Suasana Majelis Ngopi Morongpuluhan PR. GP. Ansor Desa Ngabul, Tahunan, Jepara, Jawa Tengah, Senin malam (5 Agustus 2019). Foto: dokumen pribadi. |
Oleh M Abdullah Badri
DENGAN alasan hijrah, pakaian dijadikan alasan untuk jadi identitas awal. Yang biasanya pakai jeans, tiba-tiba berganti celana ngatung di atas kaki. Alasannya sederhana, takut masuk neraka. Benarkah jenis pakaian bisa menyebabkan umat Islam masuk neraka? Sebegitunyakah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya makna sunnah harus diluruskan secara cerdas dan jernih sesuai pemahaman salafus shalih. Sunnah dalam pengertian ulama' hadits, ulama ushul fiqih dan ulama fiqih itu berbeda tempat dan konsekuensinya. Dalam ilmu hadits sanad, sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya.
Menurut ulama' ushul fiqih, sunnah adalah sumber ketetapan hukum yang datang dari Rasulullah Saw. Hanya yang memiliki konsekuensi hukum saja hukum yang terbilang sunnah. Lain itu diserahkan kepada mekanisme budaya, kultur, politik dan peradadan dimana umat Islam hidup dalam setiap zaman.
Di tangan ulama' fiqih, sunnah sudah memiliki pengertiannya sendiri. Fiqih kadang mengganti kata sunnah dengan kalimat lain yang memiliki makna sama, yakni mandzub, mustahab, tha'at, dan lainnya. Sunnah dalam fiqih tidak bisa dilawankan dengan bid'ah, karena sunnah, dalam pengertian ulama' fiqih adalah segala sesuatu yang bila dilakukan akan diganjar pahala, dan bila tidak dilakukan, tidak ada konsekuensi hukum taklif dan apalagi disiksa.
Baca: Mengapa Gus Muwafiq Tidak Suka Berjubah dan Udeng-udeng?
Sunnah dalam pengertian kitab-kitab ulama' fiqih masuk dalam salah satu varian konsekusensi putusan hukum syariat Islam selain hukum wajib, mubah, haram, halal, batal, sah, dan lainnya. Wudlu' misalnya, untuk orang yang akan melaksanakan shalat wajib, hukumnya adalah wajib, karena dalam fiqih, wudlu' adalah syarat sahnya shalat. Mushalli (orang shalat) yang tidak berwudlu', hukumnya bukan bid'ah, tapi haram.
Wudlu' bisa menjadi sunnah, alias tidak lagi wajib bila kita laksanakan dalam rangka memulai kegiatan belajar. Wudlu' juga sunnah bila kita melanggengkannya setiap saat, agar terus berwudlu', agar suci secara bathiniyah. Orang yang biasa wudlu' setiap hari (dawamul wudlu'), dia diganjar pahala. Tapi ketika dia berhenti wudlu', tidak bisa dianggap melakukan perbuatan bid'ah.
Bagaimana dengan cara berpakaian? Apakah laki-laki yang sarungan nglembreh sampai ke bawah lutut dihukumi haram, bid'ah, atau sunnah? Kalau kita hanya memakai kacamata kuda bahwa kalau tidak sunnah ya bid'ah, maka, kita harus lebih banyak belajar lagi makna sunnah dalam yang telah dirumuskan oleh para muhaddits (ahli hadist), ushuliyyun (ahli ushul fiqih), dan fuqaha' (ahli fiqih). Mari kita bahas!
Pakaian yang Memuliakan
Dalam Kitab Ta'lim Muata'allim karya Syaikh Az-Zarnuji, ada keterangan tentang makna berpakaian. Baju yang kita kenakan sehari-hari bisa mengangkat derajat kita di mata publik. Tapi hakikat kemuliaan tidak ditentukan dalam kehormatan dan kewibaan pakaian, melainkan ilmu.
لبا سكم يكرمكم قبل الجلوس وعلمكم يكرمكم بعد الجلوس
Artinya:
"Pakaianmu (yang kamu kenakan) akan memuliakanmu sebelum kamu duduk, tapi ilmumu lah yang akan memuliakanmu setelah duduk". Demikian kata Syaikh Zarnuji.
