Oleh M Abdullah Badri
SAAT membahas makna tahlil dan dalinya, sebagaimana tema Majelis Ngopi Morongpuluhan GP. Ansor Ngabul, seorang anggota Ansor bertanya, "mengapa tahlilan kok dituduh bid'ah, padahal tadi sudah diterangkan urgensi tahlilan dalam tradisi Islam Nusantara selama berabad-abad"?
Jawab:
Pangkal masalah dituduhkannya sebutan bid'ah terhadap amaliyah ahlusunnah wal jama'ah seperti tahlilan dan lainnya itu ada pada ketidakdetailan kelompok yang memahami hadits Nabi Muhammad Saw. tentang bid'ah. Hadits masyhur tersebut adalah:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه، فهو ردٌّ
Artinya:
"Barangsiapa yang membuat hal baru dalam perkara kami ini (agama), yang tidak ada asalnya, maka ia tertolak". (Link)
dan sebuah hadits lagi,
كل بدعه ضلالة ، وكل ضلالة في النار
Artinya:
"Setiap yang bid'ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di neraka". (Link)
Hadits Bid'ah Tertolak
Tentang hadits yang pertama di atas, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. jelas menggunakan kalimat منه yang artinya, tiap amalan baru yang tidak ada dasarnya dari Rasulullah Saw. akan tertolak. Pertanyaannya, apakah amalan seperti tahlilan, maulidan, haul dan lainnya tidak memiliki dasar dari Nabi? Mari baca lagi.
Baca: Peringatan Kiai Turaichan Kepada yang Merasa Mewakili Ulama
Meski praktik tahlilan mereka anggap sebagai amalan baru dan kemudian dituduh bid'ah, apakah praktik membaca La Ilaha IllaAllah tidak pernah diperintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk diperbanyak? Apakah memperbanyak membaca kalimat tauhid bukan perintah dasar dari Kanjeng Nabi?
Mereka yang selalu menuduh bid'ah ini selalu mendasarkan pada Surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu". (QS. Al-Ma'idah: 3).
Tafsir ayat tersebut dipahami secara keliru dengan menyebut bahwa kesempurnaan Islam adalah saklek an sich dan seolah apa adanya dari Rasulullah Saw. Mereka tidak memahami bahwa kesempurnaan Islam itu sebagai pondasi dasar atau contoh dasar dari Rasulullah Saw.
Akibatnya, apapun yang tidak pernah dilakukan di masa Kanjeng Nabi masih ada, disebut bid'ah dan sesat. Innalillah wa inna ilahi raji'un.
Gara-gara tafsir keliru tersebut ia menyebut amaliyah aswaja semacam tahlilan, maulid dan sebagainya, sebagai bagian dari bid'ah sesat karena tidak pernah ada di zaman Nabi Muhammad Saw. masih hidup. Padahal, nilai dasar amaliyah tersebut pernah diperintahkan oleh Nabi.
Mereka yang selalu mengutip hadits bid'ah tidak cerdas membedakan mana ibadah mahdlah (murni) dan mana ibadah ghairu mahdhah (tidak murni), mana ushul (pokok ibadah) dan mana furu' (cabang praktik ibadah). Semua digebyah-uyah sebagai ibadah mahdhah dan ushul.
Padahal, kalau mereka mau belajar Ushulul Fiqih, praktik kedua jenis ibadah tersebut jelas sangat berbeda. Ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya, sifatnya ta'abbudi (تعبدي/doktrinal), tidak bisa diubah-ubah (Jawa: pathok bankrong) sementara yang ghairu mahdhah, sifatnya ijtihadi (إجتهادي/hasil ijtihad ulama'), yang sangat banyak variasi pendapatnya.
Baca: 10 Arti yang Terkandung dalam Hadits "Shalat Sebagai Tiang Agama Islam"
Saking banyaknya, Imam Ghazali sampai berpendapat bahwa kebanyakan ibadah furu'iyah dalam fiqih itu hasil ijtihad para ulama. Sebagai ibadah mahdhah dan ushul, shalat itu wajib. Siapapun umat Islam yang menentangnya, atau menyebut shalat itu haram, dia murtad. Semua ulama madzhab manapun sepakat akan hal ini.
Tapi praktik tasyahhud dalam shalat, takbiratul ihram, campuran bacaannya, is'tidalnya, cara sujudnya, banyak sekali perbedaan pendapat ulama di sini. Artinya, untuk perkara fiqih (furu'iyah ibadah), sangat terbuka sekali pendapat para ulama, dan karenanya tidak layak menyebutnya sebagai bid'ah ketika perbedaan itu memiliki dalil dasar masing-masing dari Rasulullah Saw.
