Kang Syukron Makmun (kiri) saat sowan ke KH. Masduki Ridlwan (kanan), Sowan, Kedung, Jepara, Sabtu malam (2 Maret 2019) |
KAKEK Habib Luthfi bin Ali bin Yahya bernama Habib Hasyim bin Yahya adalah putra dari Habib Umar bin Hasan bin Toha bin Yahya. Sebelum lahir, Habib Umar (jid buyut Abah Luthfi yang dimakamkan di Indramayu) pernah berencana memberi nama calon putranya dengan nama Abdullah. Namun, oleh Habib Hasan (jid canggah Abah Luthfi, dimakamkan di Penang, Malaysia), calon cucunya diminta bernama Hasyim.
Mengapa lebih memilih nama Hasyim daripada Abdullah, tidak ada keterangan lebih lanjut. Yang pasti, Hasyim adalah nama populer yang sangat berpengaruh di Jawa waktu itu. Buktinya, Habib Hasyim bin Yahya memang hidup sezaman dengan pendiri NU, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Sama-sama Hasyim, sama-sama dzurriyah Nabi, dan sama-sama berpengaruh. Barangkali, inilah hikmah dibalik pemilihan nama Hasyim daripada Abdullah.
Di usia 6 tahun, kakek Abah Luthfi tersebut pernah diambil oleh Nabi Khidzir dari abahnya, Habib Umar bin Yahya, selama 9 tahun, untuk dididik dan dibersihkan hatinya. Beliau kembali saat usia 15 tahun dan melanjutkan studi di Yaman.
Usai dari Yaman, Habib Hasyim kemudian diperintah abahnya nyantri kepada KH. Sholeh Darat di Kampung Darat Semarang. Syaratnya, ia tidak boleh mengenalkan diri sebagai putra Habib Umar bin Yahya (guru KH. Sholeh Darat), dan tidak boleh menggunakan fam sâdat “bin Yahya” di belakangnya.
Saat mendaftar menjadi santri KH. Sholeh Darat pun, Habib Umar tidak mengantarkan langsung putranya itu. Akibatnya, Kiai Sholeh tidak mengetahui siapa sebetulnya santri barunya itu.
Habib Hasyim remaja kemudian diperlakukan seperti santri biasa, yang tidur di lantai, memasak, ngaji, rokan, bersama-sama santri lainnya. Kiai Sholeh juga biasa memerintah Habib Hasyim untuk keperluan pondok dan ndalem, seperti santri lainnya juga.
Kiai Soleh Darat ke Pekalongan
Suatu kali, Kiai Sholeh Darat mendengar ada seorang habib muda di Pekalongan, yang dikabarkan memiliki kealiman dan karamah bernama Hasyim.Dari Semarang, Mbah Sholeh Darat naik kereta sampai ke stasiun Pekalongan. Oleh Habib Hasyim, Mbah Sholeh Darat dijemput dengan andong kuda yang disopiri muridnya tersebut, yang juga dimohon mampir ke rumahnya terlebih dulu. “Mampir ke rumah saya kiai,” demikian pinta Habib Hasyim kepada gurunya.
Tamu di rumah Habib Hasyim ternyata sesak dipenuhi para tamu yang memanggilnya dengan sebutan “ndoro”. Mbah Sholeh Darat pun baru mengetahui kalau rumah tersebut dikenalnya sebagai ndalem guru beliau, Habib Umar bin Hasan bin Toha bin Yahya. Betapa kagetnya beliau.
“Hasyim, kamu putranya Ndoro Umar kah?”
“Betul, kiai,” jawab Habib Hasyim.
“Mengapa dari dulu kamu tidak memberitahu?”
“Kalau saya beri tahu, jenengan pasti akan membelikan kasur,” jawabnya.
Sejak itulah KH. Sholeh Darat mengetahui kalau muridnya adalah putra sang guru, —minal gawagis (bagian dari gus) istilah sekarang.
Demi menjaga keikhlasan menjadi murid ngaji, Habib Hasyim diminta oleh abahnya agar tidak memakai nama fam sâdat di belakangnya. [badriologi.com]
Keterangan:
Kisah ini dituturkan oleh Habib Luthfi bin Yahya, didengar langsung oleh penulis dari murid khalifah thariqah beliau di Jepara, KH. Masduki Ridlwan di rumahnya Sowan, Kedung, Jepara pada Sabtu Malam – Ahad Pahing (2 Maret 2019) usai Isya'. Saksi penuturan kisah ini adalah ibu penulis dan salah satu Pengurus Pusat MATAN, Syukron Makmun (Bugel).