Surat suara DPD RI yang rusak di TPS 07 Ngabul Tahunan Jepara |
MENJADI Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) tahun 2019 adalah pengalaman pertama saya sebagai petugas demokrasi di negeri ini. Dibanding menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), posisi PTPS memang lebih ringan secara fisik dalam tugas di lapangan, meski tanggungjawabnya juga sama dengan KPPS.
Tugas-tugas yang diberikan oleh Ketua Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) Desa Ngabul, Kang Kiai Teddy Susanto kepada saya adalah menyetorkan salinan DPT, C-KPU, C1-Plano, C1-Salinan, dan mengisi semua kolom dalam buku saku PTPS. Semua itu jelas bagian dari kegiatan pengawasan yang membutuhkan dokumentasi foto sejak kegiatan awal.
Malam Rabu usai Isya', 16 April 2019, saya harus datang ke lokasi, TPS 07 di Ngabul, untuk cek kesiapan. Ngobrol bersama Ketua KPPS, Putarto, saya kebetulan bertemu dengan rombongan patroli Polsek Kecamatan Tahunan malam itu. Saksi-saksi dari beberapa partai peserta Pemilu 2019 juga tampak menyerahkan surat mendatnya masing-masing ke Ketua KPPS.
Baca: Video Maker Vegas untuk Da'i Virtual PP Matan yang Bikin Gregetan
Esok hari, Rabu pagi, sekitar pukul 06.30 WIB, saya meluncur ke lokasi TPS. Ketika Pak Putarto mengambil sumpah kepada semua petugasnya, belum ada warga yang membawa C-6 untuk mencoblos. Namun, setelah sumpah selesai, tiba-tiba saja puluhan warga datang berjama'ah. Karena persiapan daftar hadir tengah disiapkan, dan kotak suara baru dibuka pada 07.00 WIB, warga yang datang mencoblos harus sabar menunggu.
Pemanggilan nama pemilih sepertinya baru dimulai sekitar pukul 07.30 WIB. Hal itu karena lamanya proses pembukaan semua kotak suara KPU yang harus diperlihatkan kepada para saksi dan pengawas, demi memastikan segelnya masih utuh dan baru dibuka pada saat itu untuk dihitung jumlah kertas suaranya bersama. Warga pemilih semakin membludak ketika Ketua KPPS mulai membubuhkan puluhan tandatangan di kertas suara.
Baca: Petugas KPPS yang Meninggal Korban Tumbal Politik?
Ada 304 kartu suara dalam setiap kotak KPU yang dibuka. Itu adalah kartu suara dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 298 orang, ditambah 2 persen (untuk mengganti kartu suara jika ada yang rusak). Namun, hingga akhir pencoblosan ditutup pukul 13.00 WIB, jumlah pemilih di TPS 07 Ngabul yang saya jaga, hanya mencapai total 229 orang. Ada undangan C-6 satu orang yang pemilihnya tidak hadir. Artinya, dari total DPT, jumlah pertisipasi pemilih yang mencoblos di TPS 07 Ngabul adalah 80,5 persen.
Bila saja tidak ada hujan, diperkirakan jumlah pemilihnya melebihi 229 orang. Ada 3 orang pemilih yang saya cegah mencoblos karena alasan masing-masing: (1). Tidak membawa C-6 dan tidak membawa KTP, (2). Terlambat datang pada pukul 01.04 WIB (versi jam hape saya), dan (3). Terlambat datang pukul 01.10 WIB saat hujan deras mengguyur lokasi TPS 07 Ngabul.
Tidak ada kejadian luar biasa yang bisa saya laporkan ke Ketua PPL dan ke aplikasi SiWaslu di TPS 07 Ngabul tersebut. Meski ada dua pemilih yang saya lihat mengalami difabel dan sakit, saya bersepakat dengan Ketua KPPS kalau kedua pemilih itu masuk sebagai pemilih biasa karena mereka, meskipun sakit, bisa mencoblos kartu suara tanpa bantuan khusus (dibantu coblos) oleh Linmas.
Satu pemilih meminta agar bisa mencoblos di dalam mobilnya, masih di depan lokasi TPS. Ia dibantu ambil kertas suaranya oleh Linmas, dipantau saksi partai dan saya (sebagai pengawas). Pemilih sepuh ini ternyata bisa mencoblos sendiri tanpa dilihat orang lain, di dalam mobilnya yang ditutup sendiri.
