Gerakan dakwah Nahdlatul Ulama yang ditafsir keliru. |
DALAM sebuah grup WhatsApp Adhoc Pilpres 2019, saya cukup merasa terganggu dengan salah satu anggota di dalamnya, yang hampir dalam setiap statusnya selalu tertarik menggiring beberapa opini berikut,
- NU itu gerakannya tertinggal jauh dari sebelah.
- NU hanya dominan bergerak di al-muhafadhoh (kultural) daripada al akhdzu (tajdid).
- NU hanya asyik bergumul dalam pertarungan beda paham dan ideologi saja.
Narasinya, giringan itu selalu mengarah kepada proyeksi opini miring di bawah ini:
- NU tidak mau kreatif.
- NU tidak mengambil peran lebih membumi dalam gerakan al-akhdzu nya.
- NU beda dengan mereka yang tidak membincang beda paham tapi lebih optimal mengembangkan kreativitas dakwah.
Perlu kiranya kita harus memahami bahwa NU itu hidup tidak hanya mengikuti aliran zaman tapi ikut berperan menentukan peradaban zaman. Makanya, sejak dari awal berdiri tahun 1926, NU tidak memiliki ambisi mengembangkan cara dakwah ala wahabi yang imperialis.
Inilah sifat-sifat gerakan NU yang perlu Anda pahami agar mengetahui hakikat makhluk bernama NU tersebut.
1. NU Ketinggalan Zaman?
Ada sementara orang yang membandingkan ketertinggalan NU dari Muhammadiyah hanya dari kuantitas kepemilikan rumah sakit. Dia tidak membandingkan kuantitas pesantren, SMK, PT. serta sertifikat kepemilikan masjid dalam setidaknya 3 tahun terakhir.
Menyebut ketertinggalan NU hanya dari jumlah kuantitas rumah sakit ya lucu. Justru cara berpikir begitulah yang menurut saya ketinggalan update. Satndarnya apa sebuah kemajuan diukur dari kuantitas tanpa pengembangan inovasi, sumberdaya serta kualitasnya?
Cara berpikir kuantitas menurut saya adalah cara berpikir yang terjebak dalam pola material, cara berpikir yang selalu berorientasi kebendaan itu. Padahal cara berpikir ideologis ala NU, -sejak berdiri hingga sekarang- sifatnya immaterial (tidak berorientasi pada kebendaan). Lihatlah, apa yang selalu dijaga NU dalam hal amaliyah? Semuanya bersifat immateri, seperti kirim doa, ziarah kubur, haul, maulidan, ta'dhim ulama, dll.
Baca: 7 Sifat Pemilik Harta yang Dibenci Rasulullah Saw
Mereka yang dianggap lebih kaya karena dikelilingi benda-benda, jelas tidak bisa dibandingkan dengan NU yang sejak awal tidak tertarik melakukan giat imperialisasi dakwah. NU itu gerakannya bermula bukan karena orientasi kebendaan, tapi keikhlasan berkidmah, merawat tradisi dan hubbul wathan minal iman.
Makanya, NU tidak pernah bisa dan memang tidak seharunya menjadikan banyaknya pesantren, misalnya, yang sudah ada ratusan tahun silam, sebagai bagian dari holding company milik Nahdlatul Ulama' (NU).
Sejak awal, NU itu tidak menumpuk properti pesantren atas nama NU. Ya karena memang sudah sejak lama. NU hanya wadah. Bukan perusahaan yang harus terus menerus meningkatkan properti perusahaannya sehingga seolah memiliki nilai kapital yang bisa dijual oleh bosnya, kapanpun dan semau dia kapan menjual. Tidak.
Inilah yang harus dijaga agar Islam ahslussunnah yang sudah berkembang lama, subur dan terus hidup di Nusantara senantiasa bermanfaat untuk umat Islam yang memiliki akidah dan amaliyah yang sama dengan salafus-shalih, seperti saya tulis juga dalam: Persyaratan Menjadi Kiai yang Baik dan Benar.
Inilah pula beban yang tidak dimiliki oleh ormas lain selain Nahdlatul Ulama, dimana mereka memiliki ruang manajemen kerja yang mirip dengan holding company. Inilah tugas berat NU, yang kemudian disebut dengan muhafadhah (menjaga yang ada agar terus ada).
