Oleh M Abdullah Badri
JEJAK perjuangan Walisongo di Jepara masih bisa Anda rasakan di Desa Sukodono, Tehunan, Jepara. Hingga hari ini, Anda masih mudah menjumpai orang-orang berkumpul pada tiap hari kedua lebaran (2 Saywwal) untuk tabiran bersama di balaidesa setempat.
Dalam tiap lebaran, mereka mengucapkan kalimat takbiran dalam bahasa Arab, yang lazimnya diucapkan dengan fasih seperti di bawah ini,
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
Laa Ilaha IllahAllah HuwaAllahu Akbar
Allahu akbar waliAllhil hamd.
Tapi, di Desa Sukodono, kalimat itu tidak fasih diucapkan, sehingga berbunyi seperti di bawah ini.
Alaahu agebar, Alaahu agebar, Alaahu agebar,
Laa ilaha ilo La. Hu Alaahu agebar.
Alaahu agebar. Uu lilo lel kam.
Setelah saya telusuri, tradisi ini ternyata berlaku sampai sekarang karena sudah diformalisasi sebagai bagian dari adat warga setempat.
Baca: [Karomah] Mbah Mangli yang Mengetahui Kapan Seorang Kuli Jadi Kiai
Beberapa kalangan sepuh desa tidak akan mau menerima tamu yang datang untuk Halal Bihalal bila belum lebaran ala adat takbiran lisan Jawa kuno yang baru mengenal agama Islam seperti dalam sejarah pejuangan awal Walisongo.
Agama Islam Kodono
Mau diapain juga, mereka ini adalah bagian dari umat Islam. Buktinya sederhana. Kalimat yang diucapkan itu jelas takbiran, meski pelo atau tidak fasih. Dan buktinya lagi, mereka juga menyebutnya takbiran adat, dilaksanakan pada hari kedua Syawwal.
Bila ada yang menyebutkan bukan Islam, karena nada takbirannya dianggap main-main, jelas mereka ini anti adat dan tidak paham sejarah perjuangan Walisongo di masa awal. Bila disebut bagian dari adat Islam Kejawen Sukodono, warga setempat masih menerimanya. Takbiran adat di Sukodono ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Saking masih kentalnya adat dan tradisi di Sukodono, NU baru bisa berdiri di desa tersebut pada tahun 2008 dengan ketua ranting pertamanya Kiai Lukman. Sulitnya NU berdiri karena banyak warga sekitar yang phobia dengan santri. NU dianggap oleh generasi sepuh di Desa Sukodono sebagai basis santri yang menurut mereka berkesan jahat dan sering menyalahkan mereka hanya dengan alasan surga dan neraka.
Tahun 1965, Sukodono memang pernah menjadi pusat para korban PKI di Jepara. Ini dituturkan oleh Ulul Albab, sekretaris PCNU Jepara sekarang. Akibat trauma PKI, wajar bila citra santri dan NU dulu, di Sukodono, dianggap agak sangar dan suka kekerasan. NU jadi sulit berkembang karena anggapan kurang tepat ini.
Begitu pula basis kelompok antar agama dan antar ideologi agama di Desa Sukodono. Meski ada komunitas Hindu, Katolik, Wahabi, mereka juga sulit berkembang di sana meski tidak menimbulkan gesekan dan ketegangan berarti hanya karena perbedaan paham. Dari sinilah Sukodono bisa disebut sebagai miniatur masyarakat Bhinneka.
Baca: Mengapa Lirik Lagu Syubbanul Wathon Diterjemahkan “Afganistan Bilady”?
Ada sekolah berbasis ideologi ekstrim yang berdiri. Tapi, lagi-lagi, para peserta didiknya ternyata diambil dari luar desa atau bahkan luar daerah. Beberapa kalangan kuatir atas keberadaan yayasan wahabi di Sukodono karena sifatnya yang sejak dulu memang anti adat dan kultur.
"Agama Kodono" akan jadi sasaran para ekstrimis wahabi bila berhasil berkembang. Para sesepuh desa yang jumlahnya kian sedikit yang memegang adat Sukodono, mulai was-was bila terjadi gesekan karena sifat dakwah mereka yang frontal dan jelas tidak gradual seperti NU.
Diakui oleh warga setempat, beberapa sesepuh adat desa masih ada yang melakukan "puasa kendang", yakni berpuasa hanya di hari awal dan akhir Bulan Ramadhan. Disebut "puasa kendang" karena tenghanya bolong, seperti kendang. Inilah salah satu praktik "Agama Kodono".
Tapi mereka ini, saat awal puasa atau jelang H-1 lebaran, paling taat ziarah kepada orangtua dan leluhur. Anda bisa saksikan, ketika puasa menjelang, para penjual bunga kanthil dan kenanga di sepanjang jalan desa Sukodono yang berdekatan dengan makam umum, sangat puas mendulang untung.
Berapapun harga bunga untuk tradisi nyadran itu, warga Sukodono akan membelinya tanpa menawar. Kalau tawar-menawar bunga terjadi, itu sama saja dianggap tidak berbakti kepada orangtua dan tidak sopan.
"Setahun sekali beli bunga untuk nyadran demi orang tua kok nawar, itu terlalu," begitu anggapan mereka.
Baca: Salah Kaprah Memaknai Bid'ah dalam Hadits Kullu Bid'atin Dhalalah
Artinya, "Agama Sukodono" lebih menekankan akhlak meski syariatnya dianggap jelas berada di luar ring aturan baku madzhab fiqih Syafi'iyah sebagian.
Inilah yang dilindungi (untuk kemudian diperbaiki secara gradual) dalam misi utama dakwah ala Islam Nusantara. Tidak bisa dimaknai mereka berlindung dibalik istilah Islam Nusantara, sebagaimana dipropagandakan oleh kalangan yang tidak paham istilah Islam Nusantara.
Takbiran ala adat di Desa Sukodono itu mengingatkan kisah Saridin saat diajak mengikuti takbir oleh Sunan Kudus "Allahu Akbar...Allahu Akbar" tapi dibalas Saridin dengan "Lowo bubar....Lowo bubar". Antara Allah dan Lowo (kelelawar) sangat jauh maknanya karena memang tidak tahu artinya sesungguhnya apa.
Karena itulah, Rais Syuriah MWC NU Kecamatan Tahunan, KH. Ali Masykur dalam sambutan acara pelantikan Banom NU se-Ranting Sukodono pada Jumat siang (18/06/2019) kemarin menyebut Desa Sukodono sebagai desa yang paling kokoh melestarikan adat istiadat masyarakat setempat, dan NU tidak pernah menolaknya secara frontal, seperti para Walisongo itu. [badriologi.com]
Keterangan:
Artikel ini penulis susun berdasarkan keterangan langsung dari beberapa warga Sukodono yang penulis temui, sepanjang 18-20 Juni 2019.