Sowan kepada KH. Hasan Fauzi (tengah) di Kudus, Jumat (15/03/2019) petang. |
SEBUAH acara pertemuan dihadiri oleh KH. Turaichan Adjhuri (Mbah Tur) di Kudus. KH. Hasan Fauzi yang kala itu menjadi pembawa acara menyilakan Mbah Tur untuk berbicara di hadapan hadirin.
“Kepada yang mewakili ulama di Kudus, beliau Kiai Haji Turaichan, waktu dan tempat, kami persilakan,” demikian Kiai Fauzi.
Apa yang terjadi? Bukannya merasa bangga, Mbah Tur diceritakan justru mengkritik sebutan “mewakili” (Arab: muwakkil) yang disematkan kepada Mbah Tur, meski banyak orang menyebut beliau memang ulama’ nya Kudus di zamannya.
“Saya kok disebut mewakili, tidak pas. Coba buka dan baca kitab-kitab Fiqh, apa ada seorang muwakkil tanpa muwakkal (yang diwakili). Saya tidak pernah merasa diminta mewakili ulama se-Kudus oleh siapa pun,” jelas Mbah Tur di hadapan hadirin, yang banyak di antara adalah para kiai di Kudus.
Terang saja, sebagai pembawa acara, Kiai Fauzi merasa salah ucap atas sebutan tersebut, “harusnya disebut atas-nama, bukan mewakili,” terang Kiai Fauzi saat saat saya bersama-sama santri TBS lainnya (angkatan 2005) sowan ke ndalem beliau di Kudus, Jumat (15 Maret 2019) petang.
Hadits tentang Fitnah Ulama'
Bagi saya, jawaban Mbah Tur cukup tegas sebagai peringatan buat para ustad dan kiai yang saat ini sering mengatasnamakan ulama’, mengatasnamakan dirinya sebagai wakil umat Islam, padahal tidak pernah terjadi proses saling mewakili.Munculllah fitnah hanya karena muwakkil tidak mendapatkan mandat sebagai wakil dari orang-orang yang merasa diwakili. Kiai Fauzi pun sore itu mengutip sebuah hadits (mauqûf) sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya fitnah yang justru munculnya dari para ulama,
Artinya:
“Diriwayatkan oleh Muhammad bin Khulaifah, dari Muhammad bin Al-Husain, Umar bin Ayyub Al-Suqhathi, Bisyri Al-Walid Al-Qadli, Abdullah bin Dukain, Ja’far bin Muhammad, dari ayah dan kakeknya, Sayyidina Ali berkata “Bukan tidak mungkin, besok datang suatu zaman dimana Islam tidak tersisa kecuali hanya namanya, Al-Qur’an tidak tersisa kecuali tulisannya, (padahal) ketika itu, masjid-masjid penuh. Masjid-masjid tersebut (justru menjadi) perusak hidayah, ulama’nya adalah seburuk-buruknya manusia di bawah atap langit, yang darinya keluar fitnah, dan di dalam (kemuliannya)nya (fitnah) itu kembali kepada mereka sendiri (ulama’)”.
Beliau prihatin, sekarang ulama’ seolah-olah menjadi sumber munculnya fitnah karena alasan-alasan politik dan lainnya, dan ironisnya, fitnah tersebut justru kembali kepada ulama’, yang harusnya menjadi pamomong, pembimbing umat agar lebih dekat dengan petunjuk. Ulama’ menjadi sumber fitnah, dan fitnah itu kembali kepadanya.
Mengutip peringatan di atas, Kiai Fauzi berujar, “apakah sekarang memang sudah zamannya seperti (prediksi) di atas?”
Tambahan: sengaja saya tidak mengutip teks di atas langsung qâla Rasûlullah saw., karena setelah melacak ke beberapa sumber hadits, kalimat di atas tidak marfû’ (nyambung ke atas) hingga Rasulullah Saw. Para ulama’ hadits menyebutnya mauqûf (tertahan/terputus) hanya di Sayyidina Ali ra. saja.
Alasannya, ada perawi bernama Abdullah bin Dukain dalam urutan perawi di atas, —yang oleh ahli hadist disebut lemah, meski teks hadits di atas juga terdapat dalam Kitab Al-Kâmil Ibnu Ady (4/227) dan Al-Baihaqy dalam Syu’bil Îman-nya (3/317-318). (Baca link keterangan di: islamqa.info). Wallâhu a’lam.
Laporan sowan berikutnya, bisa Anda baca dalam esai saya berjudul: Kebiasaan Mbah Makshum Lasem Sowan ke Para Santri “Ngisor Gedang”. Bulan lalu, sowan ke kiai juga saya dokumenkan dalam esai bertajuk: Wirid dan Tirakat Kiai Mahmudi Besito Kudus Saat Babad Tanah MTs TBS. [badriologi.com]