Karena kelompok yang datang belakangan tidak memiliki beban menjaga sejarah dan tradisi masa lalu, ya wajar saja mereka tidak mengambil peran dominan sebagai penjaga tradisi. Bahkan kalau perlu tradisi harus dihabiskan karena memang dianggap tidak berguna secara matematika rasio dan matematika kebendaan.
2. Muhafadhoh adalah kewajiban NU
Muhafadhah kemudian menjadi tugas wajib dan berat yang terus dipikul oleh Nahdlatul Ulama sejak berdiri. Cuma, karena tugas muhafadhah ini adalah berat, wajar jika dianggap tradisional. Bukankah tradisional adalah lawan dari modernisme dalam wacana peradaban Barat?Sifat tradisionalisme inilah yang membuat gerakan NU, seperti kata Mbah KH. Fauzan Jepara, laiknya selender, merayap, tapi terus jalan. Syiir Jawa Mbah Fauzan yang saya hafal itu berbunyi demikian,
Mlakune NU koyo selender # Sajak ngerayap sing penting nglenyer
Nduwe dalan dewe gak perlu nabrak # Sing sopo nabrak meroi klenger
Jalannya NU seperti selender # Meski merayap terus menatap
Punya jalan khusus tak perlu tabrak # Siapa menabrak dia pasti rusak (pingsan)
Ya Rasullaah salamun alaik # Ya Rafi'as sani wad daroji
Atfatayayaji rodal alami # Ya uhailal judi wal karomi
Cuma, karena jalan dakwah muhafadhoh NU laiknya selender, dia lamban, diangap kurang progresif dan cenderung kurang menerima hal-hal baru terkait dengan perkembangan zaman. Inilah yang kemudian memunculkan kritik dari beberapa orang, sebagaimana pula saya sempat bantah dengan klarifikasi dan deskripsi tentang hikmah gerakan NU yang disebut Kiai Fauzan seperti selender terseburt.
Hanya karena munculnya seorang ustadz baru yang mengadakan acara di hotel, dimana yang hadir diwajibkan bayar hingga Rp. 200.000, NU seolah menjadi objek yang tersalahkan, dianggapnya NU terlalu nyaman dengan tugas wajib muhafadzhoh tanpa melangkah kepada al-akhdzu bil jadidil ashlah.
Ada anggapan yang kemudian menyebut sang ustadz sebagai ustadz elit hanya karena harga ceramahnya yang mahal. Tapi apa urusannya dengan NU? Apakah mereka muncul karena menentang NU?
Ini yang perlu diurai, bahwa tidak semua urusan dakwah hanya milik NU. NU itu urusannya bukan cuma menciptakan ustadz-ustadz anyaran di ruang publik urban. Terlalu kecil buat NU. Meski NU punya garapan begini, ada lembaga NU yang khusus mengurus dakwah, yakni Lembaga Dakwah NU (LDNU).
Di NU, untuk memunculkan seorang ustadz agar mau tampil di medsos atau ruang lain di luar ruang publik yang selama ini dijaga, harus melewati beberapa tahapan adab, misalnya:
- Restu. Untuk menjadi figur kiai di medsos, santri NU harus mendapatkan restu dari guru yang paling dihormatinya. Adab inilah yang tidak dimiliki oleh ustadz-ustadz anyaran itu.
- Tawadlu'. Banyak para santri NU yang tidak mau tampil ke publik karena merasa ilmunya kurang mampu. Berbeda dengan ustadz lain, yang hanya kenal sepotong ayat langsung bisa jualan di hotel.
- Ta'dhim. Bila ada yang lebih senior, tradisi di NU menyilakan kepada mereka yang lebih senior (umur, ilmu dan pengalaman) agar tampil dahulu sebelum dia.
Adab-adab inilah yang terus dan wajib dijaga dalam gerakan muhafadzhoh ala Nahdlatil Ulama', yang sekaligus sebagai cara sejak kecil, cara sejak dini melestarikan adab, hal yang selama ini makin digerus oleh mereka yang lebih suka menggunakan cara-cara kasar, ujaran kebencian dan ujaran tuduhan dalam dakwah.