Betapa banyak dari kita yang tergagum-kagum kepada orang yang berpakaian wibawa, misalnya berjubah ala Arab, tapi ternyata, dia adalah jelmaan Piccolo, yang memang menutup kepala, tapi ilmunya tidak mumpuni untuk berbicara. Ini artinya, pakaian seseorang telah menipu mata kita untuk hormat kepadanya. Pakaian, dengan demikian, bisa membuat orang mulia sebelum dia duduk dan berbicara dengan baik.
Contoh lagi. Penulis pernah bertemu artis ganteng dalam sebuah acara di Kudus. Pakaiannya rapi, khas cowok banget ala artis tulen. Tapi begitu dia bicara di atas mimbar dan dimintai pendapatnya, e ternyata gaya bicaranya seperti wanita, mulai suara hingga intonasi dan lambaiannya. Foto selfie penulis dengannya, terpaksa delete.
Dasi, jas, celana rapi juga kadang menutupi hakekat pemakainya, yang korup. Di mata publik, seorang pejabat sangat dihormati karena pakaiannya rapi. Tapi kita tidak tahu apakah dia seorang yang amanah atau tidak, hanya modal melihat pakaiannya. Pakaian memang bisa memuliakan penggunanya. Ini fakta tak terbantahkan secara sosial.
Kalimat Syaikh Zarnuji itu sebetulnya dimaksudkan agar kita sadar berpenampilan. Tapi juga harus sadar ilmu. Jangan hanya berpakain sok orang alim dengan surban dan jubah, tapi justru dengan pakaian itu, kita jatuh wibawanya di hadapan banyak orang akibat terlalu belepotan bicara agama dan suka salah menjelasan ihwal agama.
Berpakain Sunnah Tapi Takabbur
Berpakaian rapi bahkan mengikuti apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw. siapapun tidak akan mencela. Tapi bila hatinya tidak ditata terlebih dahulu, bukan tidak mungkin kita jatuh pada ancaman yang disebut Rasulullah Saw. sebagai شهرة/syuhrah (berpenampilan beda agar populer). Nabi Saw. bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
Artinya:
"Barangsiapa memakai pakaian syuhroh, Allah akan memakaikan kepadanya pakaian yang sama pada hari kiamat" (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Gambaran mudahnya makna syuhroh yang tidak disukai Rasulullah Saw. misalnya begini:
Ada seorang laki-laki dari Amerika sengaja datang dalam upacara bendera di istana negara yang ketika itu diwajibkan berpakaian merah putih. Agar viral dan menggema ke seluruh dunia, dia sengaja mengenakan pakaian yang berbeda, misalnya datang ke lapangan tempat upacara dilangsungkan dengan baju bendera Amerika sambil berteriak lagu kebangsaan Amerika pas lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan bersama. Karuan saja dia diseret pihak keamanan. Tapi dia merasa beruntung karena aksinya direkam oleh media internasional sehingga dia menjadi terkenal. Inilah salah satu bentuk syuhroh yang jelek.
Sifat syuhroh dalam berpakaian itu meresahkan masyarakat banyak karena konsekuensi sosialnya yang menarik perhatian masyarakat luas. Buruk maupun baik, syuhroh tetap diharamkan dan karena itu, dicegah oleh Rasulullah Saw. Buat apa berpakain gamis tapi tidak berilmu dan justru menimbulkan keresahan.
Baca: Rahasia Gus Baha' Tidak Mau Salaman dengan Seluruh Santri Damaran Kudus
Baca: Rahasia Gus Baha' Tidak Mau Salaman dengan Seluruh Santri Damaran Kudus
Fakta membuktikan banyaknya ustadz anyaran dari pesantren justru dicemooh karena sepulang ke kampungnya tiba-tiba dia berpenampilan beda dari masyarakat pada umumnya. Ada yang disebut gila dengan anggapan dia tidak kuat menerima banyaknya ilmu di pesantren, adapula yang dianggap keminter (sok pintar) atas capaian ilmu tingginya dari pesantren.