Bid'ah dhalalah itu contohnya ketika ada orang mendirikan shalat Subuh (ibadah mahdhah) hingga 4 rakaat meski alasan melakukan hal itu atas nama sedang semangat beribadah usai bangun tidur. Disebut dhalalah karena jumlah rakaat shalat Subuh adalah perkara ushul yang pathok bankrong, alias tidak boleh diubah dari aturan doktrinal 2 rakaat, ditambah maupun dikurangi.
Tahlilan, karena di dalamnya ada amaliyah ibadah ghairu mahdhah dan furu'iyah, ia tidak bisa disebut bid'ah dhalalah. Karena itulah, di kalangan umat Islam (utamanya Nahdliyyin), tidak ada ungkapan saling menuduh salah hanya karena urutan bacaan tahlilan ada yang berbeda antar satu kampung dengan lainnya, antar satu imam tahlil dengan imam tahlil lainnya.
Makna Kullu dalam Hadits Bid'ah
Selain tidak cermat membedakan mana ibadah mahdhah/ghairu mahdah, ibadah ushul/furu', kelompok yang biasa membid'ahkan amaliyah aswaja seperti tahlilan itu juga tidak cermat memahami makna "kulu" (كل/semua) dalam hadits كل بدعه ضلالة.
Semua bid'ah, menurut mereka adalah sesat. Padahal, dalam Ilmu Nahwu, makna kata "kullu" ada yang menyeluruh, dan ada pula yang menyeluruh dengan pengecualian, disebut 'aam mahkshus (عام مخصوص/menyeluruh dengan pengecualian). Tidak semua kata "kullu" bermakna keseluruhan.
Contohnya adalah Al-Qur'an Surat Al-Anbiya' ayat 30, yang berbunyi:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya:
"Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al-Anbiya': 30).
Baca: Sayyidina Ali Dicegat Kakek Nasrani Saat Jamaah Subuh (Ngaji Ushfuriyah Bagian 5)
Kata "kullu" dalam ayat di atas tidak bisa dimaknai "segala sesuatu yang hidup Kami jadikan dari air" karena ada mahkhluk lain, yang hidup, yang sudah diciptakan oleh Allah dan terbuat dari selain air, yakni Iblis (dibuat dari api) dan Mala'ikat (dibuat Allah dari cahaya).
Berbeda dengan Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 185, yang berbunyi:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya:
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati". (QS. Ali Imran: 185).
Makna kata "kullu" dalam ayat di atas jelas menunjukkan, bahwa selain Allah Al-Khaliq, pasti akan merasakan kematian, tanpa terkecuali.
Jadi, tidak semua bid'ah bisa disebut menyeluruh sesat seutuhnya. Karena sejak dari penggunaan kalimatnya dari Nabi Muhammad Saw., ada kata "kullu" yang bisa dimaknai sebagai menyeluruh dengan pengecualian (عام مخصوص). Kok bisa begitu, bacalah hadits shahih berikut ini:
من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أوزارهم شيئا
Artinya:
"Barangsiapa yang membuat laku dalam Islam dengan laku (sunnah) yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala darinya serta dari orang yang mengamalkannya sesudahnya, tidak dikurangi sama sekali pahalanya. Dan barangsiapa yang mengajarkan dalam Islam laku keburukan, maka dia memperoleh dosa darinya serta dosa dari orang-orang yang mengikuti ajarannya dan tidak dikurangi sama sekali dosanya". (HR. Bukhari-Muslim).
Jelas bukan, redaksi hadits di atas menyebut dua kali kata "sunnah", yang satu sunnah hasanah, yang satunya lagi sunnah sayyi'ah. Artinya, dalam seluruh inovasi ibadah ghairu mahdhah dan furu', selama ada dasar contohnya dari Nabi Muhammad Saw (منه), tidak bisa langsung disebut bid'ah dhalalah.
Tahlilan, karena baik, bukannya bid'ah, justru sunnah mengamalkannya jika diniatkan ikhlash untuk memperharui iman kita kepada Allah Swt. dengan memperbanyak ucapan La Ilaha IllaAllah, setiap saat. Baca selengkapnya: Tahlilan dan Hakikat Makna La Ilaha IllaAllah. [badriologi.com]
Keterangan:
Uraian di atas adalah sebagian transkip rekaman keterangan penulis saat Ngaji Morongpuluhan GP. Ansor Ranting Desa Ngabul bertema "Makna Tahlil dan Dalilnya", yang terselenggara di Rumah Sahabat Muhammad Junaidi, Dukuh Jokosari, Rt. 04/04, Ngabul, Tahunan, Jepara, Kamis malam Jumat (20 Juni 2019). Dihadiri 34 anggota Ansor-Banser Ngabul dan 4 orang anggota PAC IPNU Kecamatan Mayong, Jepara.