Ilustrasi gambar lumpur becek |
SUARA tanpa rupa (hâtif) tersebut siang ini terdengar di tengah mengawal puluhan sahabat Ansor dan Banser Ngabul yang ikut PKD-Diklatsar di Kecapi, Tahunan, Jepara. Suara itu terdengar jelas di telinga, meski sahabat Banser di sekeliling tidak mendengarnya.
Suara itu memperingatkan supaya saya tidak menghancurkan rencana HR yang dibuat. Menata hati lebih baik daripada mengkarteker rencana yang sudah siap jalan beberapa hari lagi. Saya diminta untuk membuka komunikasi dengan “mereka”.
Kejadiannya saat masyghul melantunkan “maulaya shalli wasallim da’iman abada....” ratusan kali, dengan suara lantang tanpa geser dan tak terasa capai di tengah bai’at massal berlangsung satu-persatu.
Mimpi melihat lumpur
Itu adalah pesan tak tampak kedua. Malam sebelum siang ini diperingatkan suara tanpa rupa, mimpi juga datang. Saya naik gunung bersama orangtua saya. Ia berjalan di depan saya atas permintaan saya di mimpi. Naik tinggi sudah hampir ke puncak.Pakaian saya seperti yang saya pakai hari ini ke acara PKD-Diklatsar. Sarungan merah dan berpeci. Di tengah menuju ke puncak, ada lumpur becek yang harus saya lewati berdua dengan orangtua saya. Lucunya, sarung yang saya pakai ternyata saya gunakan untuk menutupi lumpur becek tersebut.
Saya persilakan orangtua saya melewati lumpur ber-alas sarung tersebut. Setelah itu, saya pakai lagi sarung itu. Akhirnya, saya memakai sarung becek penuh lumpur.
Artinya, adakah yang memperalat saya di luar mimpi untuk "tujuan becek" mereka? Dan ketika saya tutupi beceknya, justru saya yang kena beceknya, bukan mereka, begitukah? Apakah suara tanpa rupa tersebut nyambung dengan mimpi tadi malam? Kita buktikan saja enam hari berikutnya sejak hari ini. [badriologi.com]