Makna radikal. Ilsutrasi: istimewa. |
PENGERTIAN tentang makna radikal sangat sensitif digunakan sejak perang identitas di negeri ini menjelma jadi gerakan massa yang bisa berhadap-hadapan secara horizontal, baik via ormas maupun lembaga lainnya.
Orang kemudian tidak suka diidentikkan dengan kata radikal karena selalu diulang-ulang untuk menilai kegiatan-kegiatan negatif yang, menurut Helmy Faishal Zaini, lebih dekat dengan tindakan yang negatif dan kerap menyebarkan teror (link).
Padahal, makna diksi radikal itu, secara ontologis, tidak demikian adanya. Sarlito Wirawan (2012), menyebut pengertian radikal sebagai perasaan positif yang mendorong perilaku seseorang membela mati-matian ideologi yang dianut.
Radikal berasal dari kata radix yang artinya adalah akar. Sifat kembali ke akar, sedalam-dalamnya akar, memunculkan sikap yang berpaku pada prinsip yang mendasar sehingga sikap radikal beginilah yang memunculkan etika atau tindakan, yang menurut Kika Nawangwulan (2015, dkk), bertentangan dengan norma dan nilai sosial.
Baca: Kulturalisasi Radikalisme Agama
Tindakan ter0r di gereja misalnya, dalam pengertian ini, akhirnya bisa disebut sebagai tindakan radikal mengatasnamakan agama, karena kebanyakan pelakunya berdalih bahwa aksinya tersebut adalah akar dari perjuangan prinsip Islam, yakni jihad.
Tindakan main kekerasan, juga bisa disebut radikal mengingat dalih kebanyakan pelakunya adalah berakar dari prinsip-prinsip dasar perubahan, mulai dari akar hingga ujung. Karena inilah, radikal menurut KBBI diartikan sebagai "sikap yang keras dalam menuntut perubahan", meski harus menggunakan kekerasan, kebohongan, ujaran kebencian, dan lainnya.
Kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits
Prinsip dasar kalangan wahabi seperti "kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits" tanpa mengikuti madzhab pun, bisa disebut radikal karena sifatnya ingin menuntut perubahan sejak dari akar dengan keras, tanpa strategi, tanpa metodologi dan tanpa brekaca kepada proses sejarah yang dinamis.Orang-orang yang disebut radikal pun, bisa dirujuk ciri dan sifatnya, yang menurut beberapa kalangan, memiliki sikap anti perubahan kecuali menurut pengertian mereka, anti toleran, kecuali menurut pengertian mereka, dan dekat dengan kekerasan jika mereka menjumpai kelompok yang berbeda golongan dan ironisnya, suka menuduh orang lain dengan ujaran fitnah, kebohongan serta stigma kafir, komunis, bid'ah, syiah, dll.
KH. Said Aqil Siraj (2006) pun mengartikan makna radikal dalam Islam sebagai bentuk pemikiran yang kaku dan sempit dalam memahami Islam, yang juga terdapat dalam agama-agama lain selain Islam.
Baca: Dalam Gurita Radikalisme Agama
Meski secara filsafat makna radikal adalah proses berpikir mendasar hingga tingkatan esensi dan hakikat, namun, dalam secara sosiologis, sikap itu ternyata berdampak negatif memunculkan sikap kaku, seperti kata Kiai Said di atas.
Makanya, orang yang terpapar paham radikal biasanya cenderung anti sosial kepada selain kelompoknya, cenderung tidak memiliki sikap adab (bertatakrama) kepada yang lebih tua yang berbeda, dan tidak mau menerima yang "tidak disukai" menurut persepsinya.
Ya, sikap like and dislike sangat sering muncul sebagai dasar dia bertindak. Tidak suka NU atau Kiai Said, ya just tidak suka saja. Karena dia, menurutnya, sudah tidak dianggap sebagai tokoh yang disukai. Begitu saja. Alasan-alasan lain hanya imbuhan pembenaran sikap. Barangkali.
Makanya, ciri-ciri utama sikap radikal menurut saya adalah sulit menerima penjelasan orang lain. Di kalangan wahabi, alasan mereka tidak menerima penjelasan adalah karena mereka sudah "hijrah", tanpa mengetahui, kalau "hijrah" juga sudah mengalami polarisasi makna dari radix pengertian asalnya.
Dari sikap yang tidak mau menerima (eksistensi/pemikiran) orang lain itulah, muncul tindakan bungen tuwo (mlebu kuping tengen, metu kuping kiwo). Dia mendengarkan, tapi tidak mau mengerti meski dia mengerti. Ya karena dia sudah punya prinsip.
Makanya, ketika dijelaskan alasan-alasan yang diluar jangkauan pikiran mereka, ya wajar lah bila hanya sibuk pegang hape, dan kita-nya, bisa jadi dianggap sedang melakukan sebuah akrobat bantahan.
Inilah yang kemudian memunculkan stigma negatif atas makna diksi radikal. Bagaimana tidak, Habib Luthfi yang saya hormati sebagai murabbi ruhina saja misalnya, bisa disebut oleh golongan bungen tuwo ini sebagai "yang serampangan", ikut-ikutan saja ke mana ulama yang lebih tua memutuskan.
Mengapa tidak dia sebut ittiba' atau taqlid, sebagaimana adab santri kepada kiai? Disebutnya di hadapan saya lagi, tanpa berpikir, apakah saya akan marah atas ujarannya atau tidak. Inilah yang disebut Kiai Said sebagai "pikiran yang kaku". Atas dasar like and dislike, semua bisa ditarget olehnya tanpa pandang bulu.
Kadang ironis, di tengah mereka bersikap radix (dalam pengertian menghendaki perubahan secara mendasar), mereka juga memendam sikap egois "suka-suka gue", sembari terus memelihara ketidaksukaan tanpa melihat hikmah dan hakikat dari semua yang dilihatnya -tanpa merasakan hakikatnya. Kasihan.
Harakah NU tidak hanya syariah. Ada harakah di NU yang bernilai tasawuf dan hikmah. Kalau syariah an sich, amar ma'rûf nahî munkar saja misalnya, ya jelas mudah dimanfaatkan orang lain, dan jauh dari prinsip daf'ul mafâsid muqaddamun alâ jalbil mashâlih serta kâdal haqq urîda bihil bâthil.
Semoga saya bersikap radikal dalam balutan hikmah dan mau'idah hasanah, meletakkan kebencian di tangan, bukan di hati. Meletakkan rahmat di hati, bukan cuma di pipi. [badriologi.com]
Keterangan:
Tulisan ini adalah dokumentasi ideologis pasca ngobrol bersama 4 teman pengurus Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) Kabupaten Jepara (dan Demak) di rumah, Jumat Pahing (12 April 2019) malam. Saya sampaikan juga poin artikel ini dalam forum diskusi rutin Ngobrol Pintar (Ngopi) bersama rekan-rekanita PAC IPNU-IPPNU Kecamatan Mayong, Jepara, di Gedung MWC NU Kecamatan Mayong, Jepara, Sabtu Pon (13 April 2019).