Oleh M Abdullah Badri
SANTRI Sarang Rembang pasti mengenal Mbah Imam. Beliau adalah pengasuh Pesantren Ma'has Ilmis Syar'i (MIS), nama pesantren induk di kawasan Sarang, warisan pendiri, Mbah Ghazali. Semua pesantren di Sarang bermula dari MIS, sebelum kemudian ada pesantren lain semacam Al-Anwar dan MUS (Ma'had Ulumis Syar'iyyah) serta lainnya. Secara nasab, Mbah Imam terhitung kakek dari KH. Maimoen Zubair.
Pada tahun 1971, ada kejadian yang masih diingat Gus Rosyih, cucu Mbah Imam. Ia masih ingat betul tentang seorang alumni Sarang yang sowan ke Mbah Imam dan membincang ihwal Kiai Maimoen yang saat itu mendirikan pesantren bernama Al-Anwar -nama muda Mbah Zubair, ayah Kiai Maimoen sebelum naik haji.
Barangkali maksud pernyataan si santri alumni ke Mbah Imam kala itu adalah meminta tanggapan sebagai sesepuh Sarang. Diketahui, sebelum mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar, Kiai Maimoen (waktu itu masih disebut Gus Maimoen) mengajar di teras langgar sebelah pesantren MIS. Kabar Gus Maimoen mendirikan pesantren didoakan dan jawaban Mbah Imam di luar dugaan si santri alumni.
"Maimoen, suk mben luwih gedhe tinimbang aku (Maimoen itu besok akan menjadi ulama besar melebihi saya)," kata Mbah Imam kepada alumnus tersebut. Gus Rosyih mendengarkan kalimat Mbah Imam secara langsung.
Baca: Makna Ya Lal Wathon dalam Syiir Syubbanul Wathan
Kalimat di atas mungkin dianggap wajar bila diutarakan Mbah Imam dalam situasi normal biasa. Sebagai cucu, Gus Maimoen jelas harus didukung. Wajarnya begitu. Tapi waktu itu suasana di Sarang berbeda. Komunitas Sarang sedang berpolemik, dimana saat itu Mbah Imam dikenal sebagai pendukung Partai Golkar (Orde Baru).
Bila Mbah Imam bukan seorang yang kassyaf (mendapatkan anugerah mengetahui masa depan), tidak mungkin kalimat tersebut keluar dari beliau. Apalagi saat itu beliau dalam situasi politik yang kurang mendapatkan dukungan bahkan dari para santri alumni MIS sekalipun. Mbah Imam bersikap wajar. Beliau tidak panik ada seorang cucu yang membuat pondok baru. Bahkan kalimat beliau sangat mendukung.
Polemik politik di Sarang cukup menegangkan. Diceritakan oleh Gus Rosyih, santri Mbah Imam saat itu banyak yang boyong dari MIS karena Mbah Imam dianggap sejalan dengan Orde Baru. Pondok menjadi sepi santri. Dari yang awalnya berjumlah 1000an santri, langsung menurun drastis menjadi 100an santri. Ada 900an santri yang pamit mendadak.
"Alhamdulillah, saya doakan ilmu kalian semua bermanfaat, aku ridlo dan ikhlash kepada kalian," begitu kata Mbah Imam saat para santri Sarang pamit boyong. Beliau tidak keberatan para santrinya boyong. Bahkan didoakan dengan baik. MasyaAllah.
Dan terbukti, bukan hanya Mbah Moen saja yang dikenal alim dan allamah. Hampir semua murid Sarang yang saat dipimpin Mbah Imam mereka boyong, kini menjadi kiai semua di wilayah masing-masing. Demikian terang Gus Rosyih setelah mendatangi banyak alumni Sarang yang boyong di era Mbah Imam. [badriologi.com]