Karena itulah, NU terkesan lamban. Tapi bukan berarti tidak berkembang. Di ranah medsos, saya cukup sangat berterimakasih kepada Komunitas Admin Instagram Santri (AIS) Nusantara yang sejak setahun terakhir sudah merambah dakwah digital melalui grafis, audio dan video, dengan memunculkan santri-santri baru yang memang sudah mendapatkan restu dari mertuanya yang kiai, gurunya yang kiai dan lainnya, untuk mengambil peran mereka di luar pondok pesantren dan menggarap pesantren virtual di dunia maya.
Kalau cara mendekonstruksi muhafadhoh NU dengan cara-cara di luar adab, misalnya,
- Buang dulu tradisi, yang penting profit.
- Buat saja lembaga donasi, urusan distrubusi donasi infaq, kita pakai cara-cara mereka yang 80 persen untuk mereka, 20 persen untuk keperluan yang tidak jelas. (Tentang ini, baca: Filantropi Rombongan Celana Tinggi (RCT) Wahabi di Indonesia).
Cara berpikir begitu, meskipun tujuannya untuk kritik uhafadhoh ala NU, jelas akan menabrak jalan yang selama ini dijaga NU agar terus ada untuk peradaban yang mashalat, bukan peradaban yang hanya berorientasi kapital meskipun bentuknya dakwah Islam.
Ingat, dalam muhafadhoh NU, sesuatu yang baik belum tentu sesuai bila niatnya tidak ditata dengan manajemen yang baik menjaga ikhlash dan niat. Inilah maksud dari "nduwe dalan dewe" dalam syiir Mbah Fauzan tersebut, agar tidak berakibat buruk seperti saya ulas dalam: Ukhuwah Somadiyah yang Dieksekusi Minhum.
3. Tanpa ideologi, NU bukan gerakan
Menyalahkan gerakan NU seolah-olah NU hanya bergumul dalam ideologi atau perbedaan paham juga harus dikritisi ulang. Mengapa? Tanpa ideologi, NU tidak akan jadi gerakan. Munculnya NU juga dipicu ulah para pembuat idelogi baru yang disebut wahabi. Jadi, sejak berdiri, NU sangat berurusan dengan ideologi.
NU kok dianggap salah berurusan dengan ideologi, ya saya salahkan yang berpendapat begitu. Apalagi dia mengatakan, tidak terurusnya warga NU akibat NU terlalu sibuk mempertentangan ideologi di luar yang diperjuangkan oleh para aktivis dan kiai NU.
Baca: Kegelisahan KH Hasyim Asy'ari Sebelum Mendirikan Nahdlatoel Oelama (NO)
Mereka yang di luar NU yang selama ini seolah-olah berjuang untuk Islam itu pada hakikatnya adalah muslimin yang tidak memiliki ideologi yang jelas. Makanya, gerakan mereka itu abu-abu. Diseret ke ideologi khilafah juga mau, ke ideologi NKRI bersyariah juga mau, dan ke ideologi lain juga, hanya karena mengatasnamakan kebaikan bersama.
Buktinya, ada yang berpaham amaliyah aswaja, tapi mendukung gerakan politik khilafah. Inilah akibat dari cara berpikir tanpa ideologi yang jelas dan struktur yang jelas. NU kok diminta ikut dalam gerakan mereka, ya jelas tidak akan mau. Mengapa? Dalam NU, gerakannya bukan saja amaliyah, tapi juga harakah berbasis kebangsaan (wathaniyah) dan kemanusiaan (basyariyah).
Ideologi inilah yang jarang dimiliki oleh mereka yang datang belakangan. Dalam sebuah gerakan, harus ada peta jelas, mana target dan visi misi. Bila tidak, sebuah perkumpulan akan mudah dimanfaatkan.
Tentang idelogi NU ini, saya ulas lain waktu saja nggih. Pegel menulis. Saya dua kali jeda menulis Esai Meluruskan 3 Cara Berpikir yang Keliru tentang Dakwah Gerakan NU ini. Hehe. [badriologi.com]