Oleh M Abdullah Badri
AKHIR Mei 2019, saya kebetulan perjalanan ke ndalem Gus Muwafiq di Jombor, Yogyakarta. Di jalan saat berhenti sahur, rombongan kami berhenti shalat Subuh di sebuah masjid yang saya ketahui ternyata satu kompleks dengan perumahan.
Saya tidak perlu sebutkan alamat masjid tersebut dimana dan namanya apa. Yang pasti, ketika Subuh, saya terpaksa tidak melafalkan qunut karena sang imam tidak mengangkat tangan untuk membaca qunut Subuh.
Baca: Imam Tidak Qunut, Makmum Minta Waktu Membaca Qunut
Kebetulan di antara penghuni perumahan itu ada istri kiai yang saya kenal dan berbincang sebentar di rumahnya. Dia tidak memiliki pesantren, tapi 20an santri di rumahnya, semuanya laki-laki, ikut ngaji kepada kiai yang merupakan suaminya.
Dia menyatakan, masjid tersebut sepenuhnya dikelola oleh warga perumahan yang menganut paham Islam modern ala Muhammadiyah. Sehingga ketika tarawih, jamaah kompleknya tidak pernah sampai 23 rakaat. Qunut juga tidak pernah.
Karena itulah, selama 15 tahun terakhir sejak tinggal di perumahan tersebut, santri-santrinya jarang sekali yang ikut berjama'ah di sana dengan alasan ada yang kurang mantep bila harus shalat jamaah Subuh tanpa Qunut dan Tarawih hanya 8 rakaat.
Baru dua tahun terakhir ini saja (2017-2018), perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. digelar atas inisiasi pengelola masjid komplek perumahan yang berada di batas antara Yogyakarta dan Jawa Tengah tersebut. Ceritanya unik.
Kiai setempat, meski sangat dihormati, dia tidak pernah melakukan gerakan resistensi atas praktik ubudiyah warga komplek perumahan. Masing-masing dibiarkan hidup berdampingan asal tidak saling menganggu.
Bersama puluhan santri, sang kiai yang juga acap dakwah dan ceramah ke beberapa kota sekitarnya itu sering mengadakan kumpulan dan makan-makan bersama. Kadang menyembelih kambing atau ayam puluhan ekor, dengan tetap mengundang tetangga hanya untuk makan-makan saja. Hanya makan bersama, tanpa pendahuluan tahlilan, wiridan, ratiban, maulid Nabi maupun lainnya.
Baca: Pak Harto dan Mitos Ayam Cemani Hingga Harga Melambung Tinggi
Hal itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Kadang sampai empat kali. Tentu saja para tetangga merasa nyaman diberi hidangan enak setiap saat sang kiai bersama puluhan santrinya sedang mayoran makan.
Masjid yang jaraknya hanya 10an meter dari rumah sang kiai saja tidak pernah se-intens itu ketika ada kegiatan. Itu kiai malah hampir setiap bulan. Begitu gumam mereka. Artinya, antara pengurus masjid dan kiai anggaplah lebih berduit sang kiai daripada pengurus masjidnya, dan lebih makmur sang kiai daripada masjid sebelahnya.
Beberapa pengurus masjid akhirnya datang sowan ke ndalem sang kiai dan memohon agar acara makan-makan yang sering diadakan di rumahnya dipindah saja ke masjid agar lebih syiar. Kiai sangat setuju dengan usulan pengurus masjid tersebut, tapi acaranya Maulid Nabi.
Tanpa dinyana, jawaban kiai diiyakan oleh para pengurus masjid, yang kebetulan salah satu di antaranya ada yang bertradisi Nahdlatul Ulama' (NU). Pengurus masjid yang NU inilah yang melakukan "lobi" ke beberapa pengurus lainnya agar usulan sang kiai diterima.
Baca: Memilih Sunnah Daripada "Bid'ah" Tradisi Islam Nusantara
Masjid itu kemudian secara resmi menggelar maulid Nabi pada tahun 2017 untuk pertama kalinya, dengan sokongan dana penuh dari sang kiai, yang juga menyembelih puluhan ekor kambing untuk mayoran warga sekitar.
Tahun 2019 ini, maulid Nabi di masjid tersebut rencananya akan digelar lebih besar dan lebih semarak agar anak-anak warga setempat berbahagia mendapatkan berkah daging kambing dari acara penghormatan dan perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. tiap bulan Rabi'ul Awwal.
Mendengar cerita itu dari bu nyai tersebut, saya ikut berbahagia dan hanya bisa mendoakan agar tahun-tahun berikutnya warga sekitar ikut serta menjadi anggota aktif tiap acara maulid Nabi.
Dan, saya terus meluncur ke ndalem Gus Muwafiq di Jombor, Yogyakarta hingga pulang jelang lebaran 1440 H. [badriologi.com]