Dalam kasus ini, pakaian justru menjatuhkan martabat dan nama baik pemiliknya yang tidak berilmu karena menghasilkan kegaduhan dan perselisihan di masyarakat. Padahal, Al-Qur'an sangat mencegah terjadinya perkara yang memecah belah dengan alasan "bisa menjatuhkan kekuatan dan wibawa". Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
Artinya:
"...dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang ruhmu (kekuatanmu)...." (QS. Al-Anfal: 46). Hilang ruhmu atau baumu maksudnya adalah hilang kekuatan wibawamu di mata orang lain.
Apakah upaya menjauhkan masyarakat dari kegaduhan-kegaduhan yang berasal dari hal sepele tidak dianggap lebih berpahala dan lebih sunnah daripada berpenampilan beda tapi menggaduhkan? Bila begitu, bagaimana dengan perintah Allah Swt. yang membatasi kita agar tidak berlebihan dalam berpakaian. Simak ayat ini!
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A'raf: 31).
Menuduh orang-orang yang celananya tidak ngatung, tidak berjubah, tidak bergamis, sebagai bid'ah yang lawan dari sunnah (dalam disiplin ilmu hadits) dalah perkara yang berlebihan (مشددة/musyaddadah). Jenis pakaian itu perkara duniawi, dan diserahkan mekanisme modelnya sesuai adat asal masih menutupi aurat.
Suatu kali, Imam Ahmad bin Hanbal melihat laki-laki mengenakan pakaian bergaris-garis putih hitam, beliau berkata: "Tinggalkanlah ini dan ganti dengan pakaian warga daerahmu. Ini bukan karena haram, bukan. Seandainya kamu sedang berada di Makkah atau Madinah, maka aku tidak akan mempermasalahkan (karena pantas)". Ini menunjukkan bahwa pakaian itu urusan kepantasan kultur dan budaya. Bukan murni urusan agama.
Juli 2019 lalu, seorang kawan penulis ziarah ke beberapa makam auliya' di Alexandria, Mesir. Kemana-mana dia berpakaian sarung ala Indonesia. Ia heran. Di jalan-jalan yang ia lewati, di pasar-pasar yang dia kunjungi, selalu saja ada wanita yang menertawakannya. Selidik punya selidik, sarung bagi orang Alexandria ternyata bukan pakaian umum di sana. Sarung hanya dipakai oleh laki-laki usai berkumpul dengan istrinya. Ini artinya, pakaian adalah urusan budaya, meski sudah menutupi aurat.
Batasan Aurat dalam Fiqih
Syariat hanya membatasi kita agar berpakaian yang menutup aurat bila hadir di ruang publik. Fiqih telah ketat memberikan mekanismenya. Dalam madzhab Syafi'i, aurat wanita yang wajib ditutupi di hadapan publik dan lain jenis adalah telapak kaki dan kedua kaki (termasuk betis). Dalam Kitab Iqna', seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat bagi Imam Syafi'i. Batasan aurat ini tidak berlaku bila seorang wanita berhadapan dengan wanita lainnya.
Di hadapan sesama perempuan lain, misalnya di pondok pesantren saat sedang santai, aurat antar perempuan sama dengan batasan aurat laki-laki, yakni ma bainas surrah war rukbah (antara pusar hingga dengkul/lutut). Ini berbeda lagi batasan auratnya bila hendak mendirikan shalat. Seluruh tubuh wanita harus ditutupi ketika shalat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Keterangan ini bisa dibaca dalam fiqih dasar semisal Kitab Taqrib.
Baca: Islamnya Abu Bakar dan Ramalan Nasrani atas Kelahiran Nabi (Ngaji Ushfuriyah Bagian 9)
Baca: Islamnya Abu Bakar dan Ramalan Nasrani atas Kelahiran Nabi (Ngaji Ushfuriyah Bagian 9)
Menurut KH. Ali Mustafa Ya'kub, aturan pakaian syariat secara umum adalah yang tidak terbuka (tutup aurat), tidak transparan, tidak ketat, dan tidak menyerupai lawan jenis. Aturan-aturan fiqih semacama ini harus terlebih dahulu dikuasai bagi mereka yang ingin berpakaian sunnah dengan menuduh orang lain berpakaian tidak sunnah dan tidak berlebihan, kagetan, dalam beragama.
