saya berlepas dari semua akibatnya. [badriologi.com]