Ada satu pemilih juga yang saya lihat sangat mandiri hadir ke bilik TPS meski dia harus memakaai tongkat agar kakinya tetap bisa berjalan. Alasan kemandirian memilih tanpa bantuan itulah yang membuat Ketua KPPS membolehkan kedua pemilih laki-laki tersebut ikut mencoblos. Nama keduanya tetap saya catat.
Yang sempat membuat Ketua KPPS rada repot adalah kejadian salah tulis hasil hitung suara PPWP C1-Plano Hologram oleh angggota KPPS yang mencatat. Harusnya, dia menulis hasil rekap setelah penghitungan manual bersama saksi selesai. Dia menulis lebih awal padahal terjadi kesalahan hitung 1 suara yang tidak terdeteksi jelas.
Kronologinya begini:
- Penghitungan suara PPWP dimulai pertama setelah proses pencoblosan selesai.
- Setelah semua dihitung, ternyata jumlah suara untuk 01 yang tertulis di Plano tertulis 197 suara, dan untuk 02 ada 27 suara. Ternyata catatan itu tidak sesuai dengan pengelompokan kertas suaranya.
- Dicek ulang, ada 1 kertas suara yang harusnya ditaruh di 01, tapi tertukar di kertas suara 02 yang sudah dibundel.
- Begitu ketemu, semua saksi diperlihatkan, dan semuanya sepakat kalau 01 hasil reelnya berjumlah 198 dan 02 berjumlah 26. Ini bukan dikurangi dan atau ditambah, tapi hasil hitung ulang karena adanya ketidaksesuaian pengelompokan jumlah kertas yang dicoblos.
Karena sudah kadung ditulis 197 (untuk 01) dan 27 (untuk 02), padahal hasil cek ulang adalah 198 vs 27, maka, tulisan di C1-Plano harus dicoret sesuai hasil cek ulang tersebut. Hal itu dilakukan setelah Ketua KPPS Putarto melakukan konsultasi via telpon ke Ketua Penitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Ngabul, Pak Agus.
Saya, saksi 01 dan 02 bersama Ketua KPPS, terpaksa harus membubuhkan tandatangan di atas C1-Plano PPWP TPS 07 Ngabul tersebut. Ini merupakan langkah bersama agar tidak ada anggapan bahwa pencoretan suara PPWP hanya dilakukan secara sepihak. Di bawah ini adalah cepretan C1-PPWP yang saya dokumenkan.
C1-Plano PPWP TPS 07 Ngabul |
Harga Mahal Petugas Demokrasi
Yang paling membuat capek para petugas TPS Ngabul 07 adalah proses menyalin C1-Plano Hologram ke C1-Salinan untuk diserahkan kepada para saksi dan pengawas. Jelas memakan waktu lama karena di Ngabul, hanya ada 1 toko fotocopy yang diberi mandat oleh PPS Desa Ngabul bisa digunakan sebagai tempat memperbanyak copian C1-Salinan. Sementara, toko fotocopy tersebut jelas sudah tutup saat penghitungan suara belum selesai meski malam sudah begitu larut.Terpaksalah mereka harus menulis secara manual tiap-tiap C1-Salinan yang jumlahnya ada 60 kertas (2 PPWP + 4 DPD RI + 18 DPR RI + 18 DPRD I Provinsi + 18 DPRD II Kabupaten). Karena saksi partai saat itu ada 8 orang (+ 1 orang pengawas), maka, mereka harus membuat C1-Salinan bertandatangan asli sebanyak 540 lembar (60 x 9). Betapa lelahnya mereka. Wajar jika hingga pukul 02.00 WIB proses administrasi nya baru rampung.
Ada 1 orang saksi (dari PPP) yang menarik kembali surat mandatnya malam hari usai Maghrib ke TPS. Kepada saya dan Ketua KPPS, si saksi partai tersebut beralasan kalau surat mandatnya diminta balik oleh koordinator saksi tingkat desa yang sebelumnya memerintahkannya menjadi saksi.
Ini aneh. Tapi sepertinya terjawab di seputar besaran honor saksi menurut saya. Pasalnya, para saksi ada yang dibayar lebih rendah daripada saksi partai lain. Bahkan katanya ada satu saksi di TPS lain yang hanya dibayar Rp. 25.000. Jelas saja surat mandatnya dikembalikan jika hal itu benar terjadi.
Baca: Sakit Bergilir Karena Menunda Nadzar Ziarah ke Makam Sunan Muria
Andai ada saksi PPP yang ikut proses penghitungan sampai selesai hingga menunggu salinan C1 rampung, petugas KPPS 07 Desa Ngabul jelas harus menambah salinannya menjadi 558 lembar (540 + 18). Semuanya harus ditandatangani menggunakan tinta biru bolpoin yang sudah disediakan sejak pagi.
Artinya, perpetugas KPPS 07 Ngabul (ada 7 orang) harus membubuhkan setidaknya 540 kali tandatangan ditambah dengan jumlah tandatangan spidol hitam di C1-Plano Hologram sebanyak 60 kali. Totalnya menjadi 600 kali. Betapa lelahnya mereka.
Ini belum tandatangan Ketua KPPS yang di setiap suara yang digunakan mencoblos oleh pemilih harus dia tandatangani sendiri tanpa boleh diwakilkan. Berapa kali? Mari kita hitung.
Jika jumlah suara yang digunakan (baik sah maupun tidak) jumlahnya ada 229 (sesuai DPT yang memilih), maka, dalam sehari semalam, Ketua KPPS harus membubuhkan tandatangan/paraf sebanyak 229 x 5 kertas suara + 600 kertas C1-Salinan. Totalnya menjadi 1.745 kali tandatangan.
Lalu, berapa nilai tandatangan ketua jika dirupiahkan?
Bila gaji KPPS secara umum adalah Rp. 550.000 (baca: link), maka, nilai per paraf/tandatangan Ketua KPPS hanya sekitar Rp. 315. Wajar jika selama seharian saya harus membawa rokok sendiri, konsumsi sendiri dan kopi sekilo sendiri ke TPS 07 Ngabul, yang saya minta-bantukan tuan rumah memasak air panasnya.
KPPS jelas mepet penghasilannya kalau harus berbagi dengan pengawas TPS, meski alat-alat penunjang lain sudah dianggarkan dari KPU. Itu untuk menunjang kegiatan KPPS, bukan untuk PTPS. Saya memaklumi hal itu.
Meski begitu, mereka masih saja disalah-salahkan oleh pihak-pihak yang suka pasal kecurangan. Pakai kalimat sistematis pula juga cara menuduhnya, innalillah.
Baca: Antena Wifi Bisa Menyambar Setan Santet Kiriman Jadi Petir
Karena sibuknya minta ampun kala bertugas, saya melihat mereka tidak sempat mandi. Saya menganggap diri lebih beruntung karena bisa meminta ijin ketua KPPS untuk shalat di masjid sebelah.
Curi-curi waktu shalat buat mereka sangat sulit saya lihat. Kalau saya, tugas utama saya, hanya setia menunggu hasil rekap hitungan petugas KPPS untuk kemudian saya cepret foto dan saya dokumentasikan dalam bentuk video juga. Anda bisa cek hasil kerja saya sebagai PTPS 07 Ngabul di link Drive berikut ini: http://bit.ly/tps07ngabul (hanya video yang tidak saya upload).
Hingga Subuh menjelang, saya masih menemani para petugas KPPS 07 Ngabul yang masih sibuk menghitung lagi untuk dikemas sesuai aturan KPU, disegel ulang ke kotak suara dan diantar ke Balai Desa Ngabul.
Beberapa hari kemudian, Ketua KPPS 07 Ngabul meminta copy foto salinan C1-Plano karena mereka tidak sempat mendokumentasikannya. Saya berikan juga link Drive tersebut kepada Panwascam karena diminta oleh Ketua PPL Ngabul pada Selasa, 30 April 2019.
Lalu, saya tulis pengalaman ini untuk Anda, agar tidak mudah menyalahkan petugas TPS yang tandatangannya saja saya hitung dari total gaji mereka hanya dihargai Rp. 315. [badriologi.com]