Dengan mengetahui batasan-batasan fiqih aurat, kita tidak akan mudah melemparkan kalimat bid'ah dan apalagi anti syariat Islam. Pakailah hukum fiqih dalam menyebut sunnah dan tidaknya orang berpakian. Bila ingin menilai cara orang lain berpakaian, pakailah standar aurat di atas. Bukan standar mata kuda, bid'ah-sunnah. Asal menutupi aurat dan syariat, apapun pakaian yang dikenakan, tetap sah dipakai, dan harusnya tetap mengikuti pakaian yang umum dipakai oleh masyarakat sekitar.
Muncul Sombong Karena Berpakain
Mudahnya kita menuduh orang lain yang isbal (celana melewati mata kaki) sebagai sombong barangkali karena kita tidak bisa membedakan definisi sunnah dalam ilmu hadits dan fiqih. Rancu jadinya. Hati kita akhirnya muncul merasa diri sebagai "hakim" dari orang lain, yang suka memvonis dengan cepat. Begitu melihat ada laki-laki lain yang isbal, langsung disebut khuyala' (sombong). Hadits Rasulullah Saw. pun digunakan sebagai alat berdalil,
لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً
Artinya:
"Pada Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong". (HR. Bukhari)
Dan hadits lain yang berbunyi,
بينما رجل يجر إزاره من الخيلاء خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة.
Artinya:
"Dulu ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah kemudian menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi". (HR. Bukhari).
Di Indonesia, unsur sombong orang berpakaian dengan bentuk isbal adalah ahistoris dan a-kosmologis. Artinya, orang Indonesia tidak merasakan unsur kesombongan (khuyala') bila melihat orang berpakaian di bawah lutut. Mereka sudah biasa melihat laki-laki bercelana isbal dimana-mana. Isbal bukan simbol kesombongan dalam kultur budaya Nusantara. Justru yang tampak khuyala' adalah mereka yang di tangannya terpasang perhiasan, akik, jam merk mahal, yang dipakai semuanya sekaligus dengan cara berjalan yang malangkerik (jumawa).
Di zaman Nabi Saw., isbal identik dengan khuyala' karena gaya berpakaian itu adalah simbol kejayaan, kemewahan dan kejayaan Raja Romawi (Kisra). Sisa-sisa khuyala' dalam isbal ini masih bisa dilihat saat ada perayaan pernikahane keluarga kerajaan Inggris dan lainnya, di belahan negara-negara Barat.
Unsur khuyala' inilah yang dicegah Rasulullah Saw. dari umatnya. Identitas sebagai umat Islam sangat dijaga Nabi Muhammad Saw. sebagai bentuk perlawanan dan peneguhan, sebagaimana dulu para ulama' Nahdlatul Ulama' (NU) dalam Muktamar ke-2 pada 9 Oktober 1927 di Surabaya pernah memutuskan haramnya berpakain dasi, celana panjang, topi dan sepatu (mengambil ibarat dari Kitab Bughyatul Musytarsyidin), hanya karena ingin meneguhkan jika bangsa Indonesia sangat tidak menyukai kolonial Belanda, yang disebut kafir, dan yang selalu berbusana pakai celana panjang, dasi, topi dan sepatu dalam acara-acara resminya.
Sebagaimana Rasulullah Saw., ulama' NU melarang pakaian khas penjajah karena alasan "jangan menyerupai orang kafir", alias tayabbuh.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka" (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar).
Dan hadits lain,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Artinya:
"Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami" (HR. Tirmidzi).
Yang dimaksud Rasulullah Saw. jangan menyerupai orang kafir di atas adalah Nasrani dan Yahudi. Tentu secara umum pula, dan memang dalam rangka ikut menyemarakkan kekafirannya. Dia ikut golongan menjadi kafir bila demikian. Bila tidak demikian, sebagaimana diputuskan oleh ulama NU saat itu, hukumnya makruh. Jadi, syarat haramnya tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) adalah niatnya. Larangan dalam Muktamar itupun sekarang tidak mutlak. Buktinya, banyak kiai dan ulama NU yang kini justru tampil rapi di media. Artinya, pakaian adalah politik kultural.
Baca: Memilih Sunnah Daripada "Bid'ah" Tradisi Islam Nusantara
Baca: Memilih Sunnah Daripada "Bid'ah" Tradisi Islam Nusantara
Bagaimana dengan isbal? Bila ada niatan sombong yang menyerupai laku orang kafir yang khuyala', ya dia terkena taklif ikut golongan kafir. Bila tidak begitu, ulama ahlussunnah wal jama'ah an-nahdliyyah tidak menyebutnya kafir. Pendapat ini sekaligus membantah kalangan salafi-wahabi yang memutlakkan keharaman isbal meski tidak bermaksud khuyala'.
Tafsir mereka terkait hadits yang menceritakan Sayyidina Abu Bakar menyeret izarah/izar (sarung) karena melorot terus bila tidak diikat, terbukti menyalahi pendapat ulama' mu'tamad dan mu'tabarah bermadzhab Sya'f'i seperti penulis Bughyatul Musytarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba'Alawi (1250-1320).
Pakaian Sunnah Bersanad
Pakaian sunnah yang benar-benar ada kaitan langsung dengan Rasulullah Saw. adalah yang bersanad dan tidak sembarang menggunakannya. Imamah misalnya. Pakaian kebesaran ulama' ahlussunnah wal jama'ah tersebut ada sanad cara pakainya hingga Rasulullah Saw. Orang yang memiliki sanad berpakaian imamah tidak akan memiliki gaya yang berbeda jauh dan enak serta wibawa bila dilihat.
Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan misalnya. Berkali-kali beliau mendapatkan sanad imamah dari beberapa ulama' dunia, antara lain: Sayyid Muhammad Al-Maliki Makkah, Habib Umar bin Hafidz Yaman, Syaikh Muhammad Fadhil Al-Jailani Yaman, dan Sayyid Abu Bakar Al-Masyhur Yaman, yang semuanya memiliki sanad ilmunya bersambung hingga Rasulullah Saw.
Salah satu model imamah ala Reza Basalamah. |
Lihatlah perbedaan imamad yang bersanad dan yang tidak. Siapa menyeruipai siapa juga terlihat jelas dalam foto di atas. Sumber foto: istimewa. |
Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan misalnya. Berkali-kali beliau mendapatkan sanad imamah dari beberapa ulama' dunia, antara lain: Sayyid Muhammad Al-Maliki Makkah, Habib Umar bin Hafidz Yaman, Syaikh Muhammad Fadhil Al-Jailani Yaman, dan Sayyid Abu Bakar Al-Masyhur Yaman, yang semuanya memiliki sanad ilmunya bersambung hingga Rasulullah Saw.
Lihatlah, imamah bersanad dari Rasulullah Saw. yang diterima Habib Luthfi bin Yahya sesuai dengan warna pakaian kesukaan beliau, yakni putih dan hijau. Meski Nabi Saw. menyukai putih dan hijau, Nabi Saw. tapi tidak melarang umatnya memakai warna hitam dan merah. Artinya, dalil kesukaan Rasulullah Saw. tidak bisa dijadikan langsung sebagai hujjah haramnya orang berpakaian di luar warna baju yang disukai Rasulullah Saw. Paham maksudnya kan?
Baca: Meluruskan 3 Cara Berpikir yang Keliru tentang Dakwah Gerakan NU
Hanya yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah Saw. itulah yang menurut penulis disebut sebagai pakaian sunnah. Lainnya, tergantung niatnya. Bila sengaja menyerupai orang lain, mengikuti cara hidup yang kafir, maka, antum lebih mengetahui statusnya. Bila karena sombong dan pamer, antum jelas tahu bagaimana hukumnya.
Model imamah antara Syaikh Syi'ah dan Syaikh Wahabi (kiri). Foto: istimewa. |
Keterangan:
Esai ini adalah transkip ocehan yang disampaikan penulis dalam acara Majelis Ngopi Morongpuluhan GP. Ansor Ranting Desa Ngabul, Tahunan, Jepara, dengan tema "Pakaian Sunnah dan Nyunnah" di rumah sahabat Susanto, Dukuh Jeruk Gulung, Rt. 01 Rw. 06, Ngabul, Senin malam (5 Agustus 2019). diikuti oleh 33 anggota Ansor-Banser se-Desa Ngabul.