Oleh M. Abdullah Badri
MALAM Kamis (02/01/2019) sekitar pukul 22.59, suara “brak” seperti durian rimbun jatuh dari atas, terdengar dari belakang rumah. Beberapa saat kemudian, suara ledakan besar juga terdengar di atas rumah sebelah Timur. Bersama si kecil, istri ke belakang rumah membawa sorot, mencari sumber suara di bawah pohon durian, —yang memang ada di belakang rumah.
Tidak ada bekas durian runtuh beserta cabang pohonnya. Tidak ada pula bekas suara ledakan yang terdengar hingga 15 meter ke arah Timur itu. Lalu, itu apa? Tanya istri kepada suaminya saat asyik diskusi bertema “Heroisme Perang 10 November 45” bersama sahabat Lembaga Kajian Pemikiran dan Advokasi Marka Bangsa di Desa Lebak.
Si besar yang saat itu tidur juga tiba-tiba mengigau, “itu milikku, bukan punyamu, pergi sana,” katanya, didengarkan ibunya. Kakinya juga seperti bersilat. Tangannya menonjok ke arah ibunya, di kamar. Lalu tertidur lagi, dan kembali meneriakkan “itu milikku, bukan punyamu, pergi sana” berulang kali. Si besar berhenti mengigau saat ayahnya pulang sekitar pukul 01.29.
Begitu masuk rumah, istri menceritakan kepada suami bahwa barusan ia juga bermimpi dikejar oleh orang-orang tak dikenal. Bersama suami dan dua teman suaminya dari Guyangan, ia lari terbirit-birit menjauh dari kejaran penjahat, di mimpi. Sayang, satu teman suaminya ternyata tidak selamat. Kepalanya terkena tembakan tombak panjang hingga pecah, hancur.
Kabar
Dari jauh, siang hari berikutnya, ada yang mengabarkan kalau tadi malam sedang ada alien masuk wilayah tanpa izin. Ia mendobrak gerbang saat sang suami tidak di rumah. Karena memaksa, ia berhasil masuk dengan tanda seperti ada suara durian runtuh dari atas pohon; “brak”.Ia masuk wilayah tanpa izin hanya untuk mendapatkan tombak pusaka yang sudah menyatu dengan alam sejak ratusan tahun tahun yang lalu. Alien itu mengetahui adanya pusaka itu dari ulah ustadz yang merasa sok tahu kalau ia mampu mengendalikan semua alien di tanah tua itu.
Karena tidak mendapatkan izin tuan rumah, ia diserang oleh makhluk alien lain yang selama ini menjadi penjaga pusaka warisan, dengan menggunakan tombak sebagai senjata. Tombak ditembakkan ke kepalanya hingga pecah.
Si besar yang baru berumur 5 tahun menangkisnya, mempertahankan pusaka Mbah Canggahnya, meski hanya dengan igauan. Dan ibunya menjadi saksi, meski hanya di mimpi. Matursuwun nggeh, Mbah! Matursuwun nggeh, Nang! Kata tuan rumah, yang hingga kini tidak diketahui identitas jelasnya. Duh. [badriologi.com]