Patroli Wali Paidi ke-6. |
Oleh M. Abdullah Badri
DIBEDIL polisi gadungan, Wali Paidi mengalami luka di bagian dada. (Baca PWP ke-5). Peluru itu bersarang di dadanya. Pelaku raib entah kemana. Dada Wali Paidi dibelah, peluru juga raib. Doktor bingung. Sudah dibedah, dadanya dijahit, peluru yang dicari pun lenyap.
"Sudah, Paidi tidak apa-apa. Dia tidak mati. Dia hanya dibersihkan dadanya oleh Nabi Khidzir dari penyakit-penyakit hati," Mbah Ihsan, guru Wali Paidi tiba-tiba muncul di hadapan Yik Lukman, masih di rumah sakit.
"Jenengan sinten, Mbah? Yang Mbedil bukan Nabi Khidzir, tapi polisi," tanya Yik Lukman.
"Ra penting aku sopo. Biarkan Paidi koma di rumah sakit selama 40 hari. Daripada aku yang mbedil, lebih baik pelaku yang mbedil".
"Maksudnya? Lha kok gitu," Yik Lukman terbingung.
"Iya, kamu Ndoro Lukman kan?"
"Iya"
"Paidi dulu pernah hampir ku-bedil gara-gara datang ke rumah karena sangat bernafsu sekali ingin melacak nasab mbah-mbahnya ke atas. Dia bandel. Sudah dilarang mencari nasab mbahnya kok masih nglesot ke rumah minta tashih nasab, ya tak bedil".
"Segitunya, Mbah?"
"Ngapain melacak nasab. Paidi itu siapa kok mentingin nasab banget. Emangnya kalau bernasab baik terus dia akan jadi juga? Kan tidak. Cukup meniru buyutmu yik, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau lah yang harus dicontoh. Nasab tidak jadi jaminan. Berlindung dibalik nasab itu kadang bisa menipu dirinya sendiri tidak bisa 'humul', merasa sebagai keturunan orang mulia dan meminta dimuliakan. Itu bahaya," terang Mbah Ihsan.
"Ini nyindir aku apa yak?" Yik Lukman membatin.
"Hahahahaha. Hahahaha. Ora, ora. Aku gak nyindir, tapi ngepaske. Wkwkwkwkw," Mbah Ihsan kayak nyambung batin Yik Lukman. Wali Paidi masih koma, Mbah Ihsan cekakakan saja di ruang ICU.
Yik Lukman makin ciut. Realitasnya, banyak juga memang, mereka yang bermarga mulia akhir-akhir ini makin tak terkontrol saja jadi pusat kontroversi walau banyak sekali umat Islam yang menghormatinya.
"Karena itulah lah Yik," lanjut Mbah Ihsan, "nasab mulia itu bisa menipu jika belum waktunya dibuka, dipaksa harus dibuka kayak Paidi dulu. Dia harus tak ancam bedil sampai aku harus pakai kostum tentara segala saat mau mbedil agar dia berhenti menelusuri nasab mbahnya".
"Nasabku nipu Mbah?"
"Bila dari nasabmu itu memecah belah, itu bisa menipu. Tapi kalau menyatukan, itu namanya berkah. Jangan kira gus-gus itu selalu rukun di keluarganya. Ada cerita banyak loh, Mbah nya mendirikan yayasan, anak cucunya bertengkar dan saling berebut. Tahsabuhum jami'aw wa-qulubuhum syatta (kau kira mereka bersatu tapi hatinya terpecah-pecah). Bukankah itu menipu?"
Link: http://bit.ly/2rJcaVm
Yik Lukman menerawang. Kawan sepondoknya dulu juga sering bercerita dia dipondokkan karena orangtuanya ingin menyiapkan dirinya menjadi khalifah (pengganti) abahnya yang punya pondok pesantren. Niat orangtuanya memondokkan dia bukan untuk mencari ilmu semata (litta'allum) tapi agar bersiap menjadi kiai (lattakayyuh - jadi kiai), bukan littafaqquh pula.
Kepada Yik Lukman, Wali Paidi juga bercerita ihwal banyaknya pesantren yang tiba-tiba hilang muridnya, hilang kejayaannya karena niat awalnya penuh dengan tipudaya nafsu ingin meraih kesuksesan duniawi dengan jalan ngaji semata, ternak murid. Pesantren adalah kerajaan kecil yang sarat nepotisme. Buktinya, bila penerus pesantren bukan dzurriyah pendiri, masyarakat memandangnya tabu. Nepotisme dalam kepemimpinan pesantren adalah sunnah kultural berbasis nasab yang sampai sekarang masih memiliki kebenaran sosiologis. Dinasti di pesantren itu harus ada terus dan bukan perbuatan tercela, tidak seperti dinasti kepemimpinan politik bupati atau gubernur.
"Kamu dilahirkan jadi keturunan Rasulullah dari jalur laki-laki, syukurilah yik. Itu irodatullah al-mutlaqah (kehendak mutlak Allah). Kamu tidak bisa memilih. Tapi harus ingat beban untuk terus ihya'u dinillah (terus berjuang menghidupkan agama Allah)," kata Mbah Ihsan sebelum pamit, sambil menyerahkan secarik kertas yang diminta agar diberikan ke Wali Paidi saat siuman nanti.
Dibaca Yik Lukman, coretan itu bertuliskan kalimat Arab: ارح نفسك عن التدبير (istirahatkan dirimu dari mengatur kehendak Allah).
"Deg!". Yik Lukman sangat mengerti kalimat itu asalnya darimana.
Sayang, saat dibaca, Mbah Ihsan sudah ditelan temaram malam. Tak sempat menanyakan maksud Mbah Ihsan menulis kalimat itu untuk muridnya. Dalam koma, Wali Paidi masih terkulai lemas tapi mulutnya merintih dzikir "shallaAllah ala Muhammad" terus menerus, berkali-kali. [badriologi.com]
Bersambung...
Keterangan:
Ini adalah serial Patroli Wali Paidi (edisi 6). Rampung ditulis Sabtu dini hari, 30 November 2019 - 03.39 WIB.