Ilustrasi bumi terbelah. Foto: istimewa. |
KABAR tentang akan terbelahnya pulau Jawa sudah saya dengar sejak tahun 2012 silam saat membaca sebuah analisis geologis ilmiah terkait perkembangan keretakan bumi dan lempengan laut Jawa yang terus bergeser.
Saat itu sedang hot in Lumpur Lapindo. Prediksinya, tahun 2019 Pulau Jawa potensial terbelah. Pasca sowan ke Mbah Abdullah Fanani di Dieng pertama kali pada 2014, kabar terbelahnya Pulau Jawa makin santer saja saya dengar.
Disebut-disebut, Mbah Fanani tidak akan rampung dari petapaannya di Dieng kecuali antara Dieng dan Madura sudah dipisahkan oleh lautan. “Ini berita apaan lagi komandan,” gumam saya waktu itu. Baca: Masjid Mantingan Dibangun Retna Kencana, Dibantu Kiai Telingsing.
Padahal, menurut Pak Ono —pemilik rumah yang halamannya jadi tempat petapaan Mbah Fanani— sudah mengatakan ke saya kalau beliau sudah bertapa di sana sejak sekitar tahun 1984. Entah sampai kapan beliau mengemban amanat alam itu.
Kabar yang saya terima, harusnya Mbah Fanani masih bertapa jongkok (ndodok), tapi karena pernah dijemput oleh Mbah Rajab Tasikmalaya, seorang petapa yang juga murid Mbah Fanani, kini Mbah Fanani “harus” melanjutkan tugasnya. Kebetulan saya kenal dengan kiai yang memberi obat agar kaki sepuh Mbah Fanani tetap bisa berjalan —pasca tapa jongkok puluhan tahun di Dieng.
Pulau Jawa Terbelah
Alhamdulillâh, hingga tulisan ini saya buat 21 Maret 2019, Pulau Jawa masih aman dan tidak mengalami bencana alam geologis yang mematahkan buminya. Kabar yang saya terima kemarin, Rabu (20 Maret 2019), Jawa ditunda terpecah hingga 2025, dan kuncinya ada di Mbah Fanani Dieng pula katanya.Penundaan itu, menurut kalangan auliyâ’, disebut-sebut terkait dengan suasana Pemilu 2019, yang bila nantinya tidak merobek unsur kemanusiaan dan kemuliaan manusia sebagai khalîfatullâh di bumi, maka, 2025 tidak ada bencana dahsyat, sebagaimana yang seharusnya (direncanakan) terjadi 2019 ini.
Jika benar prediksi itu terjadi, saya teringat dengan bentuk peta pulau-pulau Nusantara tempoe doeloe, dimana Jepara misalnya, pernah dipisah oleh Selat Muria, yang kini, mencari jejaknya saja amat susah tanpa bantuan alat modern. Pulau-pulau yang kini terlihat dipisah lautan, ternyata dulunya memiliki sejarah daratan.
Welahan (Kecamatan di Kabupaten Jepara) misalnya, secara toponimis, ia berasal dari kata welah (bilah dayung perahu). Padahal kini daerah itu berupa daratan penuh. Di mana lautnya? Baca juga: Pusat Kerajaan Demak di Prawoto, Bagaimana Demak Bintoro?
Dinamakan sebagai Desa Teluk (masih di Welahan juga), karena konon daerah itu dulunya juga berupa lautan. Tapi untuk mencari sebuah laut di desa Teluk, Anda hanya akan menemukan pasir-pasir yang terkubur puluhan meter di dalam tanahnya.
Apakah itu dampak dari bumi yang terbelah? Silakan. Setahu saya, tiap 1000 tahun, ada peradaban yang berubah pola dan reruntuhannya ada yang tenggelam di dasar laut. Dan itu faktor alam. Allah yang Maha Tahu.
Percayakah tahun 2025 Jawa terbelah? Jika Pemilu tahun ini kita bisa bersikap saling menjaga dan menghormati, insyâAllah Nusantara aman. Amin. [badriologi.com]