Patroli Wali Paidi Edisi - 2 |
Oleh M Abdullah Badri
OLEH Mbah Kiai Ihsan, Wali Paidi diminta sowan dan ngabdi selama beberapa bulan di ndalem pondok Mbah Dimyathi. Ini adalah patroli Wali Paidi yang pertama kali diperintahkan oleh gurunya itu, ke luar kota.
"Apapun perintahnya, kamu harus menuruti tanpa ba bi bu dan tanpa suudzan".
"Siap kiai," jawab Wali Paidi.
Hampir empat bulan Wali Paidi menjadi tukang sapu di ndalem Mbah Dim. Dia juga menjadi pembersih kotoran ternak ayam, pencuci pakaian, dan tukang masak santri-santri Mbah Dim.
Saat para santri ngaji, dia justru diperintah Mbah Dim untuk tidur. Saat bangun, Mbah Dim selalu saja menyibukkan Wali Paidi dengan kerjaan-kerjaan yang secara kasat mata tidak ada hubungannya dengan ngaji dan tirakat, seperti santri-santri lainnya.
"Kamu memang mengabdi di sana, bukan menjadi santri. Tidak boleh pulang kecuali diperintah oleh Mbah Dim," kata Mbah Ihsan saat berangkat membuat Wali Paidi terus teringat.
Malam itu, Paidi dipanggil Mbah Dim ke ruang dalam ndalemnya. "Kamu pilih, mana jodoh yang kamu pilih," kata Mbah Dim tiba-tiba.
"Jodoh yang mana, Mbah?" Wali Paidi bingung. Tak ada seorang pun kecuali dia dan Mbah Dim di ruangan itu. Semua santri tidur. Ada yang tugas jaga malam dan tirakat malam, tapi mereka di lingkungan pondok semua.
"Cepat, pilih yang mana?" Mbah Dim makin berkeras memaksanya memilih jodoh yang tidak dilihat Paidi.
"Nggih, nggih, mbah..".
"Sudah".
"Sudah mbah...".
Paidi makin tambah tidak paham. Tapi dia tetap menjawab saja.
"Faman raghiba an sunnati fa laisa minni. Barakallahu laka, wa baraka 'alaika wa jama’a baynakuma fi khayr".
Doa Mbah Dim seperti membacakan doa modin usai menikahkan dua mempelai pengantin baru.
"Sudah, kamu pulang. Bilang ke Kiai Ihsan, kamu sudah lulus ngaji dan ngabdi sekaligus," kata Mbah Dim sambil memberikan kenang-kenangan berupa kopyah, yang kini selalu dikenakan Paidi saat patroli.
"Tak pernah ngaji, tapi kok lulus". Gumam Paidi.
"Sudah dibilangin, kamu sudah lulus ngaji. Bocah kok goblok". Mbah Dim tiba-tiba menimpali Paidi. (O..o.., kamu ketahuan! Hahaha).
Sowan ke Mbah Ihsan, lapor atas giatnya di Mbah Dim, hape butut Paidi diminta. Beberapa saat, Mbah Ihsan terlihat mengetik beberapa nomor.
"Halo Oma Irama. Ini ponakanmu mau menikah. Kirim duit seribu yah. Bantu dia". Sudah, begitu saja kalimat yang keluar dari Mbah Ihsan di telepon.
"Siapa Mbah yang jenengan telpon?"
"Saudaramu, Oma Irama. Raja dangdut kuwi?"
"Ponakan jenengan mau nikah? Siapa?"
"Kamu kan keponakan dia".
"Sejak kapan aku jadi keponakan dia," Paidi bergumam.
"Hahahaha. Hahahaha. Murid guwoblok. Makanya Mbah Dim nyebut kamu goblok".
Paidi ketakutan. Hapenya dikembalikan. Mbah Ihsan kembali jalan. Selendangnya disarungkan. Kopi yang diseduhnya disuramkan ke kaki Paidi.
"Ini, untuk bos kopi".
"Bos kopi?" Gumamnya.
Mbah Ihsan pergi. Jalan. Menjauh, sambil terus teriak "Paidi goblok...Paidi goblok...gooooblok kok Paidi...".
Meski sering dihajar kalimat rendah oleh Mbah Ihsan, ia terus hunuzdan dengan gurunya yang nyeleneh itu.
Empat bulan kemudian...(di percakapan telpon).
"Halo, kamu namanya Paidi kan?" Suara perempuan ada di seberang sana.
"Ini siapa yah".
"Kamu harus bertanggungjawab. Kamu suamiku. Kamu sudah menikahiku. Tapi kamu tidak pernah mengunjungiku".
"Oi, ini siapa. Saya belum menikah. Nerocos aja".
"Kamu orangnya tinggi, kurus, rambut gondrong dan sering pakai peci coklat dan celana hitam ke mana-mana. Aku tahu kamu. Kaosmu selalu putih, tak pernah berganti kan? Kapan-kapan aku akan datangi rumahmu. Aku tahu alamatmu dan warna kulitmu. Aku paham".
Dua bulan setelah percakapan itu, ada rombongan dari jauh datang ke rumah Wali Paidi. Seorang perempuan cantik diantar ayah dan ibunya. Mereka bercerita, Wali Paidi adalah suaminya.
Keluarga Wali Paidi jelas keberatan. Mereka merasa tidak pernah menikahkan Paidi dengan perempuan manapun tapi ada yang mengaku telah menghamilinya. Cerita kalau Paidi menikahinya di alam lain dalam mimpi jelas ditolak oleh keluarga Paidi.
Warga desa geger. Paidi yang selama ini dikenal santri, tersiar luas sebagai laki-laki yang tidak terpuji. Tuduhan sebagai orang yang menodai kesucian wanita melekat ke Wali Paidi.
Wali Paidi membiarkan isu yang kian liar. Ia tak kuasa melawan cibiran masyarakat. Dijelaskan pun tidak akan berhasil. Mereka sudah termakan hoax dan tidak pula melakukan tabayun. Ia terima cibiran itu dengan senyuman.
"Terimakasih Mbah Dim dan Mbah Ihsan". Doa Paidi dalam munajatnya.
Kini, Mbah Dim sudah tiada. Begitu pula Mbah Ihsan. Bersama istrinya dari Ujung Kulon itu, Wali Paidi memang menjadi bos kopi, dengan Kedai Kafe Paidi, dan kopi kopi khasnya, Ghaza Coffee.
"Mbah Dim dulunya ternyata sudah menjodohkanmu dengan santrinya berarti Mbah?" Tanya Yik Lukman.
"Lha mboh. Tanya saja sendiri ke istriku. Dia memang santri Mbah Dim. Bapaknya, Mbahnya, pernah nyatri di Mbah Dim semua, sekeluarga". [badriologi.com]
Keterangan:
Ini adalah serial Patroli Wali Paidi (edisi 2). Ditulis 27 Oktober 2019 - 20.41